Analisis BMKG Soal Kecelakaan AirAsia QZ8501
A
A
A
JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan analisis meteorologis terkait kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501. Seperti apa analisisnya?
Dikutip dari situs resmi BMKG, Senin (5/1/2015), analisis dilakukan oleh Prof Edwin Aldrian, Ferdika Amsal, Jose Rizal, dan Kadarsah dari Puslitbang BMKG.
Dalam analisis meteorologis tersebut antara lain disebutkan data kronologi kejadian. Disebutkan, pesawat AirAsia QZ8501 lepas landas dari landas pacu 10 Juanda International Airport (SUB) pukul 05.35 waktu setempat (22.35 UTC). Arah pesawat setelah lepas landas berbelok ke kiri 329° di atas Laut Jawa.
Pada pukul 05.54 Lt, ketinggian pesawat mencapai FL320. Kemudian pesawat mengubah arah ke kiri menjadi 319°. 10 menit kemudian mengubah lagi arah sedikit ke arah 310°. Pesawat terlihat terakhir di layar monitor ACC radar pada pukul 06.24 WIB atau 23.24 UTC. Pada saat itu pesawat sedang melakukan deviasi (pengalihan arah) dari yang telah direncanakan karena alasan cuaca buruk. Pesawat meminta kenaikan ketinggian dari 32.000 kaki ke 38.000 kaki.
Dari beberapa kali manuver perubahan arah (heading) yang dilakukan oleh pesawat tersebut diperkirakan pesawat menghindari cuaca buruk yang menghadang di depannya.
Diperkirakan AWQ-8501/QZ-8501 terjebak cuaca buruk yang sulit dihindari ketika sedang berada di atas Selat Karimata dekat Pulau Belitung. Pada pukul 07.08 WIB, pesawat dinyatakan INCERFA (fase ketidakpastian), pada 07.28 WIB, pesawat dinyatakan ALERFA (fase siaga), dan kemudian pada 07.55 WIB, pesawat dinyatakan DISTRESFA (fase distress).
Pada detik-detik terakhir pesawat akan hilang dari layar radar monitor, terlihat pesawat telah melakukan deviasi ke sebelah kiri dari jalur yang direncanakan.
Arah pesawat AWQ-8501/QZ-8501 terlihat membelok ke arah sebelah kiri dan sudah meninggalkan ketinggian 32.000 kaki dan sedang naik menuju ketinggian 36.300 kaki, sedangkan kecepatan menurun menjadi 353Kts.
Berdasarkan data gambar dari monitor radar tersebut terlihat pada waktu yang bersamaan selain QZ8501 ada juga pesawat lain dari maskapai Emirates dengan nomor penerbangan UAE-409 yang terbang reguler dari YMML/MEL (Melbourne, Australia) menuju WMKK/KUL (Kuala Lumpur).
Pada saat itu pesawat UAE-409 yang berangkat dari MEL pada hari yang sama pukul 04:10 WIB dan tiba di KUL pukul 08.22 WIB, berada di depan sebelah kiri dari jalur QZ-8501 dengan ketinggian 36.000 kaki dan kecepatan 503 Kts.
Kemudian, analisis tersebut juga memuat meteorological flight document. Secara umum, kondisi cuaca pada bandara asal dan bandara tujuan menunjukkan kondisi cuaca yang tidak signifikan, sangat memungkinkan untuk take off dan landing pesawat.
Namun dapat dilihat bahwa kondisi cuaca yang diberikan dalam dokumen penerbangan yang diberikan oleh Kantor BMKG menunjukkan bahwa pada rute yang akan dilewati selama pesawat cruising level, terdapat kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Hal tersebut dapat dilihat dari data SIGWx dan citra satelit yang diberikan pada saat pilot melakukan briefing sebelum terbang.
Di bagian analisis kejadian dijelaskan, secara umum kondisi gangguan cuaca skala regional yang muncul saat terjadinya kejadian kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501. Kondisi konvektifitas yang terjadi di sekitar wilayah terjadinya kecelakaan pesawat tersebut merupakan hal yang rutin terjadi pada bulan-bulan ini, ketika Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) bermigrasi ke selatan selama musim panas pada belahan bumi selatan.
Kehadiran suhu permukaan laut yang cukup hangat bersamaan dengan berlimpahnya massa udara basah di bagian barat Indonesia membantu menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan awan-awan badai berskala besar.
Analisis kejadian ini menggunakan peta pada situs web server SSEC RealEarth, dengan menggabungkan antara peta regional dan MTSAT-2 10,8 IR (Infra Red) pada pukul 23.00 UTC. Citra satelit menunjukkan bahwa ada kelompok awan-awan konvektif pada jalur penerbangan yang dilewati.
Saat kejadian, citra satelit IR mengungkapkan bahwa suhu puncak awan mencapai -80º s/d
-85ºC (warna violet), yang berarti terdapat butiran-butiran es di dalam awan tersebut (icing).
Dengan menggunakan citra satelit Vis (visible), analis BMKG mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang identifikasi awan konvektif yang ada pada jalur penerbangan yang dilewati oleh AirAsia QZ8501. Hal tersebut juga menunjukkan bukti bahwa ada beberapa puncak awan yang menjulang tinggi pada jalur penerbangan yang dilewati.
Data udara atas pada saat kejadian yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Pangkal Pinang menunjukkan bahwa pesawat terbang dengan ketinggian jelajah 32.000 kaki atau dapat
dikonversi sekitar 300 hPa (9750 meter di atas permukaan tanah), suhu udara sekitar yang
teramati pada ketinggian tersebut adalah -29.3ºC dan angin bertiup dari barat-daya dengan
kecepatan 16 knot.
Ketinggian lapisan tropopause yang diamati sekitar 100 hPa (pada ketinggian 54.265 feet atau 1.654 km), dengan suhu udara -86.5ºC mendekati suhu puncak awan yang didapat dari citra satelit IR. Puncak awan yang menjulang tinggi dengan suhu hingga -85ºC.
Analisis udara atas memperlihatkan adanya kondisi yang kering pada lapisan bawah (1000-800 Mb) yang berarti tidak terjadi konvektifitas yang cukup kuat pada saat kejadian. Pasokan massa udara yang lemah, dan kondisi labilitas atmosfer yang tidak cukup labil hingga lapisan atas, menunjukkan kemungkinan turbulensi atau terjadinya badai besar menjadi diragukan.
Namun, kondisi angin geser (wind shear) yang kuat (70 Kt) antara lapisan bawah dan lapisan atas (tropopause) cukup signifikan dan menjadikan kondisi lingkungan yang kondusif untuk sel-sel konvektifitas berumur panjang, dan kemungkinan dapat menjelaskan aktivitas awan-awan konvektif yang terjadi beberapa hari sebelumnya menjadi bersifat berkelanjutan di sekitaran Laut Jawa.
Selain itu, kejadian ini karena ketinggian lapisan tropopause yang cukup tinggi (56.000 feet), maka kondisi tersebut menyebabkan kondisi puncak awan yang menjulang tinggi hingga mencapai 50.000 feet.
Di bagian akhir analisis tersebut disimpulkan, berdasarkan data yang tersedia di lokasi terakhir pesawat yang diterima, cuaca adalah faktor pemicu terjadinya kecelakaan tersebut.
Fenomena cuaca yang paling memungkinkan adalah terjadinya icing yang dapat menyebabkan mesin pesawat mengalami kerusakan karena pendinginan.
Di bagian akhir analisis juga ditekankan, hal ini hanyalah salah satu analisis kemungkinan yang terjadi berdasarkan data meteorologis yang ada, bukan merupakan keputusan akhir tentang penyebab terjadinya insiden tersebut.
Dikutip dari situs resmi BMKG, Senin (5/1/2015), analisis dilakukan oleh Prof Edwin Aldrian, Ferdika Amsal, Jose Rizal, dan Kadarsah dari Puslitbang BMKG.
Dalam analisis meteorologis tersebut antara lain disebutkan data kronologi kejadian. Disebutkan, pesawat AirAsia QZ8501 lepas landas dari landas pacu 10 Juanda International Airport (SUB) pukul 05.35 waktu setempat (22.35 UTC). Arah pesawat setelah lepas landas berbelok ke kiri 329° di atas Laut Jawa.
Pada pukul 05.54 Lt, ketinggian pesawat mencapai FL320. Kemudian pesawat mengubah arah ke kiri menjadi 319°. 10 menit kemudian mengubah lagi arah sedikit ke arah 310°. Pesawat terlihat terakhir di layar monitor ACC radar pada pukul 06.24 WIB atau 23.24 UTC. Pada saat itu pesawat sedang melakukan deviasi (pengalihan arah) dari yang telah direncanakan karena alasan cuaca buruk. Pesawat meminta kenaikan ketinggian dari 32.000 kaki ke 38.000 kaki.
Dari beberapa kali manuver perubahan arah (heading) yang dilakukan oleh pesawat tersebut diperkirakan pesawat menghindari cuaca buruk yang menghadang di depannya.
Diperkirakan AWQ-8501/QZ-8501 terjebak cuaca buruk yang sulit dihindari ketika sedang berada di atas Selat Karimata dekat Pulau Belitung. Pada pukul 07.08 WIB, pesawat dinyatakan INCERFA (fase ketidakpastian), pada 07.28 WIB, pesawat dinyatakan ALERFA (fase siaga), dan kemudian pada 07.55 WIB, pesawat dinyatakan DISTRESFA (fase distress).
Pada detik-detik terakhir pesawat akan hilang dari layar radar monitor, terlihat pesawat telah melakukan deviasi ke sebelah kiri dari jalur yang direncanakan.
Arah pesawat AWQ-8501/QZ-8501 terlihat membelok ke arah sebelah kiri dan sudah meninggalkan ketinggian 32.000 kaki dan sedang naik menuju ketinggian 36.300 kaki, sedangkan kecepatan menurun menjadi 353Kts.
Berdasarkan data gambar dari monitor radar tersebut terlihat pada waktu yang bersamaan selain QZ8501 ada juga pesawat lain dari maskapai Emirates dengan nomor penerbangan UAE-409 yang terbang reguler dari YMML/MEL (Melbourne, Australia) menuju WMKK/KUL (Kuala Lumpur).
Pada saat itu pesawat UAE-409 yang berangkat dari MEL pada hari yang sama pukul 04:10 WIB dan tiba di KUL pukul 08.22 WIB, berada di depan sebelah kiri dari jalur QZ-8501 dengan ketinggian 36.000 kaki dan kecepatan 503 Kts.
Kemudian, analisis tersebut juga memuat meteorological flight document. Secara umum, kondisi cuaca pada bandara asal dan bandara tujuan menunjukkan kondisi cuaca yang tidak signifikan, sangat memungkinkan untuk take off dan landing pesawat.
Namun dapat dilihat bahwa kondisi cuaca yang diberikan dalam dokumen penerbangan yang diberikan oleh Kantor BMKG menunjukkan bahwa pada rute yang akan dilewati selama pesawat cruising level, terdapat kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Hal tersebut dapat dilihat dari data SIGWx dan citra satelit yang diberikan pada saat pilot melakukan briefing sebelum terbang.
Di bagian analisis kejadian dijelaskan, secara umum kondisi gangguan cuaca skala regional yang muncul saat terjadinya kejadian kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501. Kondisi konvektifitas yang terjadi di sekitar wilayah terjadinya kecelakaan pesawat tersebut merupakan hal yang rutin terjadi pada bulan-bulan ini, ketika Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) bermigrasi ke selatan selama musim panas pada belahan bumi selatan.
Kehadiran suhu permukaan laut yang cukup hangat bersamaan dengan berlimpahnya massa udara basah di bagian barat Indonesia membantu menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan awan-awan badai berskala besar.
Analisis kejadian ini menggunakan peta pada situs web server SSEC RealEarth, dengan menggabungkan antara peta regional dan MTSAT-2 10,8 IR (Infra Red) pada pukul 23.00 UTC. Citra satelit menunjukkan bahwa ada kelompok awan-awan konvektif pada jalur penerbangan yang dilewati.
Saat kejadian, citra satelit IR mengungkapkan bahwa suhu puncak awan mencapai -80º s/d
-85ºC (warna violet), yang berarti terdapat butiran-butiran es di dalam awan tersebut (icing).
Dengan menggunakan citra satelit Vis (visible), analis BMKG mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang identifikasi awan konvektif yang ada pada jalur penerbangan yang dilewati oleh AirAsia QZ8501. Hal tersebut juga menunjukkan bukti bahwa ada beberapa puncak awan yang menjulang tinggi pada jalur penerbangan yang dilewati.
Data udara atas pada saat kejadian yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Pangkal Pinang menunjukkan bahwa pesawat terbang dengan ketinggian jelajah 32.000 kaki atau dapat
dikonversi sekitar 300 hPa (9750 meter di atas permukaan tanah), suhu udara sekitar yang
teramati pada ketinggian tersebut adalah -29.3ºC dan angin bertiup dari barat-daya dengan
kecepatan 16 knot.
Ketinggian lapisan tropopause yang diamati sekitar 100 hPa (pada ketinggian 54.265 feet atau 1.654 km), dengan suhu udara -86.5ºC mendekati suhu puncak awan yang didapat dari citra satelit IR. Puncak awan yang menjulang tinggi dengan suhu hingga -85ºC.
Analisis udara atas memperlihatkan adanya kondisi yang kering pada lapisan bawah (1000-800 Mb) yang berarti tidak terjadi konvektifitas yang cukup kuat pada saat kejadian. Pasokan massa udara yang lemah, dan kondisi labilitas atmosfer yang tidak cukup labil hingga lapisan atas, menunjukkan kemungkinan turbulensi atau terjadinya badai besar menjadi diragukan.
Namun, kondisi angin geser (wind shear) yang kuat (70 Kt) antara lapisan bawah dan lapisan atas (tropopause) cukup signifikan dan menjadikan kondisi lingkungan yang kondusif untuk sel-sel konvektifitas berumur panjang, dan kemungkinan dapat menjelaskan aktivitas awan-awan konvektif yang terjadi beberapa hari sebelumnya menjadi bersifat berkelanjutan di sekitaran Laut Jawa.
Selain itu, kejadian ini karena ketinggian lapisan tropopause yang cukup tinggi (56.000 feet), maka kondisi tersebut menyebabkan kondisi puncak awan yang menjulang tinggi hingga mencapai 50.000 feet.
Di bagian akhir analisis tersebut disimpulkan, berdasarkan data yang tersedia di lokasi terakhir pesawat yang diterima, cuaca adalah faktor pemicu terjadinya kecelakaan tersebut.
Fenomena cuaca yang paling memungkinkan adalah terjadinya icing yang dapat menyebabkan mesin pesawat mengalami kerusakan karena pendinginan.
Di bagian akhir analisis juga ditekankan, hal ini hanyalah salah satu analisis kemungkinan yang terjadi berdasarkan data meteorologis yang ada, bukan merupakan keputusan akhir tentang penyebab terjadinya insiden tersebut.
(zik)