Solidaritas Tanpa Batas Kaum Difabel

Kamis, 04 Desember 2014 - 11:33 WIB
Solidaritas Tanpa Batas Kaum Difabel
Solidaritas Tanpa Batas Kaum Difabel
A A A
GUNUNGKIDUL - Hari Difabel yang diperingati setiap 3 Desember ini mungkin hanya menjadi sebuah catatan bagi para penyandang cacat (difabel). Tak banyak perubahan yang mereka rasakan meskipun 3 Desember sudah menjadi hari bagi mereka.

Dianaktirikan oleh berbagai pihak menjadi makanan mereka sehari-hari, termasuk dipandang sebelah mata orang lain sudah menjadi tradisi bagi mereka. Perjuangan tiada henti terus digelorakan agar mereka disejajarkan dengan orang normal lainnya, tapi nampaknya kepedulian terhadap mereka masih sedikit. Akhirnya, hanya sesama merekalah yang mengerti semua penderitaan dan hanya sesama mereka terkadang solidaritas dibangun.

Kalau bukan mereka yang peduli, siapa lagi orang yang akan memperhatikan nasib kaum difabel tersebut. Salah satu contoh bukti kepedulian kaum difabel tanpa batas tersebut adalah adanya bengkel kursi roda yang mereka buka.

Di bengkel yang berlokasi di Dusun Ngaglik, Desa Patalan, Kecamatan Jetis, ada tiga orang penyandang cacat setiap hari mengerjakan perbaikan kursi roda dari rekan mereka, dan satu orang difabel lagi yang bertugas antar jemput kursi roda dari klien yang juga rekan sejawat mereka.

Digawangi Dalhari, 35, warga Dusun Kepek, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, penyandang kelumpuhan kaki lainnya seperti Heribertus, 34, warga Monggang, Kecamatan Pundong, Doan Kurniawan, 40, sarjana S-1 Sastra Jawa dari Kecamatan Bambanglipuro dan Aris, 40, warga Segoroyoso setiap Rabu memperbaiki kursi roda penyandang difabel yang datang ke tempat mereka.

Empat orang tersebut semuanya juga menggunakan kursi roda karena berbagai kasus yang menyebabkan mereka lumpuh. Dalhari lumpuh karena menyandang sakit polio, sementara Heribertus lumpuh karena lumpuh tulang belakang akibat terkena reruntuhan saat gempa bumi 2006, Kurniawan tak bisa berjalan karena tumor, dan Aris lumpuh karena kecelakaan.

“Saya sendiri bisa memperbaiki kursi roda dengan belajar autodidak, terus bekerja di LSM Karina memperbaiki kursi roda juga di sana,” ujarnya ketika ditemui di bengkel kursi roda tersebut. Setahun bekerja di Karina, dia lantas memutuskan berhenti dan mengajak temantemannya di Forum Peduli Difabel Bantul (FPDB) untuk mendirikan bengkel serupa.

Dengan mendapat restu dari tempatnya bekerja, bahkan difasilitasi, Dalhari dan kawankawan memberanikan diri membuka bengkel kursi roda. Dengan menyewa sebuah rumah yang letaknya agak terpencil, empat orang ini melayani konsumen pemilik kursi roda. Dengan tarif sparepart mulai dari Rp500 hingga Rp50.000 mereka melayani kursi roda yang ingin diperbaiki.

Untuk servis, mereka membebankan biaya cukup terjangkau, mulai Rp15.000 untuk servis ringan dan servis berat Rp50.000. “Untuk setahun ini masih ada subsidi dari Karina, pemilik kursi roda hanya membayar separuhnya,” ujarnya.

Dalam seminggu, mereka bisa menyelesaikan enam kursi roda dengan berbagai tingkat kerusakan. Kerusakan paling susah diperbaiki ada pada laker (as) porok (roda kecil bagian depan), karena setiap kursi roda memiliki tipe laker porok berbeda-beda. Rata-rata kerusakannya ada di laker, selain sering juga diminta memperbaiki jok kursi roda karena sudah usang.

Siti Mushlihah Fakri, 28, satu-satunya nondifabel dan perempuan di bengkel tersebut menambahkan, penyandang cacat tentu lebih senang memperbaiki kursi roda mereka di bengkel tersebut karena tukang servisnya juga dari teman mereka sendiri. Karena dikerjakan sesama kaum difabel, tentu hasilnya akan berbeda dengan diservis orang yang normal.

“Biasanya, kalau diservis di bengkel sepeda katanya hasilnya tidak sreg. Setelannya masih kurang, jadi banyak yang memilih ke sini,” ujar wanita yang sehari-hari mendampingi mereka dan bertugas membeli berbagai sparepart kursi roda di bengkel tersebut.

Erfanto Linangkung
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5417 seconds (0.1#10.140)