Istri Kepala Desa pun Pernah Jadi TKW
A
A
A
GARUT - Siapa sangka, istri seorang kepala desa di Garut ternyata pernah menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Seperti apa kisahnya?
Kepala Desa Cigadog, Kecamatan Sucinaraja, Garut, Jawa Barat, Ayud Sukaedi, secara terbuka mengungkapkan istrinya, Aan Susilawati (41), pernah bekerja di Arab Saudi selama dua tahun. Alasan kepergiannya adalah untuk membantu suami.
"Honor atau gaji saya sebagai kepala desa, sampai detik ini cuma Rp2 juta. Tidak kurang tidak lebih, pas segitu. Tidak ada tunjangan karena saya bukan PNS. Makanya istri pergi ke Arab Saudi untuk bantu-bantu suami," kata Ayud saat ditemui KORAN SINDO.
Meski seorang kepala desa sangat mungkin untuk mendapat 'penghasilan tambahan' dari hal lain, dia mengaku menjalani jabatannya dengan lebih hati-hati. Dia khawatir kesalahan sekecil apa pun dalam mengelola dana masyarakat, dapat berdampak negatif di kemudian hari.
"Jadi, lebih baik keluarga kami hidup dari penghasilan sendiri yang terdiri dari honor saya sebagai kepala desa dan gaji istri sebagai TKW," jelasnya.
Sama seperti alasan mayoritas penduduk di desanya, uang yang diperoleh dari hasil kerja istrinya di Arab digunakan untuk keperluan anaknya yang kini duduk di bangku SMA Kecamatan Sucinaraja. Tentu saja tidak semua dihabiskan begitu saja. Karena, sebagiannya lagi dipakai untuk ditabung.
Sejak beberapa tahun lalu, istrinya pulang dari Arab. Hasil menyisihkan gaji sebagai TKW dipakai sebagai modal usaha kecil-kecilan, seperti warung atau rumah makan yang sederhana.
"Bila saya berhenti jadi kepala desa di 2015 mendatang, saya juga akan usaha apa saja. Sama seperti orang-orang, saya ingin agar anak saya ini bisa lebih pintar dari bapaknya. Kami bermimpi bisa menyekolahkan anak satu-satunya ini ke STPDN (kini IPDN)," ungkapnya.
Selama di Arab Saudi, kata Ayud, gaji istrinya bervariasi. Mulai dari 800 riyal (sekitar Rp2,5 juta) hingga 900 riyal (setara Rp2,9 juta) per bulan.
"Kenaikan gaji ini tergantung dari kinerja. Kalau kinerja bagus, nanti seorang TKW itu bisa melobi majikannya untuk naik gaji. Pada umumnya, jika majikan senang atas kinerja pekerja, pasti akan memenuhi kenaikan gaji ini,” jelasnya.
Alasan inilah yang membuat sebagian besar kaum perempuan di desanya lebih memilih Arab Saudi ketimbang negara kawasan Timur Tengah lainnya.
"Namun sejak 2011 lalu ada moratorium pengiriman TKI atau TKW ke Arab Saudi. Sejak saat itulah, tidak ada yang berangkat lagi ke Arab Saudi. Kalaupun masih ada yang bekerja di sana, itu karena perpanjangan kontrak masa kerja."
Sebenarnya, kesempatan untuk bekerja di negara lain Timur Tengah seperti Yordania, Oman, Qatar, dan sebagainya masih terbuka lebar. Namun tetap saja warga lebih berminat ke Arab Saudi.
"Mungkin bila pengiriman ke sana (Arab Saudi) mulai dibuka kembali, akan banyak lagi orang yang berangkat ke sana dari sini," tuturnya.
Jatuhnya pilihan untuk bekerja di Arab Saudi dimunculkan oleh informasi yang berkembang dari mulut ke mulut warga Cigadog sendiri. Para majikan di negara itu lebih mempercayai para mantan TKW yang pernah bekerja di rumahnya.
"Informasi seperti ini lalu mulai disebar ke tetangga jika TKW yang bersangkutan pulang. Naik gaji mudah, majikan ramah, dan sebagainya. Warga sini akhirnya tergiur dan lebih memilih di sana," ungkapnya.
Banyaknya kasus pelecehan, pembunuhan, hingga hukuman mati yang menimpa TKW di Arab Saudi, sambungnya, tidak menciutkan nyali warganya atau menggeser nama Arab Saudi dari posisi teratas daftar negara tujuan bekerja.
"Setiap warga sini yang pernah atau yang sedang menjalani pekerjaannya sebagai TKW, menyerahkan semuanya kepada takdir. Alhamdulillah sejak tahun 80-an hingga sekarang, tidak pernah ada warga desa kami yang bermasalah saat bekerja di luar negeri," katanya.
