Menjaga Bahasa Ibu

Minggu, 07 Desember 2014 - 07:22 WIB
Menjaga Bahasa Ibu
Menjaga Bahasa Ibu
A A A
SEPERTI kebanyakan bahasa daerah, nasib basa Sunda atau bahasa Sunda selalu saja terpinggirkan di tengah moderninasi. Selain jumlah penuturnya makin sedikit, literatur bahasa ibu itu kian langka.

Alih-alih memiliki tempat besar seperti berlaku bagi buku bahasa Indonesia, novel, atau komik Jepang, mencari perpustakaan khusus bahasa Sunda bak mencari jarum dalam jerami.

Tapi di tangan Mamat Sasmita atau Uwa Sas, ribuan teks berbahasa Sunda dirawat dengan baik dalam sebuah tempat bernama Rumah Baca Buku Sunda. Berlokasi di Jalan Margawangi VIII No 5, Marga cinta, Kota Bandung, rumah baca itu men jadi sumber referensi bagi penutur, peaku sastra, dan pencinta bahasa Sunda sejak lama.

Bagaimana kiprah pensiunan Telkom berusia 63 tahun itu dalam menjaga bahasa Sunda agar tidak punah, reporter KORAN SINDOInin Nastain berkesempatan menjumpainya. Berikut petikan wawancaranya.

Bisa cerita bagaimana Anda mendirikan Rumah Buku Baca Sunda?

Ini berawal dari kerinduan saya dengan cerita-certa Sunda yang dibacakan oleh ibu saya saat kecil. Saat itu satu-satunya media hiburan adalah dongeng dari orang tua. Dan dongeng itu diambil dari cerita-cerita bu ku basa Sunda. Saat merantau ke berbagai dae rah, kerinduan saya sudah sampai pada titik maksimal. Untuk meng obati rasa rindu itu, saya mencoba rutin membeli buku-buku basa Sunda.

Saat itu lebih cenderung ke sastra. Nah, setelah beberapa tahun, buku-buku yang saya beli itu makin banyak. Hingga akhirnya saya berpikir mengumpulkan bukubuku itu untuk kemudian mendirikan Rumah Baca Buku Sunda pada Januari 2004 lalu.

Ada berapa banyak koleksinya waktu itu?

Jumlah koleksinya sekitar 3.000 eksemplar. Pada masa awal itu didominasi oleh buku-buku sastra karena memang dasarnya saya lebih menyukai sastra. Tapi kemudian seiring berjalannya waktu mulai melebar. Beberapa di antaranya bukubuku non sastra tapi tetap yang berkaitan dengan kepasundanan. Sampai saat ini ada sekitar 8.000 buku, sastranya di kisaran 30 persen saja, selebihnya ada karya ilmiah, kamus, dan lain-lain.

Kamus apa saja yang ada di sini?

Ada kamus Sunda-Belanda karya LA. Lezer terbitan tahun 1931. Selain Sunda- Belanda, ada juga Sunda-Inggris karya Jonatan Regg terbitan 1862. Dari kamus Sunda-Inggris di sana ditemukan keunikan tersendiri. Keunikan itu misalnya untuk kosa kata padi, yang mana di sana ada 150 nama padi. Untuk nama padi angsana baheuladalam bahasa Inggrisnya disebut white bearded. Selain kamus, koleksi buku berbahasa Belanda yang berbicara tentang kesundaan, seperti buku berjudul Priangan karya Dr F De Hann terbitan 1910. Di sana salah satunya mengupas tentang sejarah Priangan.

Untuk bisa membaca buku-buku yang ada di sini, apa saja syaratnya?

Selama ini kanketika bicara tentang tempat baca buku maka kesannya adalah penyewaan. Rumah Baca Buku Sunda ini ingin mengubah kesan itu. Siapa pun bebas membaca buku di sini, tanpa harus ada sewa-menyewa dan pendaftaran, bebas. Itu kenapa dinamakan dengan Rumah Baca, bukan taman baca.

Dulu, pada masa awal-awal, kami memang sempat mengharuskan baca di tempat, tidak boleh dibawa pulang. Tapi sekarang kami bebaskan. Mereka bisa membawa pulang ke rumah buku-buku yang dipinjam di sini. Karena dengan dibawa ke rumah mereka bisa lebih leluasa dalam membacanya, bisa malam hari sebelum tidur atau setelah tidur, sambil baringan, dan aktivitas lain yang tidak bisa dilakukan di sini. Atas pertimbangan itulah maka mereka boleh membawa buku-buku di sini ke rumahnya masing-masing.

