Rayakan Valentine Sambil Nikmati Pemandangan di Puncak Candi Ijo
A
A
A
SLEMAN - Candi Ijo yang berada di Dusun Groyokan, Sambirejo, Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (SIY), menjadi tempat yang cukup eksotik untuk dikunjungi. Apalagi, pada peringatan Hari Kasih Sayang atau Valentine Day seperti sekarang.
“Kita bisa nikmati alam dari puncak dengan tiupan semilir angin yang sejuk. Enaknya lagi, masuk area candi gratis, tak dipungut biaya seperpun, kecuali biaya parkir yang dikelola masyarakat sekitar sini,” kata Jamaludin, mahasiswa Fakultas Ushuludin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu (14/2/2015).
Mengendari sepeda motor, dia datang dengan seorang perempuan berkerudung yang diakui sebagai teman, bukan pacar. Mereka terlihat ceria sambil berfoto selfi mengabadikan saat-saat berada di candi bercorak Hindu tersebut.
“Ini teman dekat satu kampus, kami sudah dua kali ke sini. Pertama dulu sore hari pas musim kemarau, lihat sunset, joss,” kata pria asal Kebumen, Jawa Tengah, yang kos di Sapen, Baciro, Kota Yogyakarta itu.
Tidak adanya penginapan atau hotel kelas melati di sekitar perbukitan, membuat tempat itu terhindar dari maksiat terselubung. Hal itu berbeda dengan menjamurnya hotel maupun penginapan di lokasi objek wisata yang ada di Yogyakarta.
“Maaf kalau salah, di sini (Candi Ijo) masih murni, alami, tradisional, dan terhindar dari praktik maksiat terselubung. Coba tempat lain, Parangtritis, Kaliurang, dan Kaliadem misalnya. Mungkin penginapan di sana penuh di Hari Valentine,” ujar pria jebolan Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur itu.
Sayangnya, kata dia, akses jalan menuju Candi Ijo cukup ekstrem, karena banyak tanjakan tajam dan jalanan yang berlobang. Tidak adanya angkutan umum yang melintasi kawasan ini juga mengharuskan pengunjung mengenakan motor atau mobil pribadi.
Tak ada catatan sejarah siapa yang membangun candi yang berada di perbukitan gunung kapur itu. Lokasi candi yang berjarak sekira empat kilo ke arah selatan Candi Prambanan ini, ditemukan HE Doorepaal, administrator Pabrik Gula Sorogeduk berkebangsaan Belanda yang sedang mencari lahan untuk menanam tebu tahun 1886 silam.
Candi induk yang menghadap ke arah barat ini, di depannya terdapat tiga candi pewara menghadap timur. Belakang pewara terdapat beberapa tumpukan batu yang diprediksi merupakan satu komponen candi.
“Catatan sejarah siapa yang membuat masih misterius, tapi melihat arsitek bangunan candi seperti peninggalan abad 9 sampai 10 masehi, ya seperti Candi Prambanan,” kata Partiman, petugas sekuriti dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.
Dia menyebut, lokasi sekitar candi terlihat kering kerontang di musim kemarau, karena keterbatasan sumber air. Pepohonan seperti jati yang menjulang tinggi menguning daunnya, hingga rontok jika musim panas tiba. Penduduk sekitar membuat tandon air jumbo untuk cadangan air saat menghadapi musim kemarau.
“Kalau musim kemarau, di sini pemandangan cukup bagus dengan melihat matahari terbenam, pepohonan yang hidup seperti mati karena daun-daunnya banyak yang rontok,” pungkasnya.
“Kita bisa nikmati alam dari puncak dengan tiupan semilir angin yang sejuk. Enaknya lagi, masuk area candi gratis, tak dipungut biaya seperpun, kecuali biaya parkir yang dikelola masyarakat sekitar sini,” kata Jamaludin, mahasiswa Fakultas Ushuludin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu (14/2/2015).
Mengendari sepeda motor, dia datang dengan seorang perempuan berkerudung yang diakui sebagai teman, bukan pacar. Mereka terlihat ceria sambil berfoto selfi mengabadikan saat-saat berada di candi bercorak Hindu tersebut.
“Ini teman dekat satu kampus, kami sudah dua kali ke sini. Pertama dulu sore hari pas musim kemarau, lihat sunset, joss,” kata pria asal Kebumen, Jawa Tengah, yang kos di Sapen, Baciro, Kota Yogyakarta itu.
Tidak adanya penginapan atau hotel kelas melati di sekitar perbukitan, membuat tempat itu terhindar dari maksiat terselubung. Hal itu berbeda dengan menjamurnya hotel maupun penginapan di lokasi objek wisata yang ada di Yogyakarta.
“Maaf kalau salah, di sini (Candi Ijo) masih murni, alami, tradisional, dan terhindar dari praktik maksiat terselubung. Coba tempat lain, Parangtritis, Kaliurang, dan Kaliadem misalnya. Mungkin penginapan di sana penuh di Hari Valentine,” ujar pria jebolan Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur itu.
Sayangnya, kata dia, akses jalan menuju Candi Ijo cukup ekstrem, karena banyak tanjakan tajam dan jalanan yang berlobang. Tidak adanya angkutan umum yang melintasi kawasan ini juga mengharuskan pengunjung mengenakan motor atau mobil pribadi.
Tak ada catatan sejarah siapa yang membangun candi yang berada di perbukitan gunung kapur itu. Lokasi candi yang berjarak sekira empat kilo ke arah selatan Candi Prambanan ini, ditemukan HE Doorepaal, administrator Pabrik Gula Sorogeduk berkebangsaan Belanda yang sedang mencari lahan untuk menanam tebu tahun 1886 silam.
Candi induk yang menghadap ke arah barat ini, di depannya terdapat tiga candi pewara menghadap timur. Belakang pewara terdapat beberapa tumpukan batu yang diprediksi merupakan satu komponen candi.
“Catatan sejarah siapa yang membuat masih misterius, tapi melihat arsitek bangunan candi seperti peninggalan abad 9 sampai 10 masehi, ya seperti Candi Prambanan,” kata Partiman, petugas sekuriti dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.
Dia menyebut, lokasi sekitar candi terlihat kering kerontang di musim kemarau, karena keterbatasan sumber air. Pepohonan seperti jati yang menjulang tinggi menguning daunnya, hingga rontok jika musim panas tiba. Penduduk sekitar membuat tandon air jumbo untuk cadangan air saat menghadapi musim kemarau.
“Kalau musim kemarau, di sini pemandangan cukup bagus dengan melihat matahari terbenam, pepohonan yang hidup seperti mati karena daun-daunnya banyak yang rontok,” pungkasnya.
(san)