Taman Satwa Tak Tergantikan
A
A
A
DULU berwisata identik dengan menikmati keindahan alam. Kini pengertiannya lebih luas, bisa wisata kuliner, religi, budaya, batik, buku, bahkan kesehatan. Tapi kebun binatang selalu mendapat tempat di hati masyarakat.
Ditengah persaingan wisata dengan berbagai kemasannya, nyatanya tak bisa menyingkirkan kebun binatang yang dikelola Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT) di Jalan Tamansari, Kota Bandung. Kebun binatang YMT telah berusia 81 tahun. Diresmikan sebagai tempat tinggal hewan tahun 1933 oleh Gubernur Hindia Belanda Hoogland. Saat ini kebun binatang masih sanggup mendatangkan 500 pengunjung perhari.
Jumlah pengunjung akan melonjak setiap akhir pekan atau pada hari libur nasional. Buka dari pukul 07.00-17.00 WIB, tarif tiket di sana hanya Rp20.000 per orang. “Untuk hari Minggu bisa mencapai angka 1.000 kunjungan. Angka tersebut akan semakin tinggi setiap libur hari raya, bisa mencapai angka 5.000 kunjungan,” kata Humas YMT Sudaryo kepada KORAN SINDO.
Saat ini kebun binatang itu menjadi rumah bagi 900 ekor hewan, mulai dari hewan melata, kadal, burung, karnivora, herbivora, sampai jenis simpanse. Dari mulai ukuran paling besar seperti gajah, sampai yang paling kecil seperti tupai. Jenis hewan langka dan dilindungi pun ada di sana. Berdasarkan Keputusuan Menteri Kehutanan pada 2003, Kebun Binatang YMT berfungsi sebagai Yayasan Konservasi.
“Jadi sesuai keputusan itu di sini juga sebagai tempat untuk pengembangbiakkan hewan yang sudah hampir punah, seperti tapir. Oleh karena itu sebisa mungkin hewan yang ada di sini dalam kondisi sehat,” jelas Sudaryo. Untuk menjaga kesehatan hewanhewan itu memang tidak mudah dan murah. Anggaran untuk gaji seluruh karyawan kebun binatang saja masih kalah jauh dengan biaya makan 900 hewan itu. Pada 2013 untuk kebutuhan hewan pengelola menghabiskan Rp3,4 miliar.
“Adapun untuk membayar petugas di sini hanya di angka Rp2,4 mi liar. Dan untuk tahun ini sampai Novem ber anggaran untuk kebutuhan hewan sudah sama dengan anggaran 2013 silam, yakni Rp3,4 miliar,” ungkap dia. Jika melihat porsi makan sebagian hewan yang ada di sana anggaran sebesar itu memang tidak aneh. Sebab untuk salah satu jenis hewan saja misalnya harimau bisa menghabiskan 10 kg daging per hari.
“Di sini, ada sembilan ekor harimau, empat singa dan tiga ekor macan tutul. Hewan-hewan itu masingmasing menghabiskan daging sebanyak 10 kilogram per hari,” ungkap Sudaryo. Jenis daging yang diberikan pun tidak main-main, yakni daging sapi. Namun untuk menghemat dana sesekali petugas mencampur dengan daging ayam.
“Sebenarnya bisa saja kami kasih pakan dengan daging lain seperti daging babi. Tapi itu akan berdampak terhadap kondisi kesehatan dan pertumbuhan hewan itu sendiri. Ya, paling kami campur dengan daging ayam dengan porsi tujuh dan d tiga kilogram,” jelas dia. Kunjungan masyarakat ke kebun binatang adalah satu-satunya hal yang membuat hewanhewan di sana bisa bertahan.
Sebagai sebuah yayasan, maka segala pengeluaran ditanggung sendiri, dalam hal ini uang didapat dari tiket masuk. “Tiket masuk ke sini memang cenderung lebih mahal dibanding Ragunan. Di sini sebesar Rp20.000. Tiket itu untuk kebutuhan di sini, untuk pakan hewan dan membayar petugas. Jadi yaada semacam simbiosis mutualisme antara pengunjung dengan bunbin ini, mereka membayar, dan mereka bisa melihat koleksi yang ada di sini,” kata Sudaryo.
Dalam perjalanannya, YMT tidak melulu berfungsi sebagai tempat berlibur semata. Di sana juga bisa dijadikan sebagai media untuk belajar, penelitian, sekaligus ruang terbuka hijau (RTH). Oleh karena itu tidak aneh di sana terlihat kelompok siswa atau mahasiswa hilirmudik dari satu tempat ke tempat lain meneliti binatang dan tumbuhan.
“Untuk media pendidikan di sini ada guideyang akan memberikan penjelasan kepada pelajar yang berkunjung. Adapun untuk media penelitian sebagian besar dari mahasiswa kedokteran hewan,” papar dia.
Dina Apriyani,19, adalah salah satu mahasiswa yang menjadikan kebun binatang sebagai media untuk menunjang kuliahnya. Bersama temantemanya dari kampus yang sama, Dina tampak asyik melukis rusa dalam kandang. “Tadi datangnya rame-rame. Ini untuk memenuhi tugas kuliah,” ujar mahasiswi Telkom University itu.
