Menolak Disebut Tukang Pijat
A
A
A
BUAT penggemar sepak bola Liga Primer Inggris, khususnya Chelsea FC tentu mengenal sosok perempuan berdarah Spanyol-Inggris, Eva Carneiro.
Staf medis dan ahli fisioterapi The Blues itu selalu jadi orang pertama yang paling gesit menghampiri ketika ada pemain Chelsea yang tergeletak dan meringis kesakitan di lapangan.
Pekerjaan Eva sebagai fisioterapis di klub sepak bola dianggap beda dari biasanya karena selama ini mayoritas klub-klub sepak bola di berbagai penjuru dunia lebih banyak menggunakan jasa fisioterapis laki-laki. Tapi Eva sebenarnya tak sendirian.
Di Indonesia ada sosok yang berprofesi seperti Eva, dia adalah Fortunella Levyana. Perempuan ayu yang akrab disapa Nela itu memiliki bekerja sebagai fisioterapis klub Indonesia Super League (ISL) Pelita Bandung Raya (PBR) sejak 2012. Dengan sedikit malu-malu, Nellamenceritakan awal mula dia terjun menjadi seorang fisioterapis. Meski usianya masih muda, 23 tahun, namun pengalamannya sebagai fisioterapis atlet olah raga tak disangsikan lagi.
Nella mengawalinya dengan berkecimpung di sebuah klinik fisioterapi khusus penanganan cedera. Dia mengakui profesinya di Indonesia, belum cukup familiar, terutama untuk kaum hawa. Namun hal itu tidak menghentikannya untuk terus mendalami ilmu yang ilmu yang menitikberatkan proses menstabilkan atau memperbaiki gangguan fungsi alat gerak atau fungsi tubuh yang terganggu yang kemudian diikuti dengan proses atau metode terapi gerak.
“Tidak pernah terpikirkan untuk menjadi seorang fisioterapis sebenarnya. Intinya hanya ingin bergelut di dunia medis. Tapi mungkin fisioterapi menjadi tantangan tersendiri buat saya, karena bidang ini terbilang belum familiar di kalangan masyarakat umum,” tuturnya sambil tersenyum. Tak disangka, seorang teman menawarinya menjadi fisioterapis di klub sepak bola Pelita Bandung Raya (PBR).
Nella awalnya menolak, dan ingin konsisten bekerja di klinik. Namun, mendengar peluang dan jejaring menjadi fisioterapis di dunia sepak bola ternyata cukup menjanjikan, dia pun akhirnya terjun. “Ternyata tidak mudah menjadi seorang fisioterapis pesepakbola. Apalagi jika harus terjun langsung ke lapangan. Fisik kita juga dituntut dan diuji karena harus sigap berlari ke lapangan untuk segera memberikan bantuan,” paparnya.
Baginya, profesi sebagai fisioterapis tidak semudah yang dianggap dan dilihat. Kenyataan di Indonesia, masih banyak yang beranggapan bahwa seorang fisioterapis sama dengan tukang pijat. Padahal, dari fungsi dan perannya sungguh jauh berbeda.
“Kalau fisioterapis itu kita bukan memijat. Akan tetapi membantu pemulihan fisik anatomi tubuh yang cedera. Penanganannya pun tidak sembarangan,” terangnya. Nella menuturkan, fungsi dari fisioterapis mirip dengan peran dokter. Akan tetapi, jika dokter cenderung menggunakan obat-obatan secara medis untuk mengobati pasiennya, fisioterapis lebih pada terapi fisik. Terkadang dengan peralatan tertentu, dan bukan dengan obat-obatan.
Menjadi seorang fisioterapis bagi di dunia sepak bola, tak hanya menantang. Dia pun cukup bangga karena bisa membantu pemain yang tadinya cedera, dapat pulih kembali. Namun tak dipungkiri, terkadang sebagai seorang fisioterapis merasa dilema.
“Paling tidak enak tuhkalau ada pemain yang cederanya parah seperti cedera lutut, biasanya untuk cedera jenis itu dia harus melakukan fisioterapi yang cukup lama untuk pemulihan. Bahkan bisa sampai enam bulan lamanya. Sedangkan pemain itu tampak tidak sabar untuk main. Kasihan pastinya,” tuturnya.
Profesinya tersebut, diakui Nella kadang mengundang ejekan. Sebab sebagai perempuan, dia harus terjun langsung memberikan terapi dan bersentuhan dengan bagian tubuh para pemain sepak bola. Bukan tanpa alasan. Meski diakuinya hingga sekarang merasa risih, akan tetapi semata-mata itu hanya untuk mengobati saja, tidak lebih dari itu.
Di tahun ketiganya menjadi fisioterapis PBR, sudah banyak pengalaman menarik dan tak terlupakan. Nella yang awalnya berkecimpung di klinik, kini terjun langsung ke lapangan, berlari dengan sigap untuk membantu para pemain bola yang cedera. “Banyak hal baru lah. Ikut kemanapun pemain bola bertanding sampai pernah disorakin penonton gara-gara aneh ada perempuan lari-lari di tengah lapangan bola. Sempat beteawalnya, tapi yasudah lah,” katanya sambil tertawa.
Di dunia sepak bola Indonesia, kehadiran perempuan sebagai di kursi ofisial masih dianggap aneh. Padahal menurut Nella, kepentingan dari fisioterapi sangat menunjang bagi pemain yang cedera. Sayangnya, dia melihat di Indonesia masih ada mindsetbahwa orang yang cedera itu harus dibawa ke tukang pijat.
“Saya pengenmengubah hal itu. Saya ingin, ketika orang melihat profesi saya, maka yang mereka lihat adalah sport science-nya, bahwa cedera fisik itu tidak selalu diobati dengan pijatan, karena ada juga yang malah berbahaya jika dipijat sembarangan,” pungkasnya.
