KDRT Tinggi, Cuti Melahirkan Sedikit
A
A
A
MEDAN - Tahun ini, Hari Ibu diperingati yang ke-86. Meski setiap tahun Hari Ibu ini kerap diperingati secara seremonial dengan gegap gempita, ternyata masalah perempuan masih banyak yang belum diselesaikan.
Mulai dari kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terus meningkat hingga persoalan cuti bagi kaum ibu yang bekerja. Salah seorang pejabat perempuan di Kota Medan, Hannalore Simanjuntak, menceritakan pengalamannya yang sangat sulit bagi seorang perempuan karier untuk memilih kerja dan keluarga, terutama bagi perempuan yang baru saja melahirkan.
“Kita lihat emansipasi yang kita anut saat ini masih sama tanggungjawabnya dengan laki-laki. Seperti saya, pernah menjabat sebagai lurah dan camat, tanggung jawab saya sama dengan laki-laki,” ujar ibu tiga anak ini.
Hannalore yang saat ini menjabat Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Medan mengatakan, persoalan cuti terutama cuti melahirkan hingga saat ini masih terlalu riskan. Apalagi banyak juga perusahaan yang tidak memberikan cuti hamil hingga tiga bulan.
“Kalau di pemerintahan memang kita diberikan cuti selama tiga bulan, tapi biasanya sebelum melahirkan kita sudah cuti, sehingga waktu setelah melahirkan dan menjaga anak itu hanya tersisa dua bulan” “Bisa dibayangkan seorang ibu sudah meninggalkan anaknya yang baru dua bulan. Makanya, kalau bisa pemerintah memberikan kebijakan lebih arif, setidaknya bisa memberikan cuti hingga empat bulan,” kata Hannalore.
Kebijakan ini memang sudah seharusnya diperhatikan, karena selama ini pemerintah juga belum dapat menyediakan tempat penitipan bayi di dekat kantor. “Kalau kita dengar sebutan dan penghormatan perempuan itu sangat tinggi, ibu disebut sebagai tiang negara, pendidik anak. Tapi bagaimana hal itu bisa dilangsungkan dengan baik, jika anaknya di usia dua bulan sudah ditinggal bekerja,” ucapnya.
Mantan camat Petisah ini mengapresiasi perusahaan Google yang memberikan hak cuti melahirkan selama enam bulan kepada karyawannya yang melahirkan dengan hak penuh.
“Bahkan, perusahaan itu juga memberikan cuti kepada laki-laki untuk mendampingi istri yang sedang melahirkan, ini kebijakan yang luar biasa. Paling tidak di kita harusnya laki-laki juga diberikan hak cuti untuk mendampingi istri yang melahirkan minimal satu bulan, karena perempuan habis melahirkan itu sangat lemah kondisinya,” papar mantan lurah Tegal Sari Mandala III ini.
Jika persoalan cuti melahirkan ini bisa menjadi kebijakan bagi Pemko Medan, tentunya ini akan dapat membawa kebaikan di masa depan, dimana kedua orang tuanya dapat membentuk watak si anak secara dini.
“Saya pernah bekerja di kelurahan di kawasan TPA, saya lihat sendiri bagaimana ibu-ibu dengan menggendong anaknya di belakang yang masih bayi harus mengais sampah untuk mencari nafkah,” ujarnya.
Hal kedua menurut Hannalore di Hari Ibu ini adalah perempuan diharapkan mampu menguasai informasi dan teknologi (IT) mengingat perkembangan IT saat ini sangat cepat. “Kita tahu pengaruh IT ini ada yang positif dan negatif, makanya sebaiknya ibu harus mampu menguasai IT karena guru yang baik itu adalah ibu bagi anaknya,” katanya.
Terpisah, Dina Lumbatobing dari Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada) mengatakan, berdasarkan catatan Women Crisis Center (WCC) Pesada jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat.
Dalam tiga tahun terakhir, WCC Siceritas – PESADA memperhatikan angka korban berada di sekitar 100 perempuan yang ditangani langsung per tahun. Tetapi pada akhir 2014 ini, jumlah korban yang ditangani melonjak ke angka 168. Angka tertinggi adalah 84 korban KDRT (50%) lalu disusul kekerasan seksual 43 kasus( 26%).
Korbanyang ditangani mereka sebagian besar berasal dari wilayah Dairi dan Pakpak Bharat yaitu 70 kasus (42%), dan wilayah Medan sekitarnya 45 kasus (27%). Selebihnya adalah dari Nias, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Tengah.
“Dari pengamatan kami target kekerasan seksual di 2014 ini adalah anak perempuan dan anak perempuan yang berkebutuhan khusus. Kesulitan mendapat keadilan bagi korban adalah kurangnya saksi, dan untuk anak berkebutuhan khusus, masalah saksi ahli,” ungkap Dina.
Tak hanya itu, kata Dina, persoalan trafficking juga menjadi kasus yang paling sulit untuk ditangani. Dalam dua tahun terakhir, korban yang ditangani berasal dari NTT dan kesulitan berada pada mata rantai pihak yang memperdagangkan serta kecenderungan korban untuk tidak ingin kembali ke tempat asal (rumah).
“Kemiskinan dan berbagai masalah khas berbasis gender merupakan alasan yang membuat korban pulang dengan enggan, atau melarikan diri ketika kasus masih ditangani,” ucap Dina. Karena itu, perempuan harus menggunakan semangat persatuan dan kesatuan, karena hari ibu itu diawali oleh perempuan sejak 1928.
