Dinilai Janggal, PT GWP Kritisi Langkah Hukum Bank Agris
A
A
A
DENPASAR - PT Geria Wijaya Prestige (GWP), pemilik Hotel Kuta Paradiso di Bali, meminta Bank Indonesia meneliti dan mengawasi PT Bank Agris yang tetap mengajukan upaya hukum meski telah menjual piutang GWP kepada pihak ketiga.
Kuasa hukum PT GWP, Zakaria Ginting mengatakan, semestinya dengan telah menjual piutang kepada pihak ketiga, Bank Agris tidak mempunyai hak dan kewajiban hukum lagi terkait sengketa dengan GWP.
“Ini anehnya. Kenapa Bank Agris meneruskan upaya hukum untuk sesuatu yang sudah tidak diakuinya sendiri. Bukankah Bank Agris tak punya kedudukan hukum lagi terhadap GWP,” papar Zakaria dalam keterangan persnya yang dikirim ke Sindonews, Rabu (08/10/2014).
Dalam laporan tahunan 2013, Bank Agris yang hampir 100% sahamnya dimiliki PT Dian Intan Perkasa dan Benjamin Jiaravanon itu mengungkapkan bahwa pada 27 Desember 2011 pihaknya telah menjual tagihan PT GWP kepada pihak ketiga, dan mengalihkan seluruh kewajiban bank yang melekat pada tagihan itu berdasarkan keputusan pengadilan.
Bank Agris menyatakan, berdasar perjanjian jual beli tersebut, seluruh hak dan kewajiban ke GWP telah beralih kepada pihak pembeli. Namun Bank Agris tidak menyebutkan siapa pembeli piutang GWP tersebut.
Seharusnya, kata Zakaria, begitu Bank Agris menjual tagihan GWP, dengan sendirinya bank itu tidak punya hubungan hukum apapun dengan GWP.
Sehingga segala sesuatu yang mengatasnamakan Bank Agris dalam sengketa dengan GWP harus batal demi hukum.
Kenyataannya walau Bank Agris telah menjual piutangnya pada 2011, bank itu tetap meneruskan gugatan terhadap PT GWP dengan mengajukan upaya kasasi pada 2013 dan dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Dalam putusan itu, GWP diminta membayar lebih dari USD 20 juta, karena dinilai telah melakukan wanprestasi. Saat ini putusan tersebut dalam tingkat pemeriksaan peninjauan kembali yang dimohonkan GWP.
Zakaria memaparkan, GWP sebelumnya memenangkan perkara melawan sindikasi krediturnya setelah MA dalam putusan peninjauan kembali (PK) mengabulkan gugatan GWP, yang tercatat dalam perkara No. 3140 K/ Pdt/2001 jo. No. 292 PK/Pdt/2003 jo. No. 880/Pdt/1999/PT.DKI. jo. No. 490/Pdt.G/1998/ PN.Jkt.Pst.
Putusan itu pada intinya menyatakan bahwa GWP tidak terbukti melakukan wanprestasi, dan MA menghukum bank sindikasi yang terdiri dari Bank Agris (d/h Bank Finconesia), bersama Bank Commonwealth (d/h Bank Artha Niaga Kencana) dan Bank Windu Kentjana Internasional Tbk (d/h Bank Multicor) membayar ganti rugi tanggung renteng Rp20 miliar kepada GWP sebagai tindaklanjut putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Bank Commonwealth menyanggupi memenuhi kewajiban dengan melakukan konsinyasi dana ke PN Jakarta Pusat.
Namun dalam laporan keuangan terbaru, Bank Commonwealth telah menjual piutang ke GWP kepada pihak ketiga senilai USD 50.000 pada 11 September 2011, sekaligus menegaskan bahwa permasalahan hukum dengan GWP telah selesai.
Adapun Bank Windu Kentjana dalam laporan tahunan mengungkapkan manajemen berusaha melakukan penyelesaian secara musyawarah dengan GWP.
Kuasa hukum PT GWP, Zakaria Ginting mengatakan, semestinya dengan telah menjual piutang kepada pihak ketiga, Bank Agris tidak mempunyai hak dan kewajiban hukum lagi terkait sengketa dengan GWP.
“Ini anehnya. Kenapa Bank Agris meneruskan upaya hukum untuk sesuatu yang sudah tidak diakuinya sendiri. Bukankah Bank Agris tak punya kedudukan hukum lagi terhadap GWP,” papar Zakaria dalam keterangan persnya yang dikirim ke Sindonews, Rabu (08/10/2014).
Dalam laporan tahunan 2013, Bank Agris yang hampir 100% sahamnya dimiliki PT Dian Intan Perkasa dan Benjamin Jiaravanon itu mengungkapkan bahwa pada 27 Desember 2011 pihaknya telah menjual tagihan PT GWP kepada pihak ketiga, dan mengalihkan seluruh kewajiban bank yang melekat pada tagihan itu berdasarkan keputusan pengadilan.
Bank Agris menyatakan, berdasar perjanjian jual beli tersebut, seluruh hak dan kewajiban ke GWP telah beralih kepada pihak pembeli. Namun Bank Agris tidak menyebutkan siapa pembeli piutang GWP tersebut.
Seharusnya, kata Zakaria, begitu Bank Agris menjual tagihan GWP, dengan sendirinya bank itu tidak punya hubungan hukum apapun dengan GWP.
Sehingga segala sesuatu yang mengatasnamakan Bank Agris dalam sengketa dengan GWP harus batal demi hukum.
Kenyataannya walau Bank Agris telah menjual piutangnya pada 2011, bank itu tetap meneruskan gugatan terhadap PT GWP dengan mengajukan upaya kasasi pada 2013 dan dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Dalam putusan itu, GWP diminta membayar lebih dari USD 20 juta, karena dinilai telah melakukan wanprestasi. Saat ini putusan tersebut dalam tingkat pemeriksaan peninjauan kembali yang dimohonkan GWP.
Zakaria memaparkan, GWP sebelumnya memenangkan perkara melawan sindikasi krediturnya setelah MA dalam putusan peninjauan kembali (PK) mengabulkan gugatan GWP, yang tercatat dalam perkara No. 3140 K/ Pdt/2001 jo. No. 292 PK/Pdt/2003 jo. No. 880/Pdt/1999/PT.DKI. jo. No. 490/Pdt.G/1998/ PN.Jkt.Pst.
Putusan itu pada intinya menyatakan bahwa GWP tidak terbukti melakukan wanprestasi, dan MA menghukum bank sindikasi yang terdiri dari Bank Agris (d/h Bank Finconesia), bersama Bank Commonwealth (d/h Bank Artha Niaga Kencana) dan Bank Windu Kentjana Internasional Tbk (d/h Bank Multicor) membayar ganti rugi tanggung renteng Rp20 miliar kepada GWP sebagai tindaklanjut putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Bank Commonwealth menyanggupi memenuhi kewajiban dengan melakukan konsinyasi dana ke PN Jakarta Pusat.
Namun dalam laporan keuangan terbaru, Bank Commonwealth telah menjual piutang ke GWP kepada pihak ketiga senilai USD 50.000 pada 11 September 2011, sekaligus menegaskan bahwa permasalahan hukum dengan GWP telah selesai.
Adapun Bank Windu Kentjana dalam laporan tahunan mengungkapkan manajemen berusaha melakukan penyelesaian secara musyawarah dengan GWP.
(sms)