Siswa Miskin Tak Bisa Ambil Ijazah
A
A
A
KENDAL - Seorang siswa SMPN 2 Kaliwungu tidak bisa mengambil ijazah, karena belum melunasi uang sumbangan pengembangan institusi (SPI). Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal pun melakukan inspeksi mendadak dan menindak tegas sekolah setempat.
Siswa yang tidak dapat mengambil ijazah adalah Khusniatul Khusna. Dia tidak bisa melunasi SPI, lantaran hidup dalam keluarga yang sederhana.
Muhammad Faiz Wahyudi, kakak Khusniatul Khusna mengatakan, bahwa orangtua Khusniatul Khusna saat akan mengambil ijazah diberikan rincian dana tanggungan yang harus dilunasi, yakni pembayaran SPI, sumbangan perpisahan, Administrasi Ujian Nasional (UN), pas foto, dan kenang-kenangan sekolah, totalnya mencapai Rp975 ribu.
"Rinciannya, SPI sebesar Rp200 ribu, komite sekolah Rp525 ribu, kenang-kenangan Rp100 ribu, perpisahan siswa Rp35 ribu, administrasi UN Rp100 ribu, dan pas foto Rp15 ribu," kata dia, Senin (19/1/2015).
Surat tersebut, sambung Faiz, diberikan pada orangtua RNK, pada April 2014 lalu. Sampai saat ini, pihak orangtua Khusniatul Khusna belum bisa melunasi biaya tersebut, sebab belum memiliki uang.
Pihak orangtua Khusniatul Khusna juga tidak berani meminta keringanan, lantaran merasa malu dengan pihak sekolah, karena berasal dari latar belakang keluarga ekonomi kurang mampu.
Lanjut Faiz, pihak sekolah enggan memberikan keringanan kepada orangtua Khusniatul Khusna, jika tidak mampu menunjukkan surat keterangan tidak mampu disertai dengan kartu jaminan kesehatan maupun kartu penerima jaminan sosial dari pemerintah.
“Kami hanya bisa berharap ada kebijakan keringanan dari pihak sekolah. Karena belum pegang ijazah, sekarang Khusniatul Khusna disekolahkan di pondok pesantren," paparnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal Muryono langsung menindaklanjuti kasus tersebut dengan melakukan sidak. Hasilnya, tidak hanya satu siswa saja, tapi ada puluhan siswa yang ijazahnya ditahan oleh pihak sekolah.
“Saya deadline kepala sekolah untuk menyelesaikan ijazah puluhan siswa lainnya. Jika dalam waktu seminggu tidak selesai, saya akan berikan sanksi tegas. Sebab ini sudah termasuk pelanggaran hak siswa untuk menerima ijazahnya,” ujar Muryono.
Menurutnya, dengan ditahannya ijazah akan menghambat siswa ke depan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sehingga akan menghambat program pemerintah untuk menyukseskan wajib belajar 12 tahun.
“Hal ini tidak hanya berlaku bagi SMP 2 Kaliwungu saja, tapi semua sekolah, terutama di sekolah-sekolah negeri ditingkatan SD dan SMP. Saya juga akan cek sekolah mana saja yang masih menahan ijazah siswanya. Jika memang ada sekolah, maka saya akan mengawal langsung,” imbuhnya.
Selain itu, pihaknya juga melarang sekolah untuk memungut dana SPI untuk pembangunan sekolah. Sebab pembangunan sekolah ditanggung oleh pemerintah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Begitupun SPP, juga tidak semestinya sekolah memungut lantaran sudah ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Pembangunan gedung sekolah, jangan memungut dari siswa. Silakan didata kebutuhan sekolah, kemudian diajukan melalui DAK. Pasti akan dapat bantuan, tidak ada sekolah yang tidak dapat DAK maupun BOS,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Sekolah SMPN 2 Kaliwungu Ery Saerodji menyampaikan bahwa ada puluhan ijazah yang masih belum diambil. Hal itu karena turunnya ijazah sesudah pendaftaran siswa baru.
“Sehingga banyak ijazah yang belum ada sidik tiga jarinya, sehingga belum bisa diambil. Jadi bukan kami menahannya,” paparnya.
Terkait rincian dana yang harus dilunasi orangtua siswa sebesar Rp925 ribu, Ery Saerodji menjelaskan, dana itu untuk pembangunan eternit sekolah yang rusak.
