Polisi Butuh Ilmu Kesabaran, Kesederhanaan, dan Kejujuran
A
A
A
Menjadi anggota Polri sebenarnya relatif mudah. Cukup belajar ilmu pengetahuan, sehat jasmani dan rohani, serta dapat nilai tinggi saat ujian, dipastikan bisa diterima.
Tetapi, menjadi pelayan masyarakat yang sesungguhnya ternyata tidak semudah yang dibayangkan, meskipun kelihatannya sangat mudah. Sebab, sebaik apapun pelayanan yang diberikan Polri kepada masyarakat, tetap saja ada yang menilai buruk. Begitu juga sebaliknya, kadang seburuk apapun pekerjaan seorang anggota Polri, ada saja yang menilai baik.
Begitulah yang rasakan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Teguh Yuswardie selama menjadi anggota Polri. Pria yang kini bertugas sebagai Kapolres Labuhanbatu itu mengaku menghadapi banyak tingkah lalu masyarakat. Terlebih di wilayahnya, dimana masyarakatnya multietnis dan agama, sehingga diperlukan ilmu khusus bidang studi kesabaran, kesederhanaan, dan kejujuran.
Meski belum menjadi yang terbaik, berkat ilmu itu dia mampu merangkul semua kalangan dan patut menjadi contoh bagi kapolres lain. "Aku menyadari kekuranganku, aku mengakui kelemahanku, karena kutahu aku belum sempurna. Tetapi prinsipku hanya satu, yakni harus membiasakan diri pada yang benar. Sebab, yang biasa belum tentu benar, dan yang benar harus dibiasakan," ujarnya saat ditemui di Medan, baru-baru ini.
Salah satu bentuk kesuksesan yang dilakukan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1995 ini adalah melaksanakan Safari Jumat di 22 kecamatan di Labuhanbatu. Setiap Jumat dia selalu melaksanakan salat di pelosok kecamatan secara bergantian. Begitu juga dengan agama Nasrani, Hindu, dan Buddha, termasuk dengan pemuka agama, tokoh adat, kelompok dan ormas yang ada di Labuhanbatu serta unsur muspida setempat, selalu dia datangi.
“Ini memang belum sempurna, tetapi saya terus berusaha untuk memberikan yang terbaik," katanya. Anak pertama pasangan Suradhie dan Tumiem ini mengaku tidak mudah membangun komunikasi dengan masyarakat yang multietnis dan multiagama. "Bisa diterima di semua kelompok, agama, dan etnis itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh perjuangan. Sebab, mereka memiliki kepentingan berbeda-beda," ungkap dia.
Bukan itu saja, terkadang karena aktivitas, ayah tiga anak ini harus rela meninggalkan keluarga, meskipun harus melanggar perjanjian dengan istrinya, Tety Herawati, semasa berpacaran untuk selalu bersama dalam suka dan duka ke mana pun mereka melangkah. "Untungnya kami hanya berpacaran tujuh bulan saja.
Coba kalau lama, makin banyaklah perjanjian yang akan kami buat. Sebab, banyak dari perjanjian itu belum bisa kulaksanakan sepenuhnya. Apalagi saat ini aku menjadi kapolres aku bukan lagi milik keluargaku, istriku dan anakku, tetapi sudah milik warga Kabupaten Labuhanbatu," katanya berseloroh. Meski begitu, bukan berati mantan Kasubdit II/Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Polda Sumut ini tidak romantis di keluarganya.
Dia selalu menyempatkan waktu khusus untuk keluarga. “Yang tidak bisa kulupakan adalah kecantikan istriku serta anak-anakku yang lucu dan menggemaskan," tandasnya.
Frans Marbun
Medan
Tetapi, menjadi pelayan masyarakat yang sesungguhnya ternyata tidak semudah yang dibayangkan, meskipun kelihatannya sangat mudah. Sebab, sebaik apapun pelayanan yang diberikan Polri kepada masyarakat, tetap saja ada yang menilai buruk. Begitu juga sebaliknya, kadang seburuk apapun pekerjaan seorang anggota Polri, ada saja yang menilai baik.
Begitulah yang rasakan Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Teguh Yuswardie selama menjadi anggota Polri. Pria yang kini bertugas sebagai Kapolres Labuhanbatu itu mengaku menghadapi banyak tingkah lalu masyarakat. Terlebih di wilayahnya, dimana masyarakatnya multietnis dan agama, sehingga diperlukan ilmu khusus bidang studi kesabaran, kesederhanaan, dan kejujuran.
Meski belum menjadi yang terbaik, berkat ilmu itu dia mampu merangkul semua kalangan dan patut menjadi contoh bagi kapolres lain. "Aku menyadari kekuranganku, aku mengakui kelemahanku, karena kutahu aku belum sempurna. Tetapi prinsipku hanya satu, yakni harus membiasakan diri pada yang benar. Sebab, yang biasa belum tentu benar, dan yang benar harus dibiasakan," ujarnya saat ditemui di Medan, baru-baru ini.
Salah satu bentuk kesuksesan yang dilakukan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1995 ini adalah melaksanakan Safari Jumat di 22 kecamatan di Labuhanbatu. Setiap Jumat dia selalu melaksanakan salat di pelosok kecamatan secara bergantian. Begitu juga dengan agama Nasrani, Hindu, dan Buddha, termasuk dengan pemuka agama, tokoh adat, kelompok dan ormas yang ada di Labuhanbatu serta unsur muspida setempat, selalu dia datangi.
“Ini memang belum sempurna, tetapi saya terus berusaha untuk memberikan yang terbaik," katanya. Anak pertama pasangan Suradhie dan Tumiem ini mengaku tidak mudah membangun komunikasi dengan masyarakat yang multietnis dan multiagama. "Bisa diterima di semua kelompok, agama, dan etnis itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh perjuangan. Sebab, mereka memiliki kepentingan berbeda-beda," ungkap dia.
Bukan itu saja, terkadang karena aktivitas, ayah tiga anak ini harus rela meninggalkan keluarga, meskipun harus melanggar perjanjian dengan istrinya, Tety Herawati, semasa berpacaran untuk selalu bersama dalam suka dan duka ke mana pun mereka melangkah. "Untungnya kami hanya berpacaran tujuh bulan saja.
Coba kalau lama, makin banyaklah perjanjian yang akan kami buat. Sebab, banyak dari perjanjian itu belum bisa kulaksanakan sepenuhnya. Apalagi saat ini aku menjadi kapolres aku bukan lagi milik keluargaku, istriku dan anakku, tetapi sudah milik warga Kabupaten Labuhanbatu," katanya berseloroh. Meski begitu, bukan berati mantan Kasubdit II/Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Polda Sumut ini tidak romantis di keluarganya.
Dia selalu menyempatkan waktu khusus untuk keluarga. “Yang tidak bisa kulupakan adalah kecantikan istriku serta anak-anakku yang lucu dan menggemaskan," tandasnya.
Frans Marbun
Medan
(ars)