Perkosa Putri Kandung, Pengusaha Dituntut 14 Tahun Bui
A
A
A
SEMARANG - Pengusaha springbed Setiabudi Purwatan (57), warga Truntum Raya Telogosari, Semarang, dituntut 14,6 tahun penjara oleh Jaksa Kejari Semarang, lantaran terbukti menggagahi putri kandungnya sendiri Ks (16).
Setiabudi dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 81 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 KUHP.
“Dari fakta persidangan membuktikan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal tersebut. Kami menuntut terdakwa dengan pidana 14,6 tahun penjara,” kata JPU Andika Rizkianto, di muka Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang diketuai oleh Hakim Avia Uchriana, Selasa (20/1/2015).
Selain pidana badan, pihaknya juga menjatuhkan tuntutan denda kepada terdakwa sebesar Rp200 juta. Jika tidak mampu membayarkan, maka hukuman terdakwa akan diperpanjang selama enam bulan kurungan.
“Denda itu kami kenakan karena memang ada dalam Undang-undang Perlindungan Anak,” imbuhnya.
Menurut Andika, hal yang memberatkan tuntutan itu adalah, terdakwa tega melakukan perbuatan bejat itu kepada anak kandungnya sendiri. Selain itu, aksi itu juga dilakukan terdakwa sejak tahun 2007 hingga 2014.
“Adapun hal yang meringankan, karena terdakwa tidak pernah dihukum sebelumnya,” ujarnya.
Atas tuntutan itu, terdakwa akan mengajukan pledoi. Rencananya, pledoi akan dilaksanakan pada persidangan pecan depan. Tuntutan tersebut dinilai terlalu ringan. Sebab, aksi itu dilakukan pada anak kandungnya sendiri.
“Apalagi perbuatannya dilakukan secara terus menerus sejak tujuh tahun terakhir. Harusnya tuntutan jaksa lebih maksimal, yakni mencapai 20 tahun,” terang Pendamping Hukum Korban, Arum.
Menurut Arum, perbuatan terdakwa tidak hanya membuat korban menderita. Namun beban psikologis yang dirasakan oleh korban akan mempengaruhi hidupnya hingga akhir nanti. “Harusnya lebih maksimal,” tegasnya.
Sekedar diketahui, Setiabudi Purwatan dilaporkan oleh istrinya sendiri Ek, karena menggagahi putri kandungnya sendiri Ks (16). Bahkan, perbuatan tersebut telah dilakukan sejak tahun 2007 hingga 2014, yakni sejak Ks duduk di bangku kelas 5 SD hingga kelas 1 SMA.
Pencabulan dilakukan terdakwa di rumahnya, Jalan Truntum Raya, Kecamatan Telogosari. Meski mengetahui aksi itu, namun Ks dan Ek tidak berani mengungkapkan aksi itu, karena selalu diancam akan dibunuh terdakwa.
Ek baru berani melaporkan kasus tersebut pada tahun 2014 lalu. Saat dibawa ke persidangan, Setiabudi selalu mengelak telah melakukan pencabulan. Namun setelah diperlihatkan rekaman CCTV yang merekam aksi bejatnya itu, dirinya tidak dapat berbuat apa-apa.
Setiabudi dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 81 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 KUHP.
“Dari fakta persidangan membuktikan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar pasal tersebut. Kami menuntut terdakwa dengan pidana 14,6 tahun penjara,” kata JPU Andika Rizkianto, di muka Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang diketuai oleh Hakim Avia Uchriana, Selasa (20/1/2015).
Selain pidana badan, pihaknya juga menjatuhkan tuntutan denda kepada terdakwa sebesar Rp200 juta. Jika tidak mampu membayarkan, maka hukuman terdakwa akan diperpanjang selama enam bulan kurungan.
“Denda itu kami kenakan karena memang ada dalam Undang-undang Perlindungan Anak,” imbuhnya.
Menurut Andika, hal yang memberatkan tuntutan itu adalah, terdakwa tega melakukan perbuatan bejat itu kepada anak kandungnya sendiri. Selain itu, aksi itu juga dilakukan terdakwa sejak tahun 2007 hingga 2014.
“Adapun hal yang meringankan, karena terdakwa tidak pernah dihukum sebelumnya,” ujarnya.
Atas tuntutan itu, terdakwa akan mengajukan pledoi. Rencananya, pledoi akan dilaksanakan pada persidangan pecan depan. Tuntutan tersebut dinilai terlalu ringan. Sebab, aksi itu dilakukan pada anak kandungnya sendiri.
“Apalagi perbuatannya dilakukan secara terus menerus sejak tujuh tahun terakhir. Harusnya tuntutan jaksa lebih maksimal, yakni mencapai 20 tahun,” terang Pendamping Hukum Korban, Arum.
Menurut Arum, perbuatan terdakwa tidak hanya membuat korban menderita. Namun beban psikologis yang dirasakan oleh korban akan mempengaruhi hidupnya hingga akhir nanti. “Harusnya lebih maksimal,” tegasnya.
Sekedar diketahui, Setiabudi Purwatan dilaporkan oleh istrinya sendiri Ek, karena menggagahi putri kandungnya sendiri Ks (16). Bahkan, perbuatan tersebut telah dilakukan sejak tahun 2007 hingga 2014, yakni sejak Ks duduk di bangku kelas 5 SD hingga kelas 1 SMA.
Pencabulan dilakukan terdakwa di rumahnya, Jalan Truntum Raya, Kecamatan Telogosari. Meski mengetahui aksi itu, namun Ks dan Ek tidak berani mengungkapkan aksi itu, karena selalu diancam akan dibunuh terdakwa.
Ek baru berani melaporkan kasus tersebut pada tahun 2014 lalu. Saat dibawa ke persidangan, Setiabudi selalu mengelak telah melakukan pencabulan. Namun setelah diperlihatkan rekaman CCTV yang merekam aksi bejatnya itu, dirinya tidak dapat berbuat apa-apa.
(san)