“Untuk uang perpisahan, karena dibatalkan, kami kembalikan kepada orangtua siswa. Bagi siswa yang tidak mampu dan mau ambil ijazah harus menunjukkan surat keterangan dari kepala desa,” tandasnya.
Siswa yang tidak dapat mengambil ijazah adalah Khusniatul Khusna. Dia tidak bisa melunasi SPI, lantaran hidup dalam keluarga yang sederhana.
Muhammad Faiz Wahyudi, kakak Khusniatul Khusna mengatakan, bahwa orangtua Khusniatul Khusna saat akan mengambil ijazah diberikan rincian dana tanggungan yang harus dilunasi, yakni pembayaran SPI, sumbangan perpisahan, Administrasi Ujian Nasional (UN), pas foto, dan kenang-kenangan sekolah, totalnya mencapai Rp975 ribu.
"Rinciannya, SPI sebesar Rp200 ribu, komite sekolah Rp525 ribu, kenang-kenangan Rp100 ribu, perpisahan siswa Rp35 ribu, administrasi UN Rp100 ribu, dan pas foto Rp15 ribu," kata dia, Senin (19/1/2015).
Surat tersebut, sambung Faiz, diberikan pada orangtua RNK, pada April 2014 lalu. Sampai saat ini, pihak orangtua Khusniatul Khusna belum bisa melunasi biaya tersebut, sebab belum memiliki uang.
Pihak orangtua Khusniatul Khusna juga tidak berani meminta keringanan, lantaran merasa malu dengan pihak sekolah, karena berasal dari latar belakang keluarga ekonomi kurang mampu.
Lanjut Faiz, pihak sekolah enggan memberikan keringanan kepada orangtua Khusniatul Khusna, jika tidak mampu menunjukkan surat keterangan tidak mampu disertai dengan kartu jaminan kesehatan maupun kartu penerima jaminan sosial dari pemerintah.
“Kami hanya bisa berharap ada kebijakan keringanan dari pihak sekolah. Karena belum pegang ijazah, sekarang Khusniatul Khusna disekolahkan di pondok pesantren," paparnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal Muryono langsung menindaklanjuti kasus tersebut dengan melakukan sidak. Hasilnya, tidak hanya satu siswa saja, tapi ada puluhan siswa yang ijazahnya ditahan oleh pihak sekolah.
“Saya deadline kepala sekolah untuk menyelesaikan ijazah puluhan siswa lainnya. Jika dalam waktu seminggu tidak selesai, saya akan berikan sanksi tegas. Sebab ini sudah termasuk pelanggaran hak siswa untuk menerima ijazahnya,” ujar Muryono.
Menurutnya, dengan ditahannya ijazah akan menghambat siswa ke depan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sehingga akan menghambat program pemerintah untuk menyukseskan wajib belajar 12 tahun.
“Hal ini tidak hanya berlaku bagi SMP 2 Kaliwungu saja, tapi semua sekolah, terutama di sekolah-sekolah negeri ditingkatan SD dan SMP. Saya juga akan cek sekolah mana saja yang masih menahan ijazah siswanya. Jika memang ada sekolah, maka saya akan mengawal langsung,” imbuhnya.
Selain itu, pihaknya juga melarang sekolah untuk memungut dana SPI untuk pembangunan sekolah. Sebab pembangunan sekolah ditanggung oleh pemerintah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Begitupun SPP, juga tidak semestinya sekolah memungut lantaran sudah ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Pembangunan gedung sekolah, jangan memungut dari siswa. Silakan didata kebutuhan sekolah, kemudian diajukan melalui DAK. Pasti akan dapat bantuan, tidak ada sekolah yang tidak dapat DAK maupun BOS,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Sekolah SMPN 2 Kaliwungu Ery Saerodji menyampaikan bahwa ada puluhan ijazah yang masih belum diambil. Hal itu karena turunnya ijazah sesudah pendaftaran siswa baru.
“Sehingga banyak ijazah yang belum ada sidik tiga jarinya, sehingga belum bisa diambil. Jadi bukan kami menahannya,” paparnya.
Terkait rincian dana yang harus dilunasi orangtua siswa sebesar Rp925 ribu, Ery Saerodji menjelaskan, dana itu untuk pembangunan eternit sekolah yang rusak.
“Untuk uang perpisahan, karena dibatalkan, kami kembalikan kepada orangtua siswa. Bagi siswa yang tidak mampu dan mau ambil ijazah harus menunjukkan surat keterangan dari kepala desa,” tandasnya.
(san)