Pemerintah Didesak Kembangkan Bioetanol
A
A
A
SURABAYA - PT Perkebunan Nusantara X (PTPN) meminta pemerintah serius menjadikan bioetanol sebagai tenaga alternatif untuk campuran bahan bakar kendaraan. Sebab, selama ini pemerintah belum sepenuhnya mengembangkan bioetanol.
Padahal, potensi pengembangan tenaga alternatif ini sangat besar. Bahkan, banyak negara lain mengincar keberadaan bioetanol sebagai bahan campuran pendukung bahan bakar kendaraan saat operasi.
“Potensi bioetanol Indonesia sangat besar. Bioetanol ini bisa mengurangi beban impor minyak yang selama ini membuat neraca perdagangan defisit,” kata Direktur Utama PT PTPN X Subiyono, Kamis (4/12/2014).
Saat ini, ujar dia, PTPN X serius mengembangkan tenaga alternatif ini, bahkan PTPN sudah mempunyai pabrik bioetanol yang dikelola anak usahanya, yaitu PT Energi Agro Nusantara (Enero).
Bioetanol fuel grade produksi Enero sudah diekspor ke Filipina sebesar 4.000 kiloliter (KL) dan ke Singapura sebesar 12.000 KL.
Meski diminati pasar ekspor, justru pasar dalam negeri minim peminat. Pertamina yang diharapkan menjadi pelopor pencampuran bahan bakar minyak dengan bioetanol ternyata hanya membeli dalam jumlah sangat minim. Kondisi ini membuat produksi dalam negeri kurang bergairah
“Kebijakan mandatory (pemanfaatan) selama ini belum berjalan optimal. Tapi kami optimistis pemerintahan baru punya komitmen untuk terus mendorong energi baru terbarukan, termasuk bioetanol,” ungkap dia.
Dia mencontohkan, di luar negeri, kewajiban pemanfaatan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan sudah sangat besar. Brazil, misalnya, sudah menggunakan pencampuran 85% (E-85) bioetanol ke dalam bahan bakar kendaraan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak.
Sementara Thailand sudah mulai mengarah dari pewajiban pencampuran bioetanol sebesar 10% menjadi 20%. Sedangkan Filipina juga mencanangkan mandatory blending bioetanol sebesar 10%.
Adapun Indonesia, kebijakan pencampuran bioetanol masih setengah hati. Regulasi sudah ada, namun belum benar-benar dilaksanakan.
Kini yang terbaru, sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2014, Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi wajib dicampur dengan minimal 1% bioetanol mulai Januari 2015. Dengan asumsi konsumsi premium pada 2014 sekitar 32 juta KL, maka dibutuhkan 320.000 KL bioetanol.
Itu belum termasuk pencampuran BBM nonsubsidi yang harus dicampur dengan minimal 2% bioetanol mulai Januari 2015.
Secara bertahap, sesuai Peraturan Menteri ESDM tersebut, pemanfaatan akan ditingkatkan menjadi 5% pada 2020 untuk bahan bakar bersubsidi dan 10% bahan bakar nonsubsidi.
“Ini dapat mendorong investasi pabrik bioetanol baru menjadi bergairah. Apalagi, jika iklim keekonomian investasi difasilitasi pemerintah,” terang Subiyono.
Padahal, potensi pengembangan tenaga alternatif ini sangat besar. Bahkan, banyak negara lain mengincar keberadaan bioetanol sebagai bahan campuran pendukung bahan bakar kendaraan saat operasi.
“Potensi bioetanol Indonesia sangat besar. Bioetanol ini bisa mengurangi beban impor minyak yang selama ini membuat neraca perdagangan defisit,” kata Direktur Utama PT PTPN X Subiyono, Kamis (4/12/2014).
Saat ini, ujar dia, PTPN X serius mengembangkan tenaga alternatif ini, bahkan PTPN sudah mempunyai pabrik bioetanol yang dikelola anak usahanya, yaitu PT Energi Agro Nusantara (Enero).
Bioetanol fuel grade produksi Enero sudah diekspor ke Filipina sebesar 4.000 kiloliter (KL) dan ke Singapura sebesar 12.000 KL.
Meski diminati pasar ekspor, justru pasar dalam negeri minim peminat. Pertamina yang diharapkan menjadi pelopor pencampuran bahan bakar minyak dengan bioetanol ternyata hanya membeli dalam jumlah sangat minim. Kondisi ini membuat produksi dalam negeri kurang bergairah
“Kebijakan mandatory (pemanfaatan) selama ini belum berjalan optimal. Tapi kami optimistis pemerintahan baru punya komitmen untuk terus mendorong energi baru terbarukan, termasuk bioetanol,” ungkap dia.
Dia mencontohkan, di luar negeri, kewajiban pemanfaatan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan sudah sangat besar. Brazil, misalnya, sudah menggunakan pencampuran 85% (E-85) bioetanol ke dalam bahan bakar kendaraan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak.
Sementara Thailand sudah mulai mengarah dari pewajiban pencampuran bioetanol sebesar 10% menjadi 20%. Sedangkan Filipina juga mencanangkan mandatory blending bioetanol sebesar 10%.
Adapun Indonesia, kebijakan pencampuran bioetanol masih setengah hati. Regulasi sudah ada, namun belum benar-benar dilaksanakan.
Kini yang terbaru, sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2014, Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi wajib dicampur dengan minimal 1% bioetanol mulai Januari 2015. Dengan asumsi konsumsi premium pada 2014 sekitar 32 juta KL, maka dibutuhkan 320.000 KL bioetanol.
Itu belum termasuk pencampuran BBM nonsubsidi yang harus dicampur dengan minimal 2% bioetanol mulai Januari 2015.
Secara bertahap, sesuai Peraturan Menteri ESDM tersebut, pemanfaatan akan ditingkatkan menjadi 5% pada 2020 untuk bahan bakar bersubsidi dan 10% bahan bakar nonsubsidi.
“Ini dapat mendorong investasi pabrik bioetanol baru menjadi bergairah. Apalagi, jika iklim keekonomian investasi difasilitasi pemerintah,” terang Subiyono.
(lis)