Perkuat Branding untuk Terus Bersaing
A
A
A
PALEMBANG - Jelang era MEA 2015, penguatan kualitas wirausaha dinilai perlu dilakukan agar bisa bersaing dengan produk negara ASEAN lainnya.
Hal itu diungkapkan Dewan Pembina Yayasan Pro Indonesia Smartpreneur, Budi Satria Isman, dalam gelaran workshop One In Twenty Movement 2014 di Galeri Indosat Palembang, kemarin. Kegiatan ini merupakan bagian dari Gerakan Nasional Masyarakat Wirausaha Indonesia dan digagas Yayasan Pro Indonesia Smartpreneur bekerja sama dengan situs berita sindo - news.com.
Gerakan tersebut ber cita-cita menciptakan satu juta wirausahawan di Indonesia sampai tahun 2020. Menurut Budi, kurang dari 65% dari 57 juta wirausaha di Indonesia sudah berdaya saing global dan dianggap profesional. Sisanya belum siap memasuki implementasi MEA 2015, padahal isu AFTA sudah meluas sejak 10 tahun lalu.
Untuk itu, program One In Twenty Movement memfasilitasi pelaku UKM ini untuk mengembangkan kapasitas bisnisnya. “Hal terpenting adalah memperkuat branding. Tidak banyak yang paham bahwa branding itu seperti sosok orang. Jika kita melihat seorang tokoh, kita akan langsung tahu karakternya dari penampilan. Begitu juga dengan branding, konsumen akan melihat dulu kemasan dan kualitasnya,” jelas pakar bisnis ini kepada KORAN SINDO PALEMBANG.
Ketidakpahaman soal branding inilah, lanjutnya, menjadi salah satu dari enam kendala yang kerap dijumpai para wirausaha pemula. Enam kendala tersebut antara lain kurangnya pengetahuan, akses pasar, modal, teknologi, legalitas, danja ringan. Untuk itu, selain memberi pelatihan wirausaha agar siap berdaya saing, pihaknya juga menggandeng berbagai pihak untuk membantu memfasilitasi para UKM.
Misalnya, institusi keuangan untuk sektor permodalan, komunitas untuk jaringan, dan ritel untuk akses pasarnya. “Beberapa ritel sudah ada yang membuka diri, seperti Carrefour yang siap menampung produk UKM,” ulas dia. Terkait potensi usaha di Sumsel, Budi mengatakan, masyarakat tidak harus memproduksi sesuatu yang baru.
Cukup berkreativitas memberi nilai tambah pada barang yang su dah adadidaerah, khususnyadibidang kuliner, agribisnis, danfesyen. “Kembali soal branding. Lempok misalnya, masyarakat Palembang tidak ada yang mengangkat lempok untuk branding produk. Jika memang kreatif, kemas penjualannya dengan menarik dan buat brand sendiri. Tentunya ada nilai tambah di sana,” imbuhnya.
Sementara itu, salah satu peserta workshop Andika berharap, dengan seminar ini dia dapat mengembangkan dan mempertahankan usahanya. Di akuinya, pasar untuk bisnisnya yang bergerak di bidang penjualan lampu aroma terapi unik cukup besar saat ini. “Saya tahu kegiatan ini dari rekan sesama wirausaha. Sangat cerdas dan membakar semangat untuk kreatif,” tutur Andika.
Yulia Savitri
Hal itu diungkapkan Dewan Pembina Yayasan Pro Indonesia Smartpreneur, Budi Satria Isman, dalam gelaran workshop One In Twenty Movement 2014 di Galeri Indosat Palembang, kemarin. Kegiatan ini merupakan bagian dari Gerakan Nasional Masyarakat Wirausaha Indonesia dan digagas Yayasan Pro Indonesia Smartpreneur bekerja sama dengan situs berita sindo - news.com.
Gerakan tersebut ber cita-cita menciptakan satu juta wirausahawan di Indonesia sampai tahun 2020. Menurut Budi, kurang dari 65% dari 57 juta wirausaha di Indonesia sudah berdaya saing global dan dianggap profesional. Sisanya belum siap memasuki implementasi MEA 2015, padahal isu AFTA sudah meluas sejak 10 tahun lalu.
Untuk itu, program One In Twenty Movement memfasilitasi pelaku UKM ini untuk mengembangkan kapasitas bisnisnya. “Hal terpenting adalah memperkuat branding. Tidak banyak yang paham bahwa branding itu seperti sosok orang. Jika kita melihat seorang tokoh, kita akan langsung tahu karakternya dari penampilan. Begitu juga dengan branding, konsumen akan melihat dulu kemasan dan kualitasnya,” jelas pakar bisnis ini kepada KORAN SINDO PALEMBANG.
Ketidakpahaman soal branding inilah, lanjutnya, menjadi salah satu dari enam kendala yang kerap dijumpai para wirausaha pemula. Enam kendala tersebut antara lain kurangnya pengetahuan, akses pasar, modal, teknologi, legalitas, danja ringan. Untuk itu, selain memberi pelatihan wirausaha agar siap berdaya saing, pihaknya juga menggandeng berbagai pihak untuk membantu memfasilitasi para UKM.
Misalnya, institusi keuangan untuk sektor permodalan, komunitas untuk jaringan, dan ritel untuk akses pasarnya. “Beberapa ritel sudah ada yang membuka diri, seperti Carrefour yang siap menampung produk UKM,” ulas dia. Terkait potensi usaha di Sumsel, Budi mengatakan, masyarakat tidak harus memproduksi sesuatu yang baru.
Cukup berkreativitas memberi nilai tambah pada barang yang su dah adadidaerah, khususnyadibidang kuliner, agribisnis, danfesyen. “Kembali soal branding. Lempok misalnya, masyarakat Palembang tidak ada yang mengangkat lempok untuk branding produk. Jika memang kreatif, kemas penjualannya dengan menarik dan buat brand sendiri. Tentunya ada nilai tambah di sana,” imbuhnya.
Sementara itu, salah satu peserta workshop Andika berharap, dengan seminar ini dia dapat mengembangkan dan mempertahankan usahanya. Di akuinya, pasar untuk bisnisnya yang bergerak di bidang penjualan lampu aroma terapi unik cukup besar saat ini. “Saya tahu kegiatan ini dari rekan sesama wirausaha. Sangat cerdas dan membakar semangat untuk kreatif,” tutur Andika.
Yulia Savitri
(ftr)