PT LNK Telantarkan Ribuan Karyawan
A
A
A
MEDAN - Ribuan karyawan mengadukan PT Langkat Nusantara Kepong (LNK) yang telah menelantarkan mereka ke DPRD Sumut. Anak perusahaan PTPN II itu dianggap telah dikuasai asing karena 60% saham sudah jatuh ke pengusaha Malaysia.
Ketua Serikat Pekerja Merdeka PT LNK, Rojaya Girsang, mengungkapkan, mereka menuntut kejelasan pengalihan status karyawan diperbantukan dari PTPN II ke PT LNK yang dijanjikan hanya untuk dua tahun. Namun, sudah enam tahun berjalan, nasib mereka semakin tidak jelas dan hak normatif tidak lagi dibayarkan kepada karyawan.
“Kami dijanjikan transisi hanya dua tahun di LNK, tapi sekarang sudah enam tahun berjalan tanpa kejelasan,” ujar salah satu perwakilan pengunjuk rasa saat diterima Komisi E DPRD Sumut di gedung Dewan, Jalan Imam Bonjol, Medan, Selasa (28/10).
Mereka sudah mencium ketidakberesan tersebut ketika mengetahui pembagian saham PT LNK saat ini 60%, di antaranya sudah dikuasai pengusaha asal Kuala Lumpur, Malaysia. Sementara PTPN II hanya tinggal 40%, sehingga tidak punya kuasa lagi terhadap PT LNK. “Ini anak perusahaan PTPN II tapi 60% sahamnya sudah dikuasai asing. Perlu dipertanyakan ini keberadaan PT LNK,” kata Rojaya.
Beberapa hak normatif yang tidak lagi dipenuhi seperti pembayaran bantuan anak sekolah (BAS) yang sebelumnya disebut bonus. Pembayaran santunan kemalangan antarkaryawan (SKAK) yang dipotong dari gaji juga tidak pernah lagi diberikan. Selain itu, pembayaran manfaat pensiun oleh perusahaan dilakukan berdasarkan upah tahun 2002 sehingga merugikan karyawan.
Mereka pun menolak rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) massal ribuan karyawan oleh PT LNK di Langkat. Sebab, mereka sudah lama mencari nafkah sebelumnya di PTPN II sebelum dialihkan ke anak perusahaannya.
Ketua Serikat Pekerja Perkebunan (SP-Bun) Rayon Tengah, Berawijaya Meliala, meminta DPRD Sumut mempertanyakan kembali perjanjian pembentukan PT LNK yang sebagian besar sahamnya kini dikuasai asing. Padahal, pembentukannya dilakukan di Jakarta oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena PT LNK masih dianggap sebagai anak perusahaan PTPN II.
Ketua Komisi E, Effendi Panjaitan, yang menerima perwakilan pengunjuk rasa mengaku heran jika anak perusahaan PTPN II justru dikuasai sahamnya oleh pihak luar. Jika hal itu terjadi, bisa dikatakan PTPN II tidak punya hak lagi mengatur manajemen perusahaan. Itu sebabnya, sangat wajar jika pada akhirnya banyak hak normatif karyawannya yang tidak dipenuhi.
Menurut dia, DPRD Sumut perlu segera mempertanyakan kejelasan tersebut agar persoalan karyawan bisa diselesaikan. Dia pun berjanji akan mengagendakan pertemuan lanjutan dengan mengundang PTPN II, PT LNK, serta pihak-pihak lain yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.
Anggota Komisi E, Janter Sirait, menambahkan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemprov Sumut juga perlu diundang untuk mencari tahu status PT LNK yang ada di Langkat saat ini. Sebab, sangat diherankan jika PT LNK yang merupakan anak perusahaan PTPN II ikut melakukan usaha perkebunan di lahan milik BUMN. “Apa PTPN II sudah mampu lagi mengerjakannya? Ini perlu kami pertanyakan,” kata Janter.