Rumah Baca Buku Sunda ini hanya dikhususkan untuk pinjam buku saja atau ada aktivitas lain?

Berawal dari membaca maka akan mengundang pertanyaan-pertanyaan atau komentar dari apa yang dibacanya.Nah, dari pertanyaan-pertanyaan dan komentarkomentar itulah maka di sini juga ada obrolan-obrolan, macam diskusi ringan lah. Buku-buku yang ada di sini kan tidak mengkhususkan hanya untuk satu golongan saja seperti anak-anak. Di sini juga ada bukubuku yang memang secara tema lebih kepada orang dewasa ada hasil penelitian.

Nahmacam buku-buku itu yang kemudian mengundang diskusi-diskusi kecil dan ringan. Sampai sekarang alhamdulillah ada sejumlah teman-teman dari mahasiswa, dosen, pegiat budaya yang datang ke sini untuk sharingtentang berbagai hal yang ada kaitannya dengan kesundaan.

Ada anggapan bahwa percuma banyak buku jika tidak ada karya tulisnya. Sejak bergelut dengan buku-buku, bisa disebutkan salah satu contoh buku karya Anda sendiri?

Hahaha... betul. Alhamdulillah ada beberapa buku yang sudah saya tulis baik sastra maupun buku serius. Untuk sastra salah satunya adalah buku carpon (Carita Pondok) berjudul Ma Inung Newak Cahaya. Adapun di luar sastra salah satunya adalah Membaca Orang Sunda. Memang betul, membaca dan menulis itu adalah satu paket, tidak bisa dipisahkan. Ketika sudah membaca maka semestinya harus dilanjutkan dengan menulis. Membaca adalah memahami pemikiran orang lain. Nah, setelah me mahami pemikiran orang lain kita pun men curahkan pemikiran kita itu melalui tulisan.

Dalam mengelola Rumah Baca Buku Sunda, apakah ada orang lain yang membantu?

Tidak, saya sendirian saja. Dari pada masa pensiun hanya diisi dengan ternak teri (nganter anakdannganter istri) dan moto (moe tonggong), kan? Hahaha... Alhamdulillah setelah sebelumnya menyatu dengan rumah, sekarang terpisah. Jadi Rumah Baca Buku Sunda ini di tempat khusus tidak lagi menyatu di rumah seperti dulu. Tapi masih berdampingan.

Bicara tentang buku-buku lama, sesulit apa untuk mendapatkannya?

Dikatakan sulit, memang sulit. Karena memang jarang yang memiliki perhatian tentang literatur lama. Saya sendiri, dari buku-buku yang ada ini, ada sebagian yang hasil fotokopi. Tapi tidak masalah, bagi saya bukan fisik bukunya tapi isinya. Fotokopian itu biasanya diperoleh dari pedagangpedagang di emperan.

Seiring berjalannya waktu tidak jarang juga ada yang ngasih buku ke sini atau ngasihinfo bahwa di tempat anu ada buku Sunda lama. Saya bukan kolektor karena kalau kolektor itu koleksinya lengkap. Saya mungkin lebih pada ingin mendokukmentasikan saja, berusaha menjaga agar tidak punah. Sebab, dari bukubuku yang ada di sini jumlahnya saya yakin sangat kecil dibanding buku yang sebenarnya diterbitkan.

Bagaimana kondisi literasi Sunda saat ini?

Kalau boleh dikatakan minim memang minim, entah itu Sunda secara penggunaan bahasanya maupun dari sisi tema. Kalaupun ada itu hanya sebatas untuk tugas di lingkungan kampus. Memang mungkin banyak yang berbicara tentang kesundaan tapi itu berakhir hanya di skripsi, tesis, ataupun disertasi, setelah itu tidak ada kelanjutannya, tidak diterbitkan.

Saya sendiri tidak tahu kenapa karya-karya ilmiah para mahasiswa itu tidak berlanjut ke penerbitan. Padahal, daya tarik Indonesia itu tidak terlepas dari kearifan lokalnya. Itu juga yang menjadi alasan saya mendirikan rumah baca ini, yakni mendokumentasikan berbagai hal tentang lokal. Saya kebetulan orang Sunda, maka yang menjadi fokusnya Sunda, lokalnya Sunda.

Harapan Anda ke depan terkait buku kesundaan seperti apa?

Hanya satu harapan saya, karya-karya para pelajar, mahasiswa yang ada kaitannya dengan kesundaan sebisa mungkin diterbitkan. Jangan hanya berhenti di tugas akhir. Itu saja.

Inin nastain
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1045 seconds (0.1#10.140)