Belum Dilalui Angkot, Listrik Mati 50 Kali Per Hari

Belum Dilalui Angkot, Listrik Mati 50 Kali Per Hari
A
A
A
Suasana Pasar Klitikan Waru di Sawah Besar Kaligawe, Kamis (18/12) siang terlihat lengang. Sejumlah pedagang terlihat sibuk mengurusi barang dagangannya di lapak.
Di salah satu sudut kios terlihat penjual kipas angin bekas sedang memperbaiki baling-baling yang rusak. Tukang sol sepatu di kios bagian tengah juga tidak banyak aktivitas dan hanya duduk-duduk. Terlihat hanya lalu lalang beberapa orang. Barang-barang bekas, seperti onderdil sepeda dan sepeda motor banyak dijajakan di situ. Para pedagang merupakan eks PKL di Jalan Citarum Semarang yang direlokasi ke kompleks Pasar Waru pada 2005 silam.
Totalnya, ada sekitar 300 pedagang yang menempati lapak klitikan tersebut. Tapi tidak semua penjual buka setiap hari karena khawatir tidak laku. Pasalnya, dalam sepekan Pasar Waru hanya ramai Sabtu dan Minggu. Pada akhir pekan itu, pengunjung dalam sehari bisa ratusan orang. Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Klitikan Waru, Gunawan, 43, menuturkan, pengunjung datang untuk melihat-lihat barang bekas. Jika barang yang dicari ditemukan, baru dibeli.
Sebab, memburu barang bekas ini menjadi sensasi tersendiri lantaran tidak lagi dijual di toko. “Mereka biasanya datang setelah mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Sebagian malah dari luar kota,” katanya kepada KORAN SINDO . Menurut Gunawan, kendati sudah berjualan selama sembilan tahun, dari sisi penghasilan justru menurun.
Keuntungan yang didapat lebih sedikit dibandingkan saat berjualan di Jalan Citarum. Memang tempat berjualan saat ini lebih luas sehingga membuat nyaman pedagang maupun pembeli. “Bicara keuntungan lebih sedikit. Ya tidak apa-apa, daripada menjadi tukang batu kan lebih capek. Kalau di sini lebih banyak santai,” ujar pria yang kesehariannya menjadi tukang servis kipas angin ini.
Belum banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan pasar klitikan Waru karena letaknya yang tersembunyi. Hal ini berbeda dengan klitikan di Jalan Kokrosono, Jalan Barito, dan kawasan Peterongan. Untuk lebih mengenalkan Klitikan Pasar Waru ke masyarakat, paguyuban pedagang sudah meminta kepada Pemkot Semarang untuk memberi penunjuk tempat.
Pemkot pun sudah memenuhinya, yakni di Jalan Arteri Soekarno-Hatta dan Jalan Kaligawe. Selain itu, paguyuban juga mendesak pemkot membuka trayek angkutan umum yang melalui Jalan Sawah Besar Raya agar masyarakat lebih mudah mengakses Klitikan Pasar Waru. “Itu yang belum terwujud hingga saat ini. Mungkin belum banyak yang tahu Klitikan Waru sehingga pengunjung hanya datang Sabtu dan Minggu,” ujarnya.
Di sisi lain, karena berada di wilayah rawan banjir, setiap tahun pedagang harus turut pula merasakan genangan air. Bahkan, tahun lalu banjir hingga satu lutut di dalam kios. Adapun di jalan depan kios, bisa sampai 1 meter. Penjual kipas angin bekas Arimin, 36, mengeluhkan listrik di pasar setiap hari bisa padam sampai 50 kali karena daya yang ada tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pedagang.
“Kalau listrik mati kan tidak bisa kerja. Karena kalau nyolder , harus pakai listrik,” kata warga Sawah Besar II RT 07/RW II Kaligawe ini.
Arif Purniawan
Kota Semarang
Di salah satu sudut kios terlihat penjual kipas angin bekas sedang memperbaiki baling-baling yang rusak. Tukang sol sepatu di kios bagian tengah juga tidak banyak aktivitas dan hanya duduk-duduk. Terlihat hanya lalu lalang beberapa orang. Barang-barang bekas, seperti onderdil sepeda dan sepeda motor banyak dijajakan di situ. Para pedagang merupakan eks PKL di Jalan Citarum Semarang yang direlokasi ke kompleks Pasar Waru pada 2005 silam.
Totalnya, ada sekitar 300 pedagang yang menempati lapak klitikan tersebut. Tapi tidak semua penjual buka setiap hari karena khawatir tidak laku. Pasalnya, dalam sepekan Pasar Waru hanya ramai Sabtu dan Minggu. Pada akhir pekan itu, pengunjung dalam sehari bisa ratusan orang. Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Klitikan Waru, Gunawan, 43, menuturkan, pengunjung datang untuk melihat-lihat barang bekas. Jika barang yang dicari ditemukan, baru dibeli.
Sebab, memburu barang bekas ini menjadi sensasi tersendiri lantaran tidak lagi dijual di toko. “Mereka biasanya datang setelah mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Sebagian malah dari luar kota,” katanya kepada KORAN SINDO . Menurut Gunawan, kendati sudah berjualan selama sembilan tahun, dari sisi penghasilan justru menurun.
Keuntungan yang didapat lebih sedikit dibandingkan saat berjualan di Jalan Citarum. Memang tempat berjualan saat ini lebih luas sehingga membuat nyaman pedagang maupun pembeli. “Bicara keuntungan lebih sedikit. Ya tidak apa-apa, daripada menjadi tukang batu kan lebih capek. Kalau di sini lebih banyak santai,” ujar pria yang kesehariannya menjadi tukang servis kipas angin ini.
Belum banyak masyarakat yang mengetahui keberadaan pasar klitikan Waru karena letaknya yang tersembunyi. Hal ini berbeda dengan klitikan di Jalan Kokrosono, Jalan Barito, dan kawasan Peterongan. Untuk lebih mengenalkan Klitikan Pasar Waru ke masyarakat, paguyuban pedagang sudah meminta kepada Pemkot Semarang untuk memberi penunjuk tempat.
Pemkot pun sudah memenuhinya, yakni di Jalan Arteri Soekarno-Hatta dan Jalan Kaligawe. Selain itu, paguyuban juga mendesak pemkot membuka trayek angkutan umum yang melalui Jalan Sawah Besar Raya agar masyarakat lebih mudah mengakses Klitikan Pasar Waru. “Itu yang belum terwujud hingga saat ini. Mungkin belum banyak yang tahu Klitikan Waru sehingga pengunjung hanya datang Sabtu dan Minggu,” ujarnya.
Di sisi lain, karena berada di wilayah rawan banjir, setiap tahun pedagang harus turut pula merasakan genangan air. Bahkan, tahun lalu banjir hingga satu lutut di dalam kios. Adapun di jalan depan kios, bisa sampai 1 meter. Penjual kipas angin bekas Arimin, 36, mengeluhkan listrik di pasar setiap hari bisa padam sampai 50 kali karena daya yang ada tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pedagang.
“Kalau listrik mati kan tidak bisa kerja. Karena kalau nyolder , harus pakai listrik,” kata warga Sawah Besar II RT 07/RW II Kaligawe ini.
Arif Purniawan
Kota Semarang
(ars)