Nelayan Malaysia Didakwa Curi Ikan di Selat Malaka
A
A
A
MEDAN - Sebanyak dua warga negara asing (WNA), yakni Ho Chi Chom dari Malaysia selaku nakhoda; dan Tun Naing asal Myanmar sebagai kepala kamar mesin diadili di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (16/3).
Keduanya didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ivan Siregar karena melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia, tepatnya di Selat Malaka. Dalam dakwaan yang dibacakan JPU Ivan, keduanya ditangkap karena melakukan illegal fishing menggunakan kapal 60 groose tonage (GT) tanpa kelengkapan dokumen pada 28 Januari 2015. Kedua orang tersebut ditangkap dengan tiga anak buah kapal (ABK), namun tidak ditahan.
“Kapal tersebut juga menggunakan alat tangkap pukat hela. Padahal di wilayah Indonesia, pengoperasian alat tangkap tersebut dilarang,” kata JPU di hadapan majelis hakim yang diketuai Marsudin Nainggolan. Atas perbuatannya tersebut, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 92 dan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 31/2004 tentang Perikanan dengan ancaman penjara selama enam tahun.
Setelah pembacaan dakwaan, dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan saksi. Dalam keterangan saksi ahli dari Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan, Medan Belawan, Marianus Brewon mengatakan, dari pemeriksaan, kedua terdakwa menangkap ikan di wilayah Indonesia. Marianus menuturkan, selama ini dalam kasus illegal fishing ada empat modus yang sering dilakukan para pelakunya.
Modus tersebut yaitu menggunakan bendera ganda sesuai wilayah negara yang dimasuki. “Tapi kita tak bisa dikelabui, karena melihat jenis kapalnya dari mana. Masing-masing negara, kapalnya ada perbedaan,” katanya. Modus kedua, lanjut Marianus, menggunakan tenaga kerja sesuai wilayah tangkapannya. Modus ini juga sering digunakan untuk mengelabui petugas.
“Misalnya ketika kita mau tangkap, ternyata tenaga kerjanya orang kita. Padahal, nakhoda orang asing, dan ikannya dibawa keluar. Itu sering dilakukan,” katanya. Modus ketiga, yaitu menggunakan surat atau dokumen palsu. Sementara modus keempat adalah dengan modus mesin rusak.
“Kalau kapal rusak, mereka punya izin berlindung. Jadi, nanti mereka ketika ditangkap mengakunya mesin mereka rusak selama beberapa hari lalu terombang-ambing tak tahu di wilayah mana. Jadi harus diderek, padahal jelas-jelas mereka mencuri,” ujarnya. Satu lagi, tambah Marianus, modus memotong jaring atau pukatnya biar bisa lari cepat dan tak ketahuan dia pakai itu,” ungkapnya. Sementara itu, terdakwa Ho Chi Chom dari Malaysia selaku nakhoda mengaku tidak tahu kalau saat ditangkap dia berada di wilayah Indonesia.
Dia mengaku pada saat itu berada di daerah/ wilayah abu-abu dan bisa mengambil ikan. “Saya lihat line di GPS, ada batas-batas wilayah Indonesia dan Malaysia, saya di daerah abu-abu, menurut saya bisa menangkap ikan,” katanya terbatabata sesuai yang diterjemahkan oleh penerjemah Abdul Jabbar.
Pada saat itu, dia baru sehari mencari ikan. Dia merupakan nakhoda yang memerintahkan lokasi mencari ikan. Tun Naing, kata dia, hanya sebagai orang yang bertanggung jawab soal mesin. Tun Naing baru bekerja selama satu bulan. Hakim kemudian menanyakan mengenai kelengkapan dokumen dan alat tangkap yang digunakannya.
Menurut Ho Chi Chom, tidak memiliki dokumen apapun dari Pemerintah Indonesia, karena tidak mengetahui sedang berada di wilayah Indonesia. Kemudian, dia menggunakan alat tangkap trawl karena di Malaysia, alat tangkap tersebut diperbolehkan. Tun Naing membenarkan keterangan Ho Chi Chom. Menurutnya, dia hanya melakukan sesuai perintah Ho Chi Cho.”Saya hanya menangani mesin saja, saya tak tahu berada di mana. Saya dibayar 70 ringgit sehari,” ungkapnya.