Kekuatan yang dibangun untuk bersama memerangi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, khususnya KDRT, kekerasan seksual (terhadap anak perempuan dan yang berkebutuhan khusus), serta trafficking.
Lia Anggia Nasution
Mulai dari kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terus meningkat hingga persoalan cuti bagi kaum ibu yang bekerja. Salah seorang pejabat perempuan di Kota Medan, Hannalore Simanjuntak, menceritakan pengalamannya yang sangat sulit bagi seorang perempuan karier untuk memilih kerja dan keluarga, terutama bagi perempuan yang baru saja melahirkan.
“Kita lihat emansipasi yang kita anut saat ini masih sama tanggungjawabnya dengan laki-laki. Seperti saya, pernah menjabat sebagai lurah dan camat, tanggung jawab saya sama dengan laki-laki,” ujar ibu tiga anak ini.
Hannalore yang saat ini menjabat Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Medan mengatakan, persoalan cuti terutama cuti melahirkan hingga saat ini masih terlalu riskan. Apalagi banyak juga perusahaan yang tidak memberikan cuti hamil hingga tiga bulan.
“Kalau di pemerintahan memang kita diberikan cuti selama tiga bulan, tapi biasanya sebelum melahirkan kita sudah cuti, sehingga waktu setelah melahirkan dan menjaga anak itu hanya tersisa dua bulan” “Bisa dibayangkan seorang ibu sudah meninggalkan anaknya yang baru dua bulan. Makanya, kalau bisa pemerintah memberikan kebijakan lebih arif, setidaknya bisa memberikan cuti hingga empat bulan,” kata Hannalore.
Kebijakan ini memang sudah seharusnya diperhatikan, karena selama ini pemerintah juga belum dapat menyediakan tempat penitipan bayi di dekat kantor. “Kalau kita dengar sebutan dan penghormatan perempuan itu sangat tinggi, ibu disebut sebagai tiang negara, pendidik anak. Tapi bagaimana hal itu bisa dilangsungkan dengan baik, jika anaknya di usia dua bulan sudah ditinggal bekerja,” ucapnya.
Mantan camat Petisah ini mengapresiasi perusahaan Google yang memberikan hak cuti melahirkan selama enam bulan kepada karyawannya yang melahirkan dengan hak penuh.
“Bahkan, perusahaan itu juga memberikan cuti kepada laki-laki untuk mendampingi istri yang sedang melahirkan, ini kebijakan yang luar biasa. Paling tidak di kita harusnya laki-laki juga diberikan hak cuti untuk mendampingi istri yang melahirkan minimal satu bulan, karena perempuan habis melahirkan itu sangat lemah kondisinya,” papar mantan lurah Tegal Sari Mandala III ini.
Jika persoalan cuti melahirkan ini bisa menjadi kebijakan bagi Pemko Medan, tentunya ini akan dapat membawa kebaikan di masa depan, dimana kedua orang tuanya dapat membentuk watak si anak secara dini.
“Saya pernah bekerja di kelurahan di kawasan TPA, saya lihat sendiri bagaimana ibu-ibu dengan menggendong anaknya di belakang yang masih bayi harus mengais sampah untuk mencari nafkah,” ujarnya.
Hal kedua menurut Hannalore di Hari Ibu ini adalah perempuan diharapkan mampu menguasai informasi dan teknologi (IT) mengingat perkembangan IT saat ini sangat cepat. “Kita tahu pengaruh IT ini ada yang positif dan negatif, makanya sebaiknya ibu harus mampu menguasai IT karena guru yang baik itu adalah ibu bagi anaknya,” katanya.
Terpisah, Dina Lumbatobing dari Perkumpulan Sada Ahmo (Pesada) mengatakan, berdasarkan catatan Women Crisis Center (WCC) Pesada jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat.
Dalam tiga tahun terakhir, WCC Siceritas – PESADA memperhatikan angka korban berada di sekitar 100 perempuan yang ditangani langsung per tahun. Tetapi pada akhir 2014 ini, jumlah korban yang ditangani melonjak ke angka 168. Angka tertinggi adalah 84 korban KDRT (50%) lalu disusul kekerasan seksual 43 kasus( 26%).
Korbanyang ditangani mereka sebagian besar berasal dari wilayah Dairi dan Pakpak Bharat yaitu 70 kasus (42%), dan wilayah Medan sekitarnya 45 kasus (27%). Selebihnya adalah dari Nias, Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Tengah.
“Dari pengamatan kami target kekerasan seksual di 2014 ini adalah anak perempuan dan anak perempuan yang berkebutuhan khusus. Kesulitan mendapat keadilan bagi korban adalah kurangnya saksi, dan untuk anak berkebutuhan khusus, masalah saksi ahli,” ungkap Dina.
Tak hanya itu, kata Dina, persoalan trafficking juga menjadi kasus yang paling sulit untuk ditangani. Dalam dua tahun terakhir, korban yang ditangani berasal dari NTT dan kesulitan berada pada mata rantai pihak yang memperdagangkan serta kecenderungan korban untuk tidak ingin kembali ke tempat asal (rumah).
“Kemiskinan dan berbagai masalah khas berbasis gender merupakan alasan yang membuat korban pulang dengan enggan, atau melarikan diri ketika kasus masih ditangani,” ucap Dina. Karena itu, perempuan harus menggunakan semangat persatuan dan kesatuan, karena hari ibu itu diawali oleh perempuan sejak 1928.
Kekuatan yang dibangun untuk bersama memerangi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, khususnya KDRT, kekerasan seksual (terhadap anak perempuan dan yang berkebutuhan khusus), serta trafficking.
Lia Anggia Nasution
(ftr)