Ribuan Pelayat Antarkan KH Nawawi
A
A
A
BANTUL - Ribuan orang turut mengantarkan jenazah KH Nawawi Abdul Aziz, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) An Nur Ngrukem, Pendowoharjo, Sewon, Bantul ke peristirahatan terakhir.
Mantan rois Syuriah NU Bantul ini meninggal pada Rabu (24/ 12) sekitar pukul 19.45 WIB di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Sardjito karena menderita sakit tua. Ribuan pelayat tak henti-hentinya berdatangan ke Ponpes An Nur untuk ikut berbela sungkawa atas wafatnya kiai sepuh tersebut.
Menurut pihak keluarga yang diwakili KH Khudlori Abdul Azis, almarhum sebelumnya dirawat hampir sepekan di RS dr Sarjito. Namun, beberapa hari sebelumnya, almarhum, sudah menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Panembahan Senopati Bantul. “Beliau sakit tua. Usianya sudah 89 tahun. Semoga beliau khusnul khotimah. Amin,” ujar salah satu tokoh NU Bantul ini.
KH Khudlori bercerita, KH Nawawi Abdul Azis merupakan putra kedua dari KH Adul Azis, seorang petani yang tinggal di Kawedanan tepatnya di Tulusrejo, Grabag, Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah. Sejak umur 7 tahun, KH Nawawi Abdul Azis, pagi hari sudah sekolah di SD dan sorenya ikut Madrasah Diniah Al Islam Jono dan ketika malam mengaji bersama orang tuanya ilmu fiqih dan Ushuludin.
Umur 13 tahun, KH Nawawi Abdul Aziz kecil sudah masuk ke Pondok Pesantren Lirab Kebumen selama empat tahun. Kemudian yang bersangkutan ditarik ke Ponpes Tugung Banyuwangi pada masa penjajahan Jepang. Dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, KH Nawawi Abdul Azis pulang ke Kutoarjo.
Selang beberapa waktu, dia langsung meneruskan pendidikannya di Pondok Krapyak pimpinan KH Abdul Qodir Munawwir. “Dalam waktu tiga bulan, beliau mampu menghafal 7,5 juz dengan baik,” paparnya. Ketika sedang menuntut ilmu itulah, Yogyakarta diserang Belanda. Demi keselamatannya, dia kembali ke kampung halamannya di Kutoarjo dengan jalan kaki.
Setelah Yogyakarta aman, dia kembali ke Krapyak dan menikahi putri pendiri pondok pesantren Al Munawwir Krapyak, Nyai Hj Walidah Munawwir. KH Nawawi Abdul Azis lantas mendirikan pondok Pesantren An Nur di Ngrukem dengan santri yang jumlahnya ratusan. Ketika meninggal, KH Nawawi Abdul Azis meninggalkan 11 anak juga 49 cucu.
Sebelum meninggal, KH Nawawi meninggalkan wasiat kepada putra-putrinya untuk meneruskan perjuangannya membesarkan pondok Pesantren An Nur. “Bagi santrinya, diharapkan terus mengaji. Kalau tidak ngaji ya mulang, kalau tidak mulang ya ngaji,” ungkapnya sembari berkaca-kaca.
Asisten 3 Sekda Bantul Sunarto sesaat sebelum jenazah di berangkatkan ke pemakaman umum di Dusun Ngrukem mengatakan, Kabupaten Bantul kehilangan seorang ulama besar yang menjadi panutan ma syarakat selama ini.
Tokoh yang menjadi pemuka organisasi masyarakat NU ini selalu ditunggu-tunggu wejangan dan petunjuknya, terutama ketika terjadi perselisihan pendapat. “Kami warga Bantul sangat kehilangan beliau. Sosok yang santun berbudi bowo laksono,” ujarnya.
Erfanto Linangkung
Mantan rois Syuriah NU Bantul ini meninggal pada Rabu (24/ 12) sekitar pukul 19.45 WIB di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Sardjito karena menderita sakit tua. Ribuan pelayat tak henti-hentinya berdatangan ke Ponpes An Nur untuk ikut berbela sungkawa atas wafatnya kiai sepuh tersebut.
Menurut pihak keluarga yang diwakili KH Khudlori Abdul Azis, almarhum sebelumnya dirawat hampir sepekan di RS dr Sarjito. Namun, beberapa hari sebelumnya, almarhum, sudah menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Panembahan Senopati Bantul. “Beliau sakit tua. Usianya sudah 89 tahun. Semoga beliau khusnul khotimah. Amin,” ujar salah satu tokoh NU Bantul ini.
KH Khudlori bercerita, KH Nawawi Abdul Azis merupakan putra kedua dari KH Adul Azis, seorang petani yang tinggal di Kawedanan tepatnya di Tulusrejo, Grabag, Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah. Sejak umur 7 tahun, KH Nawawi Abdul Azis, pagi hari sudah sekolah di SD dan sorenya ikut Madrasah Diniah Al Islam Jono dan ketika malam mengaji bersama orang tuanya ilmu fiqih dan Ushuludin.
Umur 13 tahun, KH Nawawi Abdul Aziz kecil sudah masuk ke Pondok Pesantren Lirab Kebumen selama empat tahun. Kemudian yang bersangkutan ditarik ke Ponpes Tugung Banyuwangi pada masa penjajahan Jepang. Dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, KH Nawawi Abdul Azis pulang ke Kutoarjo.
Selang beberapa waktu, dia langsung meneruskan pendidikannya di Pondok Krapyak pimpinan KH Abdul Qodir Munawwir. “Dalam waktu tiga bulan, beliau mampu menghafal 7,5 juz dengan baik,” paparnya. Ketika sedang menuntut ilmu itulah, Yogyakarta diserang Belanda. Demi keselamatannya, dia kembali ke kampung halamannya di Kutoarjo dengan jalan kaki.
Setelah Yogyakarta aman, dia kembali ke Krapyak dan menikahi putri pendiri pondok pesantren Al Munawwir Krapyak, Nyai Hj Walidah Munawwir. KH Nawawi Abdul Azis lantas mendirikan pondok Pesantren An Nur di Ngrukem dengan santri yang jumlahnya ratusan. Ketika meninggal, KH Nawawi Abdul Azis meninggalkan 11 anak juga 49 cucu.
Sebelum meninggal, KH Nawawi meninggalkan wasiat kepada putra-putrinya untuk meneruskan perjuangannya membesarkan pondok Pesantren An Nur. “Bagi santrinya, diharapkan terus mengaji. Kalau tidak ngaji ya mulang, kalau tidak mulang ya ngaji,” ungkapnya sembari berkaca-kaca.
Asisten 3 Sekda Bantul Sunarto sesaat sebelum jenazah di berangkatkan ke pemakaman umum di Dusun Ngrukem mengatakan, Kabupaten Bantul kehilangan seorang ulama besar yang menjadi panutan ma syarakat selama ini.
Tokoh yang menjadi pemuka organisasi masyarakat NU ini selalu ditunggu-tunggu wejangan dan petunjuknya, terutama ketika terjadi perselisihan pendapat. “Kami warga Bantul sangat kehilangan beliau. Sosok yang santun berbudi bowo laksono,” ujarnya.
Erfanto Linangkung
(ftr)