Ingin Wujudkan Trotoar di Kota Lunpia Lebih Humanis
A
A
A
KOTA SEMARANG - Keberadaan trotoar yang bagus akan membuat para pejalan kaki nyaman. Ini pula yang akan mendorong masyarakat untuk menggunakan angkutan umum. Selama trotoar kondisinya buruk akan sangat jarang atau bahkan tidak akan ada orang yang mau berjalan kaki di pinggir jalan.
Di Kota Semarang pemerintah kota sudah mempercantik trotoar, dengan juga mengakomodasi penderita tunanetra. Beberapa trotoar di jalan protokol sudah tampak mulus, seperti di Jalan Pandanaran, Jalan Pemuda, dan Jalan MH Thamrin. Namun, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah karena di titik lain trotoarnya masih belum sesuai dengan harapan.
Melihat kondisi tersebut, Theresia Tarigan tergerak untuk ambil bagian dalam menyuarakan hak-hak pejalan kaki. Lewat perkenalannya dengan temannya saat masih kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) bernama Ahmad Safrudin, Ketua Koalisi Pejalan Kaki (KPK) pusat Theresia kemudian dipercaya menjadi koordinator wilayah Semarang.
Puput, biasa Ahmad Safrudin disapa, juga merupakan perintis car free day(CFD) di bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta. KPK pusat terus berusaha membuka koordinator di banyak daerah di Indonesia. Di Semarang, anggota yang bergabung di komunitas ini masih minim. Koalisi ini sangat terbuka, dan siapa saja dari profesi manapun bisa bergabung.
Tidak perlu mendaftar resmi karena ini merupakan wadah bagi para relawan. KPK Semarang sudah menggelar dua aksi, yang pertama pada 6 Februari lalu di Bundaran Jalan Pahlawan Semarang. Adapun aksi kedua di trotoar RSUP Dr Kariadi Semarang, kemarin sore. “Kalau orang mau berjalan kaki, tidak disediakan tempatnya mau jalan di mana?
Kami ingin orang senang berjalan kaki, naik sepeda atau angkutan umum, itu menjadi kota humanis,” kata Theresia di depan trotoar yang sudah disulap menjadi lapak pedagang di kawasan RSUP Dr Kariadi. Menurut dia, polusi udara Kota Lunpia cukup parah karena masuk di peringkat empat kota besar di Indonesia.
Atas dasar itu, Pemkot Semarang seharusnya tidak mengabaikan hak-hak pejalan kaki. Porsi untuk perbaikan trotoar dan jembatan penyeberangan orang (JPO) harusnya juga diperhatikan. “Anggaran di APBD itu menurut saya tidak adil. Tidak semua orang punya mobil dan motor.
Pemerintah lebih fokus pada perbaikan jalan, tapi cenderung abai terhadap kondisi trotoar,” ucap mahasiswi S-2 jurusan Program Manajemen Lingkungan Perkotaan (PMLP) Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang ini. Polusi udara salah satu penyebabnya karena terus meningkatnya penjualan kendaraan roda dua dan empat.
Dari pemerintah pusat sendiri seakan tidak bisa membatasi kendaraan yang harus dikeluarkan setiap tahun. Ini berbeda dengan negara Jepang. Di negara Sakura tersebut pembelian mobil sangat diperketat. “Kalau di Jepang, orang mau beli mobil akan dicek langsung oleh dealer dan polisi. Kalau tidak punya garasi, tidak akan dikabulkan,” ujar ibu tiga anak ini.
Arif Purniawan
Di Kota Semarang pemerintah kota sudah mempercantik trotoar, dengan juga mengakomodasi penderita tunanetra. Beberapa trotoar di jalan protokol sudah tampak mulus, seperti di Jalan Pandanaran, Jalan Pemuda, dan Jalan MH Thamrin. Namun, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah karena di titik lain trotoarnya masih belum sesuai dengan harapan.
Melihat kondisi tersebut, Theresia Tarigan tergerak untuk ambil bagian dalam menyuarakan hak-hak pejalan kaki. Lewat perkenalannya dengan temannya saat masih kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) bernama Ahmad Safrudin, Ketua Koalisi Pejalan Kaki (KPK) pusat Theresia kemudian dipercaya menjadi koordinator wilayah Semarang.
Puput, biasa Ahmad Safrudin disapa, juga merupakan perintis car free day(CFD) di bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta. KPK pusat terus berusaha membuka koordinator di banyak daerah di Indonesia. Di Semarang, anggota yang bergabung di komunitas ini masih minim. Koalisi ini sangat terbuka, dan siapa saja dari profesi manapun bisa bergabung.
Tidak perlu mendaftar resmi karena ini merupakan wadah bagi para relawan. KPK Semarang sudah menggelar dua aksi, yang pertama pada 6 Februari lalu di Bundaran Jalan Pahlawan Semarang. Adapun aksi kedua di trotoar RSUP Dr Kariadi Semarang, kemarin sore. “Kalau orang mau berjalan kaki, tidak disediakan tempatnya mau jalan di mana?
Kami ingin orang senang berjalan kaki, naik sepeda atau angkutan umum, itu menjadi kota humanis,” kata Theresia di depan trotoar yang sudah disulap menjadi lapak pedagang di kawasan RSUP Dr Kariadi. Menurut dia, polusi udara Kota Lunpia cukup parah karena masuk di peringkat empat kota besar di Indonesia.
Atas dasar itu, Pemkot Semarang seharusnya tidak mengabaikan hak-hak pejalan kaki. Porsi untuk perbaikan trotoar dan jembatan penyeberangan orang (JPO) harusnya juga diperhatikan. “Anggaran di APBD itu menurut saya tidak adil. Tidak semua orang punya mobil dan motor.
Pemerintah lebih fokus pada perbaikan jalan, tapi cenderung abai terhadap kondisi trotoar,” ucap mahasiswi S-2 jurusan Program Manajemen Lingkungan Perkotaan (PMLP) Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang ini. Polusi udara salah satu penyebabnya karena terus meningkatnya penjualan kendaraan roda dua dan empat.
Dari pemerintah pusat sendiri seakan tidak bisa membatasi kendaraan yang harus dikeluarkan setiap tahun. Ini berbeda dengan negara Jepang. Di negara Sakura tersebut pembelian mobil sangat diperketat. “Kalau di Jepang, orang mau beli mobil akan dicek langsung oleh dealer dan polisi. Kalau tidak punya garasi, tidak akan dikabulkan,” ujar ibu tiga anak ini.
Arif Purniawan
(bhr)