Panggung Budaya di Malam Pergantian Tahun

Jum'at, 02 Januari 2015 - 11:00 WIB
Panggung Budaya di Malam...
Panggung Budaya di Malam Pergantian Tahun
A A A
CIREBON - Panggung budaya di Taman Air Gua Sunyaragi terakhir menjadi tempat pagelaran memolo Masjid Agung Sang Sipta Rasa pada 2005.

Di akhir 2014, panggung dengan latar belakang lekukan-lekukan salah satu sudut Gua Sunyaragi itu menjadi tempat digelarnya pesta pergantian tahun bertajuk Warsa Enggal 2015. Panggung budaya di malam pergantian tahun itu diguyur hujan. Sesekali deras, lain waktu hanya gemericik. Namun kelembapannya konstan terasa sejak dimulainya pagelaran hingga akhir.

Panggung budaya di malam per gantian tahun itu menjadi tempat sekitar 300 seniman dari 13 sanggar seni Cirebon, baik tradisional maupun modern, mengekspresikan keahliannya masing-masing. Di antara gerakan penari yang asyik, penyanyi bersuara menarik, pemusik apik, dan tata panggung yang unik, cuaca saat itu tak membuat mereka terusik.

Tabuhan gamelan renteng membuka rangkaian acara sekitar pukul 19.30 WIB. Atmosfer religi melingkupi areal Taman Air Gua Sunyaragi saat kesenian tradisional bercampur dengan nilai-nilai syiar Islam warisan para wali dalam sajian gembyung dan brai. Seni gembyung sendiri merupakan salah satu kesenian peninggalan para wali di Cirebon.

Gembyung pernah digu nakan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga sebagai media penyebaran ajaran Islam di tanah Cirebon. Sementara brai merupakan suatu jenis nyanyian ber syair keagamaan dalam bahasa Arab. Selain pertunjukan kesenian, Warsa Enggal 2015 juga diisi doa oleh penghulu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Tak kalah penting, dilaksanakan pula deklarasi ‘Aja Isin Bebasa Cerbon’ (jangan malu berbahasa Cirebon) serta penyerahan pusaka keris dari Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat kepada ketua panitia acara Muhammad Akbar. Setelahnya dilanjutkan dengan macapat, yakni tembang atau puisi tradisional Jawa.

Macapat yang dilantunkan saat itu berisi sejarah singkat Cirebon dan Gua Sunyaragi. Lalu, tari topeng panjipun dipertontonkan oleh seorang penari laki-laki berpakaian dan topeng putih. Dia tak sendirian, empat penari laki-laki dengan kostum putih turut mengiringinya. Gerakan penari utama tampak tak banyak, halus, lembut, dan mengesankan ketenangan.

Hal ini merepresentasikan makna tari topeng panji yang melambangkan kesucian manusia baru lahir. Menyusul tari topeng panji, ditampilkan angklung bungko dari Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon. Kesenian khas Cirebon itu dulu di gunakan untuk mensyiakan ajaran Islam, namun kini termasuk seni yang nyaris punah.

Angklung bungko sendiri berupa tarian yang dibawakan lima orang yang mengenakan kaca mata hitam. Diiringi gamelan, dengan lantunan puji-pujian dan doa kepada Allah SWT.

Selain tari, tampil pula penyanyi Diana Sastra yang membawakan lagu berjudul Kota Cirebon. Lagu ini menggambarkan kondisi Cirebon yang berada tak jauh dari laut dan berbatasan dengan Jawa Tengah, serta mengandung potensi alam, seni, dan budayanya.

Kemudian, ditampilkan tari bedaya kembang kanigaran oleh sembilan penari perempuan dengan gerakan lembut. Gerakan penari bedaya kembang kanigaran kontras dengan gerakan enerjik belasan penari rampak topeng tumenggung yang menyusul setelahnya.

Selain itu ada pula tari ronggeng bugis yang kocak, tari kipas semilir angin kumbang, tari topeng kelana oleh maestro tari topeng Inu Kertapati yang menampilkan gerakan aktif, lincah penuh ketegasan, dengan iringan musik gamelan yang menghentak, sesuai perlambangnya berupa sifat angkara murka dalam diri manusia.

Tepat pada Kamis (1/1) pukul 00.00 WIB, cahaya sekitar 1.000 kembang api Warsa Enggal 2015 pun berpendar di langit malam. Suara gamelan penuh semangat bercampur dengan tiupan terompet masyarakat yang hadir di sekitar areal Taman Air Gua Sunyaragi, mengiringi ledakan-ledakan kembang api di udara.

Sultan Arief sendiri kepada media meyakinkan, pesta kembang api malam itu lebih pada gelaran doa menyambut Tahun Baru. Menurut dia, semua kesenian yang ditampilkan malam itu mengandung warna Islam.

“Ada dzikir, apalagi tadi diawali doa akhir tahun dan tutup tahun. Jadi, acara ini bukan untuk mengundang kontroversi mengenai kegiatan apa yang selayaknya dilakukan saat Tahun Baru masehi dalam ajaran Islam,” tegas dia saat disinggung tentang kontroversi perayaan Tahun Baru.

Dia memastikan, kegiatan itu untuk mengangkat seni budaya lokal Cirebon. Setelah nyaris satu dekade panggung budaya itu tak menampilkan apapun, Warsa Enggal 2015 merupakan event yang menandai kembali eksistensi seni budaya Cirebon.

Erika Lia
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1011 seconds (0.1#10.140)