Daluang, Kertas Jawa Warisan Budaya

Rabu, 18 Maret 2015 - 00:02 WIB
Daluang, Kertas Jawa Warisan Budaya
Daluang, Kertas Jawa Warisan Budaya
A A A
BANDUNG - Daluang adalah lembaran tipis yang dibuat dari kulit kayu pohon Deluang, yang memiliki bahasa latin, Broussonetia papyrifera.

Daluang biasa digunakan untuk menuliskan sesuatu. Tahun 1960-an kertas tradisional khas Indonesia ini dinyatakan punah, karena budidaya pohonnya sudah hilang dan begitu juga pelaku pembuatan kertasnya yang tidak ada regenerasi.

Akan tetapi, Daluang kini mulai dibangkitkan kembali. Daluang sendiri oleh negara asing lebih dikenal sebagai kertas Jawa.

Ahli Filologi sekaligus Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Tedi Permadi, mengungkapkan setelah melakukan penelitian panjang sejak tahun 1997, akhirnya pada Oktober 2014, Daluang didaftarkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dia meyakini, kekuatan kertas Daulang itu bisa bertahan hingga ratusan tahun. Bahkan menurutnya, Daulang ini disebut sebagai half perkamen karena saking kuatnya mendekati kekuatan kertas dari serat kulit binatang.

“Secara penampakan memang mirip dengan Perkamen bagi orang awam. Akan tetapi jika dilihat dan diteliti lebih dalam, maka terlihat jelas perbedaannya,”ungkapnya.

Dia pernah menemukan salah satu artefak menarik soal kertas Daluang. Tahun 2004, ia menemukan 11 gulungan naskah asal abad ke-9 dari kertas Daluang, dengan ukuran lebar 90 cm dan panjang 40 cm tanpa putus. Kondisi lembarannya masih bagus dan utuh.

Menurutnya, kertas semacam Daluang umumnya sudah banyak, akan tetapi teknik yang dilakukan pada pembuatan kertas berbahan serat kulit kayu dengan salah satu teknik fermentasi dan dijemur pada pohon pisang, hanya dimiliki oleh Daluang dan teknik ini hanya dilakukan di Indonesia.

“Jika biasanya pada produksi kertas serat kayu hanya ditumbuk-tumbuk saja lalu diangin-angin dengan cara dibentangkan, pada Daluang itu berbeda. Setelah dipukul-pukul, dilakukan proses fermentasi, sehingga serat yang dihasilkan untuk kertasnya lebih halus dan bersih," tandasnya saat ditemui KORAN SINDO (17/3/2015).

Pada proses penjemurannya pun bukan diangin-angin, melainkan ditempelkan pada batang pohon pisang (gedebog pisang) sehingga teksturnya lebih rapih.

Diakuinya, tidak banyak referensi soal proses pembuatan Daluang di Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan penelitiannya, terlihat dari kertas pada naskah kuno, ditemukan getah batang pisang.

Ini semakin meyakinkan dirinya, bahwa Daulang memang salah satu prosesnya yakni dengan dijemur di batang pisang.

Kepopuleran Daulang nyatanya disebut negara asing sebagai Kertas Jawa. Tedi mengatakan hal ini tidak mengherankan.

Pasalnya dari naskah-naskah yang ditemukan, ada tiga lokasi ditemukannya Daulang ini, yakni di Desa Cinunuk - Garut, desa Tegalsari Kecamatan Jetis di Ponorogo, juga di Kecamatan Ambunten dan Kecamatan Glugu di Sumenep - Madura.

“Awal tahun 1997, di Garut saya menemukan 4 batang pohon Daulang atau masyarakat sekitar menyebutnya pohon Saeh. Sedangkan di Kecamatan Glugu saya bahkan tidak menemukan pohonnya lagi,” tuturnya.

Meski pohon Daulang termasuk langka, akan tetapi menurut Tedi, pengembangbiakan pohon ini sebenarnya mudah.

Daulang dikembangkan lebih mudah dengan stek akar. Pohon ini pada usia 1,5 tahun sudah bisa diproduksi menjadi kertas karena dianggap sudah cukup kematangannya dan tinggi pohon tesebut sudah 6 meter.

Karena akarnya geragih maka akarnya akan menjalar ke bawah permukaan tanah hingga kedalaman 30 cm.

“Untuk itu pohon Daluang harus ditanam pada media tanah yang gembur dan kandungan airnya tinggi. Karena jika tanahnya kering maka akarnya akan mati dan mati pulalah pohonnya,” katanya.

Pada tahun 1970-an, Tedi mengaku pernah mendapatkan dokumen dari Departemen Kehutanan di mana pernah ditanam pohon untuk produksi kertas kuat atau permanensi paper, salah satu jenis pohonnya yakni pohon Daluang, seluas ratusan hektar di Garut.

Sayangnya, kata Tedi, dari analisis ekonomi pemerintah saat itu menilai bahwa lahan ini tidak menguntungkan sehingga dibabad habis. “Pembabadan lahan tersebut dilakukan sekitar tahun 1980-an dan diganti dengan pohon pinus,” ujarnya.

Kini, pihaknya tengah mengupayakan pembudidayaan 3000 bibit pohon Daluang di Bandung, Pacitan, Salatiga, Yogyakarta, Denpasar, dan Mataram. Ia juga tengah melatih masyarakat untuk produksi kertas tradisional ini, karena menurutnya kertas ini memiliki potensi ekonomi yang bisa digali.

“Dari 2 batang pohon bisa menghasilkan sekitar 4 gulung kertas Daluang yang ukurannya lebih dari 2 meter. Dan 1 gulungnya saya jual sebesar Rp500.000. Daluang tidak hanya bisa dijadikan media tulis menulis saja, tetapi juga media lukis atau rupa, maupun dijadikan cinderamata,” katanya.

Yang masih menjadi misterius, pada kertas Daluang sebenarnya masih bisa diambil DNA spesies pohonnya. Karena pada proses pembuatan kertasnya tanpa menggunakan bahan kimia dan fermentasi alami, sehingga pada seratnya masih bisa terdapat DNA spesies pohonnya.

“Tapi referensi soal ini sangat sedikit. Jika kita mampu mengetahui DNA-nya, dan ternyata misal DNA tersebut hanya ada di Indonesia, maka bisa jadi pohon Daluang satu-satunya spesies tanaman hanya ada di Indonesia, tidak ada di negara lain,” pungkasnya.
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3719 seconds (0.1#10.140)