Disita, Lahan UGM Dilarang Dimanfaatkan Tanpa Izin
A
A
A
YOGYAKARTA - Lahan milik Universitas Gadjah Mada (UGM) yang disita Kejati DIY dilarang dimanfaatkan oleh Yayasan Fapertagama maupun pihak universitas.
Lahan seluas 29.875 meter persegi yang disita dalam kasus dugaan korupsi alih fungsi lahan itu terletak di Wonocatur, Banguntapan, Bantul. Selain itu, ada juga dua bidang lahan total seluas 9.113 meter persegi di Wukirsari, Cangkringan, Sleman.
"Selama proses hukum belum berkekuatan hukum tetap, pemanfaatan lahan harus seizin penyidik," kata Kasi Penerangan Hukum Kejati DIY Purwanta Sudarmaji, Kamis (2/10/2014).
Sebelum disita, lahan di Wonocatur disewakan oleh Yayasan Fapertagama kepada pihak ketiga. Total luas lahan yang disewa dan dipakai sebagai lokasi pembibitan tanaman jati oleh pihak ketiga seluas 1,3 hektare. Sedangkan lahan di Wukirsari yang berada tepat di pinggir aliran Kali Opak sebelumnya dipakai sebagai lahan pertanian namun kini kondisinya tak terawat dan ditumbuhi tanaman liar.
Kejati mengisyaratkan lahan yang disita sebagai barang bukti kasus dugaan korupsi alih fungsi lahan milik UGM oleh Yayasan Fapertagama nantinya akan dikembalikan kepada pihak universitas. Namun hal itu masih menunggu putusan hukum tetap dari pengadilan.
"Apakah nanti lahan itu akan dikembalikan ke universitas atau tidak, kami menunggu putusan pengadilan," jelas Purwanta.
Kasus alih fungsi lahan UGM ini menyeret nama Ketua Majelis Guru Besar UGM Profesor Susamto sebagai tersangka. Peran dia dalam kasus ini adalah selaku Ketua Yayasan Pembina Pertanian (saat ini bernama Yayasan Fapertagama). Yayasan Fapertagama adalah pihak yang mengklaim kepemilikan lahan milik UGM dan memanfaatkannya untuk kepentingan internal yayasan. Bahkan, sertifikat tanah diatasnamakan yayasan.
Selain Susamto, penyidik juga menetapkan Triyanto, Wakil Dekan III Fakultas Pertanian Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia UGM serta Toekidjo dan Ken Suratiyah sebagai tersangka. Keempatnya kini masih aktif mengajar sebagai dosen Fakultas Pertanian UGM.
Akibat perbuatan empat dosen tersebut, negara mengalami kerugian keuangan sekitar Rp11,5 miliar berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan DIY.
Lahan seluas 29.875 meter persegi yang disita dalam kasus dugaan korupsi alih fungsi lahan itu terletak di Wonocatur, Banguntapan, Bantul. Selain itu, ada juga dua bidang lahan total seluas 9.113 meter persegi di Wukirsari, Cangkringan, Sleman.
"Selama proses hukum belum berkekuatan hukum tetap, pemanfaatan lahan harus seizin penyidik," kata Kasi Penerangan Hukum Kejati DIY Purwanta Sudarmaji, Kamis (2/10/2014).
Sebelum disita, lahan di Wonocatur disewakan oleh Yayasan Fapertagama kepada pihak ketiga. Total luas lahan yang disewa dan dipakai sebagai lokasi pembibitan tanaman jati oleh pihak ketiga seluas 1,3 hektare. Sedangkan lahan di Wukirsari yang berada tepat di pinggir aliran Kali Opak sebelumnya dipakai sebagai lahan pertanian namun kini kondisinya tak terawat dan ditumbuhi tanaman liar.
Kejati mengisyaratkan lahan yang disita sebagai barang bukti kasus dugaan korupsi alih fungsi lahan milik UGM oleh Yayasan Fapertagama nantinya akan dikembalikan kepada pihak universitas. Namun hal itu masih menunggu putusan hukum tetap dari pengadilan.
"Apakah nanti lahan itu akan dikembalikan ke universitas atau tidak, kami menunggu putusan pengadilan," jelas Purwanta.
Kasus alih fungsi lahan UGM ini menyeret nama Ketua Majelis Guru Besar UGM Profesor Susamto sebagai tersangka. Peran dia dalam kasus ini adalah selaku Ketua Yayasan Pembina Pertanian (saat ini bernama Yayasan Fapertagama). Yayasan Fapertagama adalah pihak yang mengklaim kepemilikan lahan milik UGM dan memanfaatkannya untuk kepentingan internal yayasan. Bahkan, sertifikat tanah diatasnamakan yayasan.
Selain Susamto, penyidik juga menetapkan Triyanto, Wakil Dekan III Fakultas Pertanian Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia UGM serta Toekidjo dan Ken Suratiyah sebagai tersangka. Keempatnya kini masih aktif mengajar sebagai dosen Fakultas Pertanian UGM.
Akibat perbuatan empat dosen tersebut, negara mengalami kerugian keuangan sekitar Rp11,5 miliar berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan DIY.
(zik)