Pikat Penonton Muda Pakai Bahasa Gaul

Senin, 22 Desember 2014 - 10:33 WIB
Pikat Penonton Muda Pakai Bahasa Gaul
Pikat Penonton Muda Pakai Bahasa Gaul
A A A
SEMARANG - Festival Ketoprak Gaul 2014 yang digelar Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada Rabu-Kamis (17- 18/12) lalu, banyak memberikan kesan.

Sebab festival yang diikuti enam grup ketoprak mahasiswa tersebut mampu mencuri hati para penonton. Karena digagas untuk menggaet hati para penonton muda, pengemasan ketoprak dan lakon di dalamnya disesuaikan dengan gaya hidup kaum muda masa kini.

Seperti apa? Festival yang digelar di gedung B6 FBS Unnes dipadati ratusan penonton hingga dini hari berakhirnya pertunjukan. Tampil perdana, grup ketoprak Kinarya Gul-agul yang menyuguhkan lakon Hardaning Asmara. Lakon yang bersumber dari cerita rakyat Keong Mas ini bertutur tentang kisah cinta Galuh Candrakirana dan Panji Inukertapati.

Kehadiran orang ketiga, Galuh Ajeng, menjadi pemicu konflik. Singkat cerita, Galuh Ajeng hendak merebut Inukertapati dari cinta Candrakirana. Agar tercapai tujuannya, berbagai muslihat dijalankan Galuh Ajeng dipuncaki pada persekongkolan dengan seorang perempuan penyihir yang dimintanya mengubah Candrakirana menjadi Keong Mas.

Mudah diduga, cerita berakhir ketika Inukertapati bertemu kembali dengan Keong Mas jelmaan kekasihnya di rumah Mbok Randha. “Ini adalah cerita rakyat, cerita yang sudah populer untuk membangun komunikasi efektif penyaji dengan penonton. Itu yang pertama saya ingatkan kepada para penyaji. Selain itu, yang terpenting menyajikan suguhan dalam bahasa komunikatif, mudah dicerna, namun tidak kurang daya estetisnya,” ungkap Sucipto Hadi Purnomo, penggagas sekaligus kurator festival itu.

Karena memiliki platform “gaul”, semua lakon yang dimainkan dibawakan dengan gaya masa kini. Platform itu tak hanya mewarnai pada pementasan Hardaning Asmara, tetapi juga lakon Jangkeping Katresnan (The Story of Jonggrang ) oleh grup Lintang Sununar dan Tampik: Laire Reog Ponorogo oleh Kluwung Suwung pada hari pertama festival.

Demikian juga pada hari kedua dengan lakon Randha Gairah oleh grup Chandra Nirada, Sri Tanjung: Gandaning Katresnan oleh Sakaguru, dan Brubuh Wanabaya oleh Cakra Baskara. Lantaran platform itu pula tak mengherankan jika dari mulut Mbok Randha pada pementasan Hardaning Asmara muncul sapaan “papa” terhadap lelaki tua yang mencoba PDKT (pendekatan) dengannya.

Begitu pula sebaliknya, sapaan “mama” dari lelaki tua itu untuk Mbok Randha. Idiomidiom macam “alay,” “lebay,” bahkan “sakitnya tuh di sini”, keluar dari mulut-mulut pelakon saat berada di atas panggung.

Karena dikemas dengan gaya berbeda dan lebih banyak memberikan pendekatan humor, penampilan-penampilan yang disuguhkan itu mampu memaksa tak kurang dari 400 penonton tetap bertahan hingga dini hari. Tak jarang pula para penonton menghadiahkan tepuk tangan meriah.

“Ternyata menonton ketoprak itu asyik. Menghibur, nggak susah dipahami. Memang ada sih yang pakai Bahasa Jawa lama, tapi lebih banyak yang dipakai itu bahasa-bahasa masa kini, jadi semua penonton dari berbagai kalangan bisa memahami isi dan pesan cerita yang disajikan,” ungkap Novian, mahasiswa Fakultas Teknik yang mengaku menonton bersama pacarnya hingga pertunjukan selesai.

Susilo Himawan
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6522 seconds (0.1#10.140)