Kepala Desa Cigadog, Kecamatan Sucinaraja, Garut, Jawa Barat, Ayud Sukaedi, secara terbuka mengungkapkan istrinya, Aan Susilawati (41), pernah bekerja di Arab Saudi selama dua tahun. Alasan kepergiannya adalah untuk membantu suami.
"Honor atau gaji saya sebagai kepala desa, sampai detik ini cuma Rp2 juta. Tidak kurang tidak lebih, pas segitu. Tidak ada tunjangan karena saya bukan PNS. Makanya istri pergi ke Arab Saudi untuk bantu-bantu suami," kata Ayud saat ditemui KORAN SINDO.
Meski seorang kepala desa sangat mungkin untuk mendapat 'penghasilan tambahan' dari hal lain, dia mengaku menjalani jabatannya dengan lebih hati-hati. Dia khawatir kesalahan sekecil apa pun dalam mengelola dana masyarakat, dapat berdampak negatif di kemudian hari.
"Jadi, lebih baik keluarga kami hidup dari penghasilan sendiri yang terdiri dari honor saya sebagai kepala desa dan gaji istri sebagai TKW," jelasnya.
Sama seperti alasan mayoritas penduduk di desanya, uang yang diperoleh dari hasil kerja istrinya di Arab digunakan untuk keperluan anaknya yang kini duduk di bangku SMA Kecamatan Sucinaraja. Tentu saja tidak semua dihabiskan begitu saja. Karena, sebagiannya lagi dipakai untuk ditabung.
Sejak beberapa tahun lalu, istrinya pulang dari Arab. Hasil menyisihkan gaji sebagai TKW dipakai sebagai modal usaha kecil-kecilan, seperti warung atau rumah makan yang sederhana.
"Bila saya berhenti jadi kepala desa di 2015 mendatang, saya juga akan usaha apa saja. Sama seperti orang-orang, saya ingin agar anak saya ini bisa lebih pintar dari bapaknya. Kami bermimpi bisa menyekolahkan anak satu-satunya ini ke STPDN (kini IPDN)," ungkapnya.
Selama di Arab Saudi, kata Ayud, gaji istrinya bervariasi. Mulai dari 800 riyal (sekitar Rp2,5 juta) hingga 900 riyal (setara Rp2,9 juta) per bulan.
"Kenaikan gaji ini tergantung dari kinerja. Kalau kinerja bagus, nanti seorang TKW itu bisa melobi majikannya untuk naik gaji. Pada umumnya, jika majikan senang atas kinerja pekerja, pasti akan memenuhi kenaikan gaji ini,” jelasnya.
Alasan inilah yang membuat sebagian besar kaum perempuan di desanya lebih memilih Arab Saudi ketimbang negara kawasan Timur Tengah lainnya.
"Namun sejak 2011 lalu ada moratorium pengiriman TKI atau TKW ke Arab Saudi. Sejak saat itulah, tidak ada yang berangkat lagi ke Arab Saudi. Kalaupun masih ada yang bekerja di sana, itu karena perpanjangan kontrak masa kerja."
Sebenarnya, kesempatan untuk bekerja di negara lain Timur Tengah seperti Yordania, Oman, Qatar, dan sebagainya masih terbuka lebar. Namun tetap saja warga lebih berminat ke Arab Saudi.
"Mungkin bila pengiriman ke sana (Arab Saudi) mulai dibuka kembali, akan banyak lagi orang yang berangkat ke sana dari sini," tuturnya.
Jatuhnya pilihan untuk bekerja di Arab Saudi dimunculkan oleh informasi yang berkembang dari mulut ke mulut warga Cigadog sendiri. Para majikan di negara itu lebih mempercayai para mantan TKW yang pernah bekerja di rumahnya.
"Informasi seperti ini lalu mulai disebar ke tetangga jika TKW yang bersangkutan pulang. Naik gaji mudah, majikan ramah, dan sebagainya. Warga sini akhirnya tergiur dan lebih memilih di sana," ungkapnya.
Banyaknya kasus pelecehan, pembunuhan, hingga hukuman mati yang menimpa TKW di Arab Saudi, sambungnya, tidak menciutkan nyali warganya atau menggeser nama Arab Saudi dari posisi teratas daftar negara tujuan bekerja.
"Setiap warga sini yang pernah atau yang sedang menjalani pekerjaannya sebagai TKW, menyerahkan semuanya kepada takdir. Alhamdulillah sejak tahun 80-an hingga sekarang, tidak pernah ada warga desa kami yang bermasalah saat bekerja di luar negeri," katanya.
(zik)