Komisi E DPRD Sumut yang menemui ribuan pengunjuk rasa di luar berjanji menindaklanjuti tuntutan mereka. Setelah itu, pengunjuk rasa membubarkan diri dan berjanji kembali lagi jika tidak mendapatkan solusi.
M Rinaldi Khair
Ketua Serikat Pekerja Merdeka PT LNK, Rojaya Girsang, mengungkapkan, mereka menuntut kejelasan pengalihan status karyawan diperbantukan dari PTPN II ke PT LNK yang dijanjikan hanya untuk dua tahun. Namun, sudah enam tahun berjalan, nasib mereka semakin tidak jelas dan hak normatif tidak lagi dibayarkan kepada karyawan.
“Kami dijanjikan transisi hanya dua tahun di LNK, tapi sekarang sudah enam tahun berjalan tanpa kejelasan,” ujar salah satu perwakilan pengunjuk rasa saat diterima Komisi E DPRD Sumut di gedung Dewan, Jalan Imam Bonjol, Medan, Selasa (28/10).
Mereka sudah mencium ketidakberesan tersebut ketika mengetahui pembagian saham PT LNK saat ini 60%, di antaranya sudah dikuasai pengusaha asal Kuala Lumpur, Malaysia. Sementara PTPN II hanya tinggal 40%, sehingga tidak punya kuasa lagi terhadap PT LNK. “Ini anak perusahaan PTPN II tapi 60% sahamnya sudah dikuasai asing. Perlu dipertanyakan ini keberadaan PT LNK,” kata Rojaya.
Beberapa hak normatif yang tidak lagi dipenuhi seperti pembayaran bantuan anak sekolah (BAS) yang sebelumnya disebut bonus. Pembayaran santunan kemalangan antarkaryawan (SKAK) yang dipotong dari gaji juga tidak pernah lagi diberikan. Selain itu, pembayaran manfaat pensiun oleh perusahaan dilakukan berdasarkan upah tahun 2002 sehingga merugikan karyawan.
Mereka pun menolak rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) massal ribuan karyawan oleh PT LNK di Langkat. Sebab, mereka sudah lama mencari nafkah sebelumnya di PTPN II sebelum dialihkan ke anak perusahaannya.
Ketua Serikat Pekerja Perkebunan (SP-Bun) Rayon Tengah, Berawijaya Meliala, meminta DPRD Sumut mempertanyakan kembali perjanjian pembentukan PT LNK yang sebagian besar sahamnya kini dikuasai asing. Padahal, pembentukannya dilakukan di Jakarta oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena PT LNK masih dianggap sebagai anak perusahaan PTPN II.
Ketua Komisi E, Effendi Panjaitan, yang menerima perwakilan pengunjuk rasa mengaku heran jika anak perusahaan PTPN II justru dikuasai sahamnya oleh pihak luar. Jika hal itu terjadi, bisa dikatakan PTPN II tidak punya hak lagi mengatur manajemen perusahaan. Itu sebabnya, sangat wajar jika pada akhirnya banyak hak normatif karyawannya yang tidak dipenuhi.
Menurut dia, DPRD Sumut perlu segera mempertanyakan kejelasan tersebut agar persoalan karyawan bisa diselesaikan. Dia pun berjanji akan mengagendakan pertemuan lanjutan dengan mengundang PTPN II, PT LNK, serta pihak-pihak lain yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.
Anggota Komisi E, Janter Sirait, menambahkan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemprov Sumut juga perlu diundang untuk mencari tahu status PT LNK yang ada di Langkat saat ini. Sebab, sangat diherankan jika PT LNK yang merupakan anak perusahaan PTPN II ikut melakukan usaha perkebunan di lahan milik BUMN. “Apa PTPN II sudah mampu lagi mengerjakannya? Ini perlu kami pertanyakan,” kata Janter.
Komisi E DPRD Sumut yang menemui ribuan pengunjuk rasa di luar berjanji menindaklanjuti tuntutan mereka. Setelah itu, pengunjuk rasa membubarkan diri dan berjanji kembali lagi jika tidak mendapatkan solusi.
M Rinaldi Khair
(ftr)