Panggabean hasibuan
Keduanya didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ivan Siregar karena melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia, tepatnya di Selat Malaka. Dalam dakwaan yang dibacakan JPU Ivan, keduanya ditangkap karena melakukan illegal fishing menggunakan kapal 60 groose tonage (GT) tanpa kelengkapan dokumen pada 28 Januari 2015. Kedua orang tersebut ditangkap dengan tiga anak buah kapal (ABK), namun tidak ditahan.
“Kapal tersebut juga menggunakan alat tangkap pukat hela. Padahal di wilayah Indonesia, pengoperasian alat tangkap tersebut dilarang,” kata JPU di hadapan majelis hakim yang diketuai Marsudin Nainggolan. Atas perbuatannya tersebut, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 92 dan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 31/2004 tentang Perikanan dengan ancaman penjara selama enam tahun.
Setelah pembacaan dakwaan, dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan saksi. Dalam keterangan saksi ahli dari Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan, Medan Belawan, Marianus Brewon mengatakan, dari pemeriksaan, kedua terdakwa menangkap ikan di wilayah Indonesia. Marianus menuturkan, selama ini dalam kasus illegal fishing ada empat modus yang sering dilakukan para pelakunya.
Modus tersebut yaitu menggunakan bendera ganda sesuai wilayah negara yang dimasuki. “Tapi kita tak bisa dikelabui, karena melihat jenis kapalnya dari mana. Masing-masing negara, kapalnya ada perbedaan,” katanya. Modus kedua, lanjut Marianus, menggunakan tenaga kerja sesuai wilayah tangkapannya. Modus ini juga sering digunakan untuk mengelabui petugas.
“Misalnya ketika kita mau tangkap, ternyata tenaga kerjanya orang kita. Padahal, nakhoda orang asing, dan ikannya dibawa keluar. Itu sering dilakukan,” katanya. Modus ketiga, yaitu menggunakan surat atau dokumen palsu. Sementara modus keempat adalah dengan modus mesin rusak.
“Kalau kapal rusak, mereka punya izin berlindung. Jadi, nanti mereka ketika ditangkap mengakunya mesin mereka rusak selama beberapa hari lalu terombang-ambing tak tahu di wilayah mana. Jadi harus diderek, padahal jelas-jelas mereka mencuri,” ujarnya. Satu lagi, tambah Marianus, modus memotong jaring atau pukatnya biar bisa lari cepat dan tak ketahuan dia pakai itu,” ungkapnya. Sementara itu, terdakwa Ho Chi Chom dari Malaysia selaku nakhoda mengaku tidak tahu kalau saat ditangkap dia berada di wilayah Indonesia.
Dia mengaku pada saat itu berada di daerah/ wilayah abu-abu dan bisa mengambil ikan. “Saya lihat line di GPS, ada batas-batas wilayah Indonesia dan Malaysia, saya di daerah abu-abu, menurut saya bisa menangkap ikan,” katanya terbatabata sesuai yang diterjemahkan oleh penerjemah Abdul Jabbar.
Pada saat itu, dia baru sehari mencari ikan. Dia merupakan nakhoda yang memerintahkan lokasi mencari ikan. Tun Naing, kata dia, hanya sebagai orang yang bertanggung jawab soal mesin. Tun Naing baru bekerja selama satu bulan. Hakim kemudian menanyakan mengenai kelengkapan dokumen dan alat tangkap yang digunakannya.
Menurut Ho Chi Chom, tidak memiliki dokumen apapun dari Pemerintah Indonesia, karena tidak mengetahui sedang berada di wilayah Indonesia. Kemudian, dia menggunakan alat tangkap trawl karena di Malaysia, alat tangkap tersebut diperbolehkan. Tun Naing membenarkan keterangan Ho Chi Chom. Menurutnya, dia hanya melakukan sesuai perintah Ho Chi Cho.”Saya hanya menangani mesin saja, saya tak tahu berada di mana. Saya dibayar 70 ringgit sehari,” ungkapnya.
Panggabean hasibuan
(bbg)