Inin nastain
Ditengah persaingan wisata dengan berbagai kemasannya, nyatanya tak bisa menyingkirkan kebun binatang yang dikelola Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT) di Jalan Tamansari, Kota Bandung. Kebun binatang YMT telah berusia 81 tahun. Diresmikan sebagai tempat tinggal hewan tahun 1933 oleh Gubernur Hindia Belanda Hoogland. Saat ini kebun binatang masih sanggup mendatangkan 500 pengunjung perhari.
Jumlah pengunjung akan melonjak setiap akhir pekan atau pada hari libur nasional. Buka dari pukul 07.00-17.00 WIB, tarif tiket di sana hanya Rp20.000 per orang. “Untuk hari Minggu bisa mencapai angka 1.000 kunjungan. Angka tersebut akan semakin tinggi setiap libur hari raya, bisa mencapai angka 5.000 kunjungan,” kata Humas YMT Sudaryo kepada KORAN SINDO.
Saat ini kebun binatang itu menjadi rumah bagi 900 ekor hewan, mulai dari hewan melata, kadal, burung, karnivora, herbivora, sampai jenis simpanse. Dari mulai ukuran paling besar seperti gajah, sampai yang paling kecil seperti tupai. Jenis hewan langka dan dilindungi pun ada di sana. Berdasarkan Keputusuan Menteri Kehutanan pada 2003, Kebun Binatang YMT berfungsi sebagai Yayasan Konservasi.
“Jadi sesuai keputusan itu di sini juga sebagai tempat untuk pengembangbiakkan hewan yang sudah hampir punah, seperti tapir. Oleh karena itu sebisa mungkin hewan yang ada di sini dalam kondisi sehat,” jelas Sudaryo. Untuk menjaga kesehatan hewanhewan itu memang tidak mudah dan murah. Anggaran untuk gaji seluruh karyawan kebun binatang saja masih kalah jauh dengan biaya makan 900 hewan itu. Pada 2013 untuk kebutuhan hewan pengelola menghabiskan Rp3,4 miliar.
“Adapun untuk membayar petugas di sini hanya di angka Rp2,4 mi liar. Dan untuk tahun ini sampai Novem ber anggaran untuk kebutuhan hewan sudah sama dengan anggaran 2013 silam, yakni Rp3,4 miliar,” ungkap dia. Jika melihat porsi makan sebagian hewan yang ada di sana anggaran sebesar itu memang tidak aneh. Sebab untuk salah satu jenis hewan saja misalnya harimau bisa menghabiskan 10 kg daging per hari.
“Di sini, ada sembilan ekor harimau, empat singa dan tiga ekor macan tutul. Hewan-hewan itu masingmasing menghabiskan daging sebanyak 10 kilogram per hari,” ungkap Sudaryo. Jenis daging yang diberikan pun tidak main-main, yakni daging sapi. Namun untuk menghemat dana sesekali petugas mencampur dengan daging ayam.
“Sebenarnya bisa saja kami kasih pakan dengan daging lain seperti daging babi. Tapi itu akan berdampak terhadap kondisi kesehatan dan pertumbuhan hewan itu sendiri. Ya, paling kami campur dengan daging ayam dengan porsi tujuh dan d tiga kilogram,” jelas dia. Kunjungan masyarakat ke kebun binatang adalah satu-satunya hal yang membuat hewanhewan di sana bisa bertahan.
Sebagai sebuah yayasan, maka segala pengeluaran ditanggung sendiri, dalam hal ini uang didapat dari tiket masuk. “Tiket masuk ke sini memang cenderung lebih mahal dibanding Ragunan. Di sini sebesar Rp20.000. Tiket itu untuk kebutuhan di sini, untuk pakan hewan dan membayar petugas. Jadi yaada semacam simbiosis mutualisme antara pengunjung dengan bunbin ini, mereka membayar, dan mereka bisa melihat koleksi yang ada di sini,” kata Sudaryo.
Dalam perjalanannya, YMT tidak melulu berfungsi sebagai tempat berlibur semata. Di sana juga bisa dijadikan sebagai media untuk belajar, penelitian, sekaligus ruang terbuka hijau (RTH). Oleh karena itu tidak aneh di sana terlihat kelompok siswa atau mahasiswa hilirmudik dari satu tempat ke tempat lain meneliti binatang dan tumbuhan.
“Untuk media pendidikan di sini ada guideyang akan memberikan penjelasan kepada pelajar yang berkunjung. Adapun untuk media penelitian sebagian besar dari mahasiswa kedokteran hewan,” papar dia.
Dina Apriyani,19, adalah salah satu mahasiswa yang menjadikan kebun binatang sebagai media untuk menunjang kuliahnya. Bersama temantemanya dari kampus yang sama, Dina tampak asyik melukis rusa dalam kandang. “Tadi datangnya rame-rame. Ini untuk memenuhi tugas kuliah,” ujar mahasiswi Telkom University itu.
Inin nastain
(ars)