Unik dan Satu-satunya Gambar Kapur 3D di Indonesia
A
A
A
SEMARANG - Menggambar bisa dilakukan dengan menggunakan media apa pun. Salah satunya kapur tulis. Seperti yang dilakukan komunitas Chalk Art Indonesia ini misalnya.
Komunitas yang didirikan sejak 12 Juli tahun 2012 oleh Nasay Saputra ini tidak hanya memanfaatkan kapur tulis sebagai alat untuk berkarya, tetapi karya yang dihasilkan berbeda, yakni gambar tiga dimensi (3D). Gambar yang dihasilkannya pun cukup menarik, semisal jembatan, pohon, gedung, maupun orang.
Gambar 3D hasil goresan kapur tulis ini jika dilihat dari sudut tertentu terlihat seperti aslinya, bahkan jika disatukan dengan beda asli (bukan gambar) bisa terlihat menyatu. Di sini keunikan sekaligus kesulitan dari seni menggambar 3D.
Nasay Saputra, pendiri Chalk Art Indonesia, mengaku mulai menggunakan media kapur karena hobi menggambar dengan kapur ketimbang kuas atau pensil. “Kebetulan sering lihat gambar-gambar hasil dari kapur kemudian makin tertarik. Makin tertarik lagi setelah ada gambar 3D,” katanya.
Menggambar 3D, kata dia, lebih menekankan pada optik ilution di mana gambar tersebut memberikan efek nyata jika dilihat. Untuk bisa memberikan warna yang natural dan sesuai, kapur yang digunakan pun bukan kapur biasa, seperti yang dijual di toko-toko alat tulis.
Untuk kapur, Nasay lebih memilih membuat sendiri. “Menggambar 3D dengan kapur sangat teknis banget, karena lebih menitikberatkan pada sudut melihat. Kapur yang digunakan pun harus padat, karena kita aplikasikan di tembok, aspal, atau paving,” ungkapnya.
Dikatakannya, saat ini memang belum banyak penyuka seni menggambar dengan kapur. Bahkan sejak berdiri tahun 2012 lalu sampai sekarang baru ada tiga orang anggota.
Menurut Nasay, tidak banyak orang yang suka dengan seni kapur karena untuk menggambar dengan kapur terutama di jalanan dibutuhkan energi besar. “Kami terus memperkenalkan seni ini kepada masyarakat dan hasilnya memang banyak yang suka, tetapi memang belum banyak yang mau menggelutinya,” ujarnya.
Nasay mengklaim di Indonesia, Chalk Art Indonesia adalah satu-satunya komunitas seni kapur dan tidak banyak orang menggeluti Chalk Art 3D. “Kalau di negaranegara lain sudah banyak, bahkan sudah dikompetisikan, tapi di Indonesia baru ada satu ini,” ujarnya.
Salah satu anggota komunitas Chalk Art Indonesia, Idham Siswara mengatakan, menggeluti seni kapur khususnya untuk menggambar 3D memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Kesulitannya menentukan titik di mana gambar yang dihasilkan harus bisa terlihat nyata dan menyatu dengan benda di sekelilingnya.
“Gambar tiga dimensi sangat unik, gambar ini hanya bisa dilihat dari satu titik. Misalnya kalau kita mau memotret hasilnya harus dari satu sudut pandang tertentu, kalau sembarangan, hasilnya akan seperti gambar biasa,” katanya.
Untuk menentukan titik dibutuhkan kreativitas, kejelian, konsep, serta bendabenda lain yang akan disatukan di dalam gambar. “Ada tantangan tersendiri dan lebih menarik,” ucapnya.
Andik Sismanto
Komunitas yang didirikan sejak 12 Juli tahun 2012 oleh Nasay Saputra ini tidak hanya memanfaatkan kapur tulis sebagai alat untuk berkarya, tetapi karya yang dihasilkan berbeda, yakni gambar tiga dimensi (3D). Gambar yang dihasilkannya pun cukup menarik, semisal jembatan, pohon, gedung, maupun orang.
Gambar 3D hasil goresan kapur tulis ini jika dilihat dari sudut tertentu terlihat seperti aslinya, bahkan jika disatukan dengan beda asli (bukan gambar) bisa terlihat menyatu. Di sini keunikan sekaligus kesulitan dari seni menggambar 3D.
Nasay Saputra, pendiri Chalk Art Indonesia, mengaku mulai menggunakan media kapur karena hobi menggambar dengan kapur ketimbang kuas atau pensil. “Kebetulan sering lihat gambar-gambar hasil dari kapur kemudian makin tertarik. Makin tertarik lagi setelah ada gambar 3D,” katanya.
Menggambar 3D, kata dia, lebih menekankan pada optik ilution di mana gambar tersebut memberikan efek nyata jika dilihat. Untuk bisa memberikan warna yang natural dan sesuai, kapur yang digunakan pun bukan kapur biasa, seperti yang dijual di toko-toko alat tulis.
Untuk kapur, Nasay lebih memilih membuat sendiri. “Menggambar 3D dengan kapur sangat teknis banget, karena lebih menitikberatkan pada sudut melihat. Kapur yang digunakan pun harus padat, karena kita aplikasikan di tembok, aspal, atau paving,” ungkapnya.
Dikatakannya, saat ini memang belum banyak penyuka seni menggambar dengan kapur. Bahkan sejak berdiri tahun 2012 lalu sampai sekarang baru ada tiga orang anggota.
Menurut Nasay, tidak banyak orang yang suka dengan seni kapur karena untuk menggambar dengan kapur terutama di jalanan dibutuhkan energi besar. “Kami terus memperkenalkan seni ini kepada masyarakat dan hasilnya memang banyak yang suka, tetapi memang belum banyak yang mau menggelutinya,” ujarnya.
Nasay mengklaim di Indonesia, Chalk Art Indonesia adalah satu-satunya komunitas seni kapur dan tidak banyak orang menggeluti Chalk Art 3D. “Kalau di negaranegara lain sudah banyak, bahkan sudah dikompetisikan, tapi di Indonesia baru ada satu ini,” ujarnya.
Salah satu anggota komunitas Chalk Art Indonesia, Idham Siswara mengatakan, menggeluti seni kapur khususnya untuk menggambar 3D memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Kesulitannya menentukan titik di mana gambar yang dihasilkan harus bisa terlihat nyata dan menyatu dengan benda di sekelilingnya.
“Gambar tiga dimensi sangat unik, gambar ini hanya bisa dilihat dari satu titik. Misalnya kalau kita mau memotret hasilnya harus dari satu sudut pandang tertentu, kalau sembarangan, hasilnya akan seperti gambar biasa,” katanya.
Untuk menentukan titik dibutuhkan kreativitas, kejelian, konsep, serta bendabenda lain yang akan disatukan di dalam gambar. “Ada tantangan tersendiri dan lebih menarik,” ucapnya.
Andik Sismanto
(ftr)