Anne rufaidah
Staf medis dan ahli fisioterapi The Blues itu selalu jadi orang pertama yang paling gesit menghampiri ketika ada pemain Chelsea yang tergeletak dan meringis kesakitan di lapangan.
Pekerjaan Eva sebagai fisioterapis di klub sepak bola dianggap beda dari biasanya karena selama ini mayoritas klub-klub sepak bola di berbagai penjuru dunia lebih banyak menggunakan jasa fisioterapis laki-laki. Tapi Eva sebenarnya tak sendirian.
Di Indonesia ada sosok yang berprofesi seperti Eva, dia adalah Fortunella Levyana. Perempuan ayu yang akrab disapa Nela itu memiliki bekerja sebagai fisioterapis klub Indonesia Super League (ISL) Pelita Bandung Raya (PBR) sejak 2012. Dengan sedikit malu-malu, Nellamenceritakan awal mula dia terjun menjadi seorang fisioterapis. Meski usianya masih muda, 23 tahun, namun pengalamannya sebagai fisioterapis atlet olah raga tak disangsikan lagi.
Nella mengawalinya dengan berkecimpung di sebuah klinik fisioterapi khusus penanganan cedera. Dia mengakui profesinya di Indonesia, belum cukup familiar, terutama untuk kaum hawa. Namun hal itu tidak menghentikannya untuk terus mendalami ilmu yang ilmu yang menitikberatkan proses menstabilkan atau memperbaiki gangguan fungsi alat gerak atau fungsi tubuh yang terganggu yang kemudian diikuti dengan proses atau metode terapi gerak.
“Tidak pernah terpikirkan untuk menjadi seorang fisioterapis sebenarnya. Intinya hanya ingin bergelut di dunia medis. Tapi mungkin fisioterapi menjadi tantangan tersendiri buat saya, karena bidang ini terbilang belum familiar di kalangan masyarakat umum,” tuturnya sambil tersenyum. Tak disangka, seorang teman menawarinya menjadi fisioterapis di klub sepak bola Pelita Bandung Raya (PBR).
Nella awalnya menolak, dan ingin konsisten bekerja di klinik. Namun, mendengar peluang dan jejaring menjadi fisioterapis di dunia sepak bola ternyata cukup menjanjikan, dia pun akhirnya terjun. “Ternyata tidak mudah menjadi seorang fisioterapis pesepakbola. Apalagi jika harus terjun langsung ke lapangan. Fisik kita juga dituntut dan diuji karena harus sigap berlari ke lapangan untuk segera memberikan bantuan,” paparnya.
Baginya, profesi sebagai fisioterapis tidak semudah yang dianggap dan dilihat. Kenyataan di Indonesia, masih banyak yang beranggapan bahwa seorang fisioterapis sama dengan tukang pijat. Padahal, dari fungsi dan perannya sungguh jauh berbeda.
“Kalau fisioterapis itu kita bukan memijat. Akan tetapi membantu pemulihan fisik anatomi tubuh yang cedera. Penanganannya pun tidak sembarangan,” terangnya. Nella menuturkan, fungsi dari fisioterapis mirip dengan peran dokter. Akan tetapi, jika dokter cenderung menggunakan obat-obatan secara medis untuk mengobati pasiennya, fisioterapis lebih pada terapi fisik. Terkadang dengan peralatan tertentu, dan bukan dengan obat-obatan.
Menjadi seorang fisioterapis bagi di dunia sepak bola, tak hanya menantang. Dia pun cukup bangga karena bisa membantu pemain yang tadinya cedera, dapat pulih kembali. Namun tak dipungkiri, terkadang sebagai seorang fisioterapis merasa dilema.
“Paling tidak enak tuhkalau ada pemain yang cederanya parah seperti cedera lutut, biasanya untuk cedera jenis itu dia harus melakukan fisioterapi yang cukup lama untuk pemulihan. Bahkan bisa sampai enam bulan lamanya. Sedangkan pemain itu tampak tidak sabar untuk main. Kasihan pastinya,” tuturnya.
Profesinya tersebut, diakui Nella kadang mengundang ejekan. Sebab sebagai perempuan, dia harus terjun langsung memberikan terapi dan bersentuhan dengan bagian tubuh para pemain sepak bola. Bukan tanpa alasan. Meski diakuinya hingga sekarang merasa risih, akan tetapi semata-mata itu hanya untuk mengobati saja, tidak lebih dari itu.
Di tahun ketiganya menjadi fisioterapis PBR, sudah banyak pengalaman menarik dan tak terlupakan. Nella yang awalnya berkecimpung di klinik, kini terjun langsung ke lapangan, berlari dengan sigap untuk membantu para pemain bola yang cedera. “Banyak hal baru lah. Ikut kemanapun pemain bola bertanding sampai pernah disorakin penonton gara-gara aneh ada perempuan lari-lari di tengah lapangan bola. Sempat beteawalnya, tapi yasudah lah,” katanya sambil tertawa.
Di dunia sepak bola Indonesia, kehadiran perempuan sebagai di kursi ofisial masih dianggap aneh. Padahal menurut Nella, kepentingan dari fisioterapi sangat menunjang bagi pemain yang cedera. Sayangnya, dia melihat di Indonesia masih ada mindsetbahwa orang yang cedera itu harus dibawa ke tukang pijat.
“Saya pengenmengubah hal itu. Saya ingin, ketika orang melihat profesi saya, maka yang mereka lihat adalah sport science-nya, bahwa cedera fisik itu tidak selalu diobati dengan pijatan, karena ada juga yang malah berbahaya jika dipijat sembarangan,” pungkasnya.
Anne rufaidah
(ars)