Organda Dukung Penertiban Angkot Tua
A
A
A
MEDAN - Ketua Organisasi Angkutan Daerah (Organda) Kota Medan, Month Gomery Munthe, tidak menampik banyaknya angkutan umum yang tidak layak beroperasi saat ini.
Namun, dia menuding kondisi ini akibat ketidaktegasan pemerintah. “Masih banyak angkutan yang sudah tidak layak beroperasi, tapi tetap beroperasional, itu salah siapa? Itu karena ketidaktegasan Dishub. Sudah tahu tidak layak, tapi dibiarkan,” ujarnya, kemarin. Sebelumnya, Dishub mengklaim dari 6.698 angkutan kota (angkot) yang beroperasi di Kota Medan saat ini, ada sekitar 700–1.000 unit angkot yang tidak layak beroperasi.
Angkot yang tidak layak beroperasi umumnya berusia di atas 10–20 tahun. Biasanya, angkutan umum tersebut adalah angkot pintu belakang yang beroperasi di pinggiran kota, seperti daerah Tembung, Delitua, dan Denai. Pada prinsipnya, Organda mendukung Dishub Kota Medan menertibkan angkutan yang sudah tidak laik jalan. Apalagi penertiban itu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kelancaran lalu lintas.
“Kalau menurut kami, kalau memang salah, silakan saja ditertibkan, kami siap. Tapi selama ini penertiban itu kurang. Ada benarnya juga kalau ditertibkan, sehingga tidak mengganggu operasional angkutan yang masih layak beroperasi,” ujarnya.
Terkai usulan Direktur Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Abu Bakar Siddiq, agar sistem ongkos estafet dihapuskan, Month sangat tidak setuju. Pasalnya, besaran ongkos per estafet itu sudah diperhitungkan sesuai kebutuhan biaya operasional angkutan setiap hari. “Tidak hanya itu, besaran ongkos itu juga sudah diperhitungkan berapa untuk pendapatan sopir dan berapa besaran yang akan disetor setiap harinya. Jadi, tidak mungkin dihapus, itu pembicaraan yang tidak sesuai logika,” katanya.
Kadishub Kota Medan, Renward Perapat, mengakui, besaran ongkos angkutan umum per estafet sudah sesuai perhitungan biaya operasional setiap angkutan. Sementara soal wacana pembatasan kendaraan pribadi, Renward menuturkan tidak mungkin dilakukan, karena selama ini kemacetan di Kota Medan masih bisa diatasi melalui rekayasa lalu lintas.
“Tidak mungkin kendaraan pribadi dibatasi, karena semacet apapun, kemacetan itu masih diatasi. Yang harus diubah adalah perilaku pengguna kendaraan. Kalau memang lampu merah, ya berhenti,” ucapnya. Sedangkan terkait angkutan umum yang tidak layak beroperasi, menurut dia, mungkin saja dibatasi melalui penertiban.
“Nanti akan kami rencanakan membuat penertiban untuk angkutan yang tidak laik lagi beroperasi. Biasanya, yang tidak laik itu adalah angkutan yang tidak punya STNK, tidak ada surat lulus pengujian speksi, dan surat menyurat lainnya,” ujarnya.
Eko agustyo fb
Namun, dia menuding kondisi ini akibat ketidaktegasan pemerintah. “Masih banyak angkutan yang sudah tidak layak beroperasi, tapi tetap beroperasional, itu salah siapa? Itu karena ketidaktegasan Dishub. Sudah tahu tidak layak, tapi dibiarkan,” ujarnya, kemarin. Sebelumnya, Dishub mengklaim dari 6.698 angkutan kota (angkot) yang beroperasi di Kota Medan saat ini, ada sekitar 700–1.000 unit angkot yang tidak layak beroperasi.
Angkot yang tidak layak beroperasi umumnya berusia di atas 10–20 tahun. Biasanya, angkutan umum tersebut adalah angkot pintu belakang yang beroperasi di pinggiran kota, seperti daerah Tembung, Delitua, dan Denai. Pada prinsipnya, Organda mendukung Dishub Kota Medan menertibkan angkutan yang sudah tidak laik jalan. Apalagi penertiban itu dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kelancaran lalu lintas.
“Kalau menurut kami, kalau memang salah, silakan saja ditertibkan, kami siap. Tapi selama ini penertiban itu kurang. Ada benarnya juga kalau ditertibkan, sehingga tidak mengganggu operasional angkutan yang masih layak beroperasi,” ujarnya.
Terkai usulan Direktur Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Abu Bakar Siddiq, agar sistem ongkos estafet dihapuskan, Month sangat tidak setuju. Pasalnya, besaran ongkos per estafet itu sudah diperhitungkan sesuai kebutuhan biaya operasional angkutan setiap hari. “Tidak hanya itu, besaran ongkos itu juga sudah diperhitungkan berapa untuk pendapatan sopir dan berapa besaran yang akan disetor setiap harinya. Jadi, tidak mungkin dihapus, itu pembicaraan yang tidak sesuai logika,” katanya.
Kadishub Kota Medan, Renward Perapat, mengakui, besaran ongkos angkutan umum per estafet sudah sesuai perhitungan biaya operasional setiap angkutan. Sementara soal wacana pembatasan kendaraan pribadi, Renward menuturkan tidak mungkin dilakukan, karena selama ini kemacetan di Kota Medan masih bisa diatasi melalui rekayasa lalu lintas.
“Tidak mungkin kendaraan pribadi dibatasi, karena semacet apapun, kemacetan itu masih diatasi. Yang harus diubah adalah perilaku pengguna kendaraan. Kalau memang lampu merah, ya berhenti,” ucapnya. Sedangkan terkait angkutan umum yang tidak layak beroperasi, menurut dia, mungkin saja dibatasi melalui penertiban.
“Nanti akan kami rencanakan membuat penertiban untuk angkutan yang tidak laik lagi beroperasi. Biasanya, yang tidak laik itu adalah angkutan yang tidak punya STNK, tidak ada surat lulus pengujian speksi, dan surat menyurat lainnya,” ujarnya.
Eko agustyo fb
(ars)