Liyangan Dihuni sejak Abad Ke-6
A
A
A
TEMANGGUNG - Situs Liyangan di Desa Purbosari lereng Gunung Sindoro, Kabupaten Temanggung diduga telah dihuni sejak abad ke-6.
Ketua Tim Ekskavasi Situs Liyangan Sugeng Riyadi dari Balai Arkeologi Yogyakarta mengatakan berdasarkan penelitian bekas bangunan berupa sampel arang kayu dan bambu yang diteliti di Badan Tenaga Atom Yogyakarta menunjukkan bahwa Situs Liyangan dihuni sejak abad ke-6 hingga abad ke-10.
Berdasarkan lima sampel arang yang diteliti keluar angka tahun paling tua 578 M, 742 M, 846 M, 913 M, dan yang paling muda 997 M. “Sampel arang yang kami kirim tiga di antaranya arang bambu dan dua sampel arang kayu. Munculnya abad ke- 6, 8, 9, 10 itu membuktikan bahwa Situs Liyangan ini dihuni setidaknya 400 tahun,” katanya.
Sebelumnya diperkirakan situs tersebut sudah dihuni sejak abad ke-9. Ternyata masa huninya lebih panjang. Balai Arkeologi Yogyakarta sejak pekan lalu kembali melakukan ekskavasi di Situs Liyangan dengan konsentrasi di sekitar jalan batu paling bawah. Sugeng mengatakan, di jalan batu tersebut, salah satu sisinya terdapat talut dari batu. Kira-kira jarak sekitar 8 meter dari jalan batu ke arah barat ditemukan bangunan berupa struktur batu yang memanjang ke arah barat berbentuk lima teras berundak.
“Ekskavasi kali ini untuk mencari hubungan jalan batu dengan bangunan teras. Awal ekskavasi ditemukan lantai tanah yang terbakar di samping ada tulang, pecahan gerabah, dan keramik. Di antara lantai yang terbakar, katanya ditemukan fitur-fitur berupa sejumlah lubang yang berpola memanjang dari timur ke barat sejajar dengan kultur batu bangunan teras.
Sekitar 29 lubang tersebut terdiri atas dua baris berada di tengah teras atau teras ketiga. Lubanglubang ini berbentuk persegi dan lingkaran. Bentuk lingkaran diperkirakan bekas bambu, dan yang persegi bekas kayu. “Lubang-lubang yang berpola dengan jarak masing-masing 30 sentimeter, kemungkinan itu dinding yang diperkuat dengan kayu dan bambu atau mungkin berupa pagar. Kami belum tahu persis karena baru ditemukan polanya saja,” paparnya.
Sebelumnya, tim dari juga menemukan artefak berupa butiran jagung purba (Zea mays ) dan sisa nasi yang masih berada dalam bakul di situs tersebut. Temuan ini sangat membantu penelusuran sejarah budi daya pertanian dan teknologi pertanian atau cocok tanam di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Tim juga menemukan bulir padi (Oriza sativa) yang telah menjadi arang yang belum bisa ditentukan jenisnya.
Padi itu diperkirakan merupakan padi Jawa dengan usia sama dengan usia Liyangan, pada abad 9 masehi. Temuan-temuan tersebut membuktikan ketahanan pangan di Jawa saat itu dikelola dengan baik. Menurut dia, sejak kapan butiran jagung tersebut dibudidayakan dan dari mana benih tanaman tersebut atau dari negara mana benih jagung tersebut diperoleh, pihaknya hingga kini masih meyakini jika kemungkinan besar butiran jagung tersebut merupakan hasil impor karena pada abad tersebut hubungan Internasional sudah terbuka.
Pakar pertanian yang juga Ketua Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Unsoed Totok Agung memperkirakan bulir padi yang ditemukan Balai Arkeologi merupakan padi yang hanya ada di Pulau Jawa. “Saya menduga itu padi jenis subspesiesjavanicus ,” ujarnya. Jenis padi ini memiliki rasa yang sangat enak dan wangi. Padinya mempunyai bulu yang banyak. Hanya masa tanamnya cukup lama sekitar 6-8 bulan. Padi ini masih bisa ditemui di pedesaan dengan pertanian tradisional.
“Dulu ada padi dengan nama padi grendeng. Padi ini kemungkinan mempunyai kekerabatan yang dekat dengan padi yang ditemukan di Liyangan,” kata Totok Agung.
M Purwadi/ant
Ketua Tim Ekskavasi Situs Liyangan Sugeng Riyadi dari Balai Arkeologi Yogyakarta mengatakan berdasarkan penelitian bekas bangunan berupa sampel arang kayu dan bambu yang diteliti di Badan Tenaga Atom Yogyakarta menunjukkan bahwa Situs Liyangan dihuni sejak abad ke-6 hingga abad ke-10.
Berdasarkan lima sampel arang yang diteliti keluar angka tahun paling tua 578 M, 742 M, 846 M, 913 M, dan yang paling muda 997 M. “Sampel arang yang kami kirim tiga di antaranya arang bambu dan dua sampel arang kayu. Munculnya abad ke- 6, 8, 9, 10 itu membuktikan bahwa Situs Liyangan ini dihuni setidaknya 400 tahun,” katanya.
Sebelumnya diperkirakan situs tersebut sudah dihuni sejak abad ke-9. Ternyata masa huninya lebih panjang. Balai Arkeologi Yogyakarta sejak pekan lalu kembali melakukan ekskavasi di Situs Liyangan dengan konsentrasi di sekitar jalan batu paling bawah. Sugeng mengatakan, di jalan batu tersebut, salah satu sisinya terdapat talut dari batu. Kira-kira jarak sekitar 8 meter dari jalan batu ke arah barat ditemukan bangunan berupa struktur batu yang memanjang ke arah barat berbentuk lima teras berundak.
“Ekskavasi kali ini untuk mencari hubungan jalan batu dengan bangunan teras. Awal ekskavasi ditemukan lantai tanah yang terbakar di samping ada tulang, pecahan gerabah, dan keramik. Di antara lantai yang terbakar, katanya ditemukan fitur-fitur berupa sejumlah lubang yang berpola memanjang dari timur ke barat sejajar dengan kultur batu bangunan teras.
Sekitar 29 lubang tersebut terdiri atas dua baris berada di tengah teras atau teras ketiga. Lubanglubang ini berbentuk persegi dan lingkaran. Bentuk lingkaran diperkirakan bekas bambu, dan yang persegi bekas kayu. “Lubang-lubang yang berpola dengan jarak masing-masing 30 sentimeter, kemungkinan itu dinding yang diperkuat dengan kayu dan bambu atau mungkin berupa pagar. Kami belum tahu persis karena baru ditemukan polanya saja,” paparnya.
Sebelumnya, tim dari juga menemukan artefak berupa butiran jagung purba (Zea mays ) dan sisa nasi yang masih berada dalam bakul di situs tersebut. Temuan ini sangat membantu penelusuran sejarah budi daya pertanian dan teknologi pertanian atau cocok tanam di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Tim juga menemukan bulir padi (Oriza sativa) yang telah menjadi arang yang belum bisa ditentukan jenisnya.
Padi itu diperkirakan merupakan padi Jawa dengan usia sama dengan usia Liyangan, pada abad 9 masehi. Temuan-temuan tersebut membuktikan ketahanan pangan di Jawa saat itu dikelola dengan baik. Menurut dia, sejak kapan butiran jagung tersebut dibudidayakan dan dari mana benih tanaman tersebut atau dari negara mana benih jagung tersebut diperoleh, pihaknya hingga kini masih meyakini jika kemungkinan besar butiran jagung tersebut merupakan hasil impor karena pada abad tersebut hubungan Internasional sudah terbuka.
Pakar pertanian yang juga Ketua Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Unsoed Totok Agung memperkirakan bulir padi yang ditemukan Balai Arkeologi merupakan padi yang hanya ada di Pulau Jawa. “Saya menduga itu padi jenis subspesiesjavanicus ,” ujarnya. Jenis padi ini memiliki rasa yang sangat enak dan wangi. Padinya mempunyai bulu yang banyak. Hanya masa tanamnya cukup lama sekitar 6-8 bulan. Padi ini masih bisa ditemui di pedesaan dengan pertanian tradisional.
“Dulu ada padi dengan nama padi grendeng. Padi ini kemungkinan mempunyai kekerabatan yang dekat dengan padi yang ditemukan di Liyangan,” kata Totok Agung.
M Purwadi/ant
(ftr)