Satu Kampung Hanya Dihuni Tujuh Rumah
A
A
A
KABUPATEN SUMEDANG - Belum banyak orang tahu keberadaan Kampung Muhara, di Desa Leuwi hideung, Kecamatan Darmaraja. Di kampung yang merupakan cikal bakal berdirinya Kabupaten Sumedang ini hanya dihuni tujuh kepala keluarga (KK), menempati tujuh rumah.
Jumlah ini tidak pernah berkurang ataupun bertambah, setidaknya sejak puluhan tahun terakhir. Menurut kepercayaan masyarakat setempat yang satu sama lain saling bertalian darah, setiap ada tambahan KK yang baru, dengan sendirinya satu KK yang sudah ada sebelumnya pergi. Begitu pula dengan perginya satu KK, secara otomatis akan digantikan oleh satu KK lainnya, dengan cara apapun.
Proses peralihan penggantian satu KK masuk dan keluar, atau sebaliknya, memang melalui beberapa waktu, tidak begitu saja seperti membalikan telapak tangan. Namun dalam kurun waktu tertentu sampai saat ini, jumlah KK berikut dengan rumahnya tetap sama, berjumlah tujuh. “Kata leluhur saya, dulunya sempat banyak kelurga dan rumah di sini,” ujar sesepuh kampung Muhara Ikah Rokayah, 64, saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.
Namun, di suatu waktu yang belum diketahui persisnya, leluhur kampung Muhara memberikan pernyataan bahwa di kampung Muhara keadaannya hanya akan bisa dihuni oleh tujuh keluarga dan tujuh rumah saja. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Warga Kampung Muhara yang termasuk ke dalam Orang Terkena Dampak (OTD) Pembangunan Waduk Jatigede (PWJ) masih belum beranjak meninggalkan tempat tinggalnya dengan bermacam alasan.
Ikah sendiri merasa masih memiliki tanggung jawab besar merawat dan menjaga setiap peninggalan leluhur yang ada di sana. “Saya pernah diberi pesan oleh leluhur untuk tetap tinggal di sini, sebelum waduk Jatigede benar-benar diairi,” ucap Ikah. Menurut sejarah, Kampung Muhara merupakan bekas pusat kerajaan Sumedang yang dahulu dinamai kerajaan Tembong Agung dengan Raja pertamanya Prabu Guru H Aji Putih (sekitar tahun 900-an).
Di tempat ini pula Prabu Guru H Aji Putih dilahirkan dan meninggalkan jejak, yakni sebuah pohon besar berdiameter sekitar tiga meter yang terdiri dari tiga jenis dalam satu pohon. Ketiga jenis pohon tersebut yakni pohon Kiara, pohon Beringin, dan pohon Nunuk. Selain meninggalkan jejak pohon besar tersebut, ada beberapa benda pusaka peninggalan leluhur yang masih terjaga sampai saat ini.
Ikah bersama warga yang lainnya merawat dan menjaganya. Di antaranya setiap bulan Mulud biasa diadakan prosesi pemandian pusaka dengan upacara adat tertentu. “Adat ini masih kami jaga dan tidak bisa kami tinggalkan. Bendanya pun tetap tersimpan rapi,” imbuhnya.
Fauzan
Jumlah ini tidak pernah berkurang ataupun bertambah, setidaknya sejak puluhan tahun terakhir. Menurut kepercayaan masyarakat setempat yang satu sama lain saling bertalian darah, setiap ada tambahan KK yang baru, dengan sendirinya satu KK yang sudah ada sebelumnya pergi. Begitu pula dengan perginya satu KK, secara otomatis akan digantikan oleh satu KK lainnya, dengan cara apapun.
Proses peralihan penggantian satu KK masuk dan keluar, atau sebaliknya, memang melalui beberapa waktu, tidak begitu saja seperti membalikan telapak tangan. Namun dalam kurun waktu tertentu sampai saat ini, jumlah KK berikut dengan rumahnya tetap sama, berjumlah tujuh. “Kata leluhur saya, dulunya sempat banyak kelurga dan rumah di sini,” ujar sesepuh kampung Muhara Ikah Rokayah, 64, saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.
Namun, di suatu waktu yang belum diketahui persisnya, leluhur kampung Muhara memberikan pernyataan bahwa di kampung Muhara keadaannya hanya akan bisa dihuni oleh tujuh keluarga dan tujuh rumah saja. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Warga Kampung Muhara yang termasuk ke dalam Orang Terkena Dampak (OTD) Pembangunan Waduk Jatigede (PWJ) masih belum beranjak meninggalkan tempat tinggalnya dengan bermacam alasan.
Ikah sendiri merasa masih memiliki tanggung jawab besar merawat dan menjaga setiap peninggalan leluhur yang ada di sana. “Saya pernah diberi pesan oleh leluhur untuk tetap tinggal di sini, sebelum waduk Jatigede benar-benar diairi,” ucap Ikah. Menurut sejarah, Kampung Muhara merupakan bekas pusat kerajaan Sumedang yang dahulu dinamai kerajaan Tembong Agung dengan Raja pertamanya Prabu Guru H Aji Putih (sekitar tahun 900-an).
Di tempat ini pula Prabu Guru H Aji Putih dilahirkan dan meninggalkan jejak, yakni sebuah pohon besar berdiameter sekitar tiga meter yang terdiri dari tiga jenis dalam satu pohon. Ketiga jenis pohon tersebut yakni pohon Kiara, pohon Beringin, dan pohon Nunuk. Selain meninggalkan jejak pohon besar tersebut, ada beberapa benda pusaka peninggalan leluhur yang masih terjaga sampai saat ini.
Ikah bersama warga yang lainnya merawat dan menjaganya. Di antaranya setiap bulan Mulud biasa diadakan prosesi pemandian pusaka dengan upacara adat tertentu. “Adat ini masih kami jaga dan tidak bisa kami tinggalkan. Bendanya pun tetap tersimpan rapi,” imbuhnya.
Fauzan
(bhr)