Penyakit Kusta dan Mitos Kutukan Masyarakat
A
A
A
SURABAYA - Penyakit kusta atau dalam bahasa medis morbous hansen, merupakan salah satu penyakit yang sangat ditakuti masyarakat. Bahkan mitos dalam masyarakat menyebutkan, orang-orang yang menderita penyakit ini terkena kutukan.
Kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri mikobakterium leprae. Penderita penyakit ini sangat berbahaya, jika tidak mendapat penanganan cepat, maka sendi-sendi organ tubuhnya akan copot atau dalam bahasa Jawa "mreteli".
Di tengah masyarakat, penderita penyakit ini kerap dijauhi dan dikucilkan dari pergaulan. Sehingga, penderita mengalami beban psikologi, dan fisik, karena mitos yang berkembang di masyarakat.
Muhammad Eka Mustofa, warga Dusun Singkal Anyar, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk, merupakan salah satu penderita penyakit ini. Eka, begitu sapaannya, menjalani penyembuhan di Rumah Sakit (RS) Kusta di Kediri, Jawa Timur.
Saat ditemui wartawan, Eka sedang menghangatkan kakinya menggunakan bohlam lampu 20 watt. Eka sendiri diketahui menderita kusta sejak tahun 2011 silam.
Sesekali, pria berusia 21 tahun ini memijati kakinya sendiri. Dengan mengenakan seragam khas pasien kusta di Rumah Sakit Kusta, Eka tanpa malu-malu meladeni pertanyaaan sejumlah wartawan.
"Tahun 2011 lalu saya dirawat di sini (Rumah Sakit Kusta)," tutur Eka, saat ditemui di ruang perawatan Penderita Kusta, beberapa waktu lalu.
Sebelum berada di Rumah Sakit Kusta, Eka memeriksakan kondisi bercak merah di sekujur tubuhnya. Oleh pihak Puskesmas setempat, kemudian dia dirujuk untuk berobat di RS Kusta, Kediri.
Eka mengaku, sempat syok divonis sebagai penderita kusta. Ditambah lagi, dirinya kerap menerima ejekkan dari teman-teman sekolah dan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Namun, ketika berada di rumah sakit itu, harapan untuk sembuh kembali menyinari hidup Eka.
Di tempat ini, selain dapat melakukan penyembuhan, Eka mengaku senang dapat bergaul dengan beberapa rekannya. Tercatat, ada 335 pasien penderita kusta yang dirawat di rumah sakit ini. Selain dirawat, mereka juga memiliki kesibukan membuat hasta karya untuk dijual.
Namun, pihak rumah sakit mengaku masih kesulitan untuk menjual produk-produk dari penderita kusta seiring dengan mitos yang berkembang di masyarakat bahwa penyakit kusta ini berbahaya, dan menular.
Namun, mitos tersebut ditepis oleh pihak rumah sakit. Salah satunya oleh Dr Slamet Riyanto. Menurutnya, bersentuhan langsung dengan penderita kusta tidak menular. Buktinya, sudah lima tahun bekerja di RS Kusta, dia selalu dengan cekatan memeriksa setiap sendi-sendi penderita tanpa menggunakan sarung tangan dan masker.
"Penyakit ini memang menular, tapi kecil kemungkinannya. Memang penyebabnya adalah bakteri," kata Dokter Slamet, sembari memeriksa sendi-sendi salah satu pasien yang sedang menjalani perawatan.
Mitos bahwa kusta adalah penyakit kutukan pun dibantah oleh Direktur RS Kusta Kediri Dr Nur Siti Maimunah. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini sudah puluhan tahun berada di RS Kusta Kediri.
Bahkan, perempuan berjilbab ini mengaku prihatin dengan stigma masyarakat terhadap mitos penyakit kutukan. Akibatnya, penderita kusta dianggap sebagai biang masalah dan harus dikucilkan dari pergaulan. Kata Nur, penyakit ini dapat disembuhkan dengan deteksi dini Kusta.
"Bakteri penyebab Kusta ini satu Family dengan penyebab TBC, sehingga dapat disembuhkan. Inilah yang harus diberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak menganggap bahwa kusta adalah penyakit kutukan," kata Dokter Nur.
Dia menjelaskan, bakteri mikobakterium leprae menyerang saraf tepi. Titik-titik yang diserang bakteri ini akan mati rasa. Jika sudah parah akan menimbulkan kecacatan bagi penderitanya. Solusi pencegahannya adalah memotong mata rantai penularan penyakit ini.
"Kami juga berusaha memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait penyakit kusta. Rumah sakit bersifat pasif, namun demikian ada tim untuk memberikan edukasi kepada masyarakat," jelasnya.
Untuk pasien penderita kusta yang tidak terlalu parah, pihak rumah sakit mengkaryakan mereka untuk pembuatan kaki palsu. Kaki palsu ini diperuntukkan bagi mereka yang terpaksa harus diamputasi gara-gara penyakit ini.
Selain itu, dengan beraktivitas, maka penderita kusta akan memunculkan rasa percaya diri. Dan ketika sembuh, tidak ada rasa minder atau tidak percaya diri.
Sementara di Jawa Timur, sampai hari ini tercatat ada 4.293 penderita kusta dari berbagai tingkat keparahan. Dari jumlah itu, penderita yang sampai cacat seumur hidup tercatat sebanyak 184 penderita.
Sementara penderita usia anak, tercatat sebanyak 177 penderita. Dari 4.293 penderita Kusta di Jatim, sebanyak 3.054 atau 71 persen penderitanya berada di wilayah Madura, Tapal Kuda, dan Pantura.
"Belum ada penelitian medis yang tegas menyebutkan mengapa kusta tumbuh subur di daerah daerah itu," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jatim Harsono.
Prevelensi yang terjadi adalah 1:10.000, artinya, ketika ada satu orang penderita ditemukan, maka ada 10 ribu orang yang menjadi target pemeriksaan.
Prevelensi ini diterapkan oleh Tim dari Dinkes Jatim, yakni dengan cara memeