Saatnya Berdamai
A
A
A
SEMARANG - Kendati PT Liga Indonesia belum resmi merilis pengelompokan tim-tim Divisi Utama 2015, PSIS Semarang dan Persijap Jepara dikabarkan berada dalam satu grup. Kondisi ini mengingatkan peristiwa kelam pada 2006.
Keduanya satu grup dengan PSS Sleman, Persis Solo, dan tim dari Jateng lain. Pertemuan kedua tim yang memiliki sejarah sepak bola cukup kuat di Jawa Tengah itu tidak hanya menjadi adu gengsi, tapi di sisi lain juga akan mengingatkan kembali akan sejarah buruk kedua tim saat bentrok pada Liga Djarum di Stadion Kamal Junaidi, 12 Maret 2006.
Saat itu pendukung PSIS bentrok dengan suporter tuan rumah, yang diawali dari saling ejek dan berlanjut saling lempar. Dalam insiden tersebut, puluhan suporter Mahesa Jenar, julukan PSIS, mengalami lukaluka di bagian kepala dan beberapa di antaranya terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit karena menderita luka serius, bahkan ada yang mengalami diskolasi tulang.
Beberapa suporter Persijap juga turut mengalami luka-luka. Pascainsiden tersebut, bus rombongan dari suporter Persijap juga dirusak massa saat melintas di Semarang, diduga karena tindakan balas dendam. Hubungan kedua suporter memanas sejak saat itu. Bahkan, beberapa angkutan umum jurusan Semarang-Jepara yang akan masuk ke Terminal Terboyo, pernah dirusak massa.
Kedua tim kemudian tidak pernah bertemu karena Laskar Kalinyamat, julukan Persijap, setelah itu bisa lolos ke Indonesia Super League (ISL). Sayang, pada musim 2014 Persijap terdegradasi ke Divisi Utama dan kini statusnya sejajar dengan PSIS. Manajer PSIS Adi Saputro mengaku sudah mendapat informasi jika PSIS dan Persijap akan berada dalam satu grup dan pihaknya tidak mempermasalahkan.
Dia tidak terlalu khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pasalnya, CEO PT Mahes Jenar Semarang Yoyok Sukawi sudah mengumpulkan perwakilan dari suporter di Jawa Tengah pascainsiden di Godong, Grobogan, di Hotel Patra, Semarang, pada 2013.
“Hubungan sudah baik, setelah kerusuhan di Godong. Bisa dilihat sendiri tidak ada lagi nyanyian rasis di Jatidiri pada musim lalu,” ungkap Adi Saputro. Jika berada dalam satu grup, ini bisa menjadi islah nyata kedua suporter, tidak hanya kesepakatan di forum.
Sementara dari Jepara, Ketua Umum Barisan Suporter Persijap Sejati (Banaspati ) H Saadi mengajak kepada seluruh elemen pendukung di Kota Ukir untuk bisa menahan diri dan melupakan kejadian yang telah berlalu. “Kalau masa lalu, ya masa lalu,” ungkapnya.
Menurut Saadi, sepak bola merupakan ajang mempererat tali persaudaraan. Apalah artinya prestasi bagi tim sepak bola jika suporternya tidak kondusif. Pasalnya, selama ini tidak bisa dimungkiri tingkatan berdamai hanya sampai di tingkat pengurus.
“Yang terjadi salah paham biasanya di-grass root dan yang tidak mengerti melakukan tindakan anarkistis. Apalagi, sekarang di dunia maya pernyataan-pernyataan bernada rasis masih sering muncul. Ini masih butuh proses panjang agar hubungan kembali membaik,” tuturnya.
Arif Purniawan
Keduanya satu grup dengan PSS Sleman, Persis Solo, dan tim dari Jateng lain. Pertemuan kedua tim yang memiliki sejarah sepak bola cukup kuat di Jawa Tengah itu tidak hanya menjadi adu gengsi, tapi di sisi lain juga akan mengingatkan kembali akan sejarah buruk kedua tim saat bentrok pada Liga Djarum di Stadion Kamal Junaidi, 12 Maret 2006.
Saat itu pendukung PSIS bentrok dengan suporter tuan rumah, yang diawali dari saling ejek dan berlanjut saling lempar. Dalam insiden tersebut, puluhan suporter Mahesa Jenar, julukan PSIS, mengalami lukaluka di bagian kepala dan beberapa di antaranya terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit karena menderita luka serius, bahkan ada yang mengalami diskolasi tulang.
Beberapa suporter Persijap juga turut mengalami luka-luka. Pascainsiden tersebut, bus rombongan dari suporter Persijap juga dirusak massa saat melintas di Semarang, diduga karena tindakan balas dendam. Hubungan kedua suporter memanas sejak saat itu. Bahkan, beberapa angkutan umum jurusan Semarang-Jepara yang akan masuk ke Terminal Terboyo, pernah dirusak massa.
Kedua tim kemudian tidak pernah bertemu karena Laskar Kalinyamat, julukan Persijap, setelah itu bisa lolos ke Indonesia Super League (ISL). Sayang, pada musim 2014 Persijap terdegradasi ke Divisi Utama dan kini statusnya sejajar dengan PSIS. Manajer PSIS Adi Saputro mengaku sudah mendapat informasi jika PSIS dan Persijap akan berada dalam satu grup dan pihaknya tidak mempermasalahkan.
Dia tidak terlalu khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pasalnya, CEO PT Mahes Jenar Semarang Yoyok Sukawi sudah mengumpulkan perwakilan dari suporter di Jawa Tengah pascainsiden di Godong, Grobogan, di Hotel Patra, Semarang, pada 2013.
“Hubungan sudah baik, setelah kerusuhan di Godong. Bisa dilihat sendiri tidak ada lagi nyanyian rasis di Jatidiri pada musim lalu,” ungkap Adi Saputro. Jika berada dalam satu grup, ini bisa menjadi islah nyata kedua suporter, tidak hanya kesepakatan di forum.
Sementara dari Jepara, Ketua Umum Barisan Suporter Persijap Sejati (Banaspati ) H Saadi mengajak kepada seluruh elemen pendukung di Kota Ukir untuk bisa menahan diri dan melupakan kejadian yang telah berlalu. “Kalau masa lalu, ya masa lalu,” ungkapnya.
Menurut Saadi, sepak bola merupakan ajang mempererat tali persaudaraan. Apalah artinya prestasi bagi tim sepak bola jika suporternya tidak kondusif. Pasalnya, selama ini tidak bisa dimungkiri tingkatan berdamai hanya sampai di tingkat pengurus.
“Yang terjadi salah paham biasanya di-grass root dan yang tidak mengerti melakukan tindakan anarkistis. Apalagi, sekarang di dunia maya pernyataan-pernyataan bernada rasis masih sering muncul. Ini masih butuh proses panjang agar hubungan kembali membaik,” tuturnya.
Arif Purniawan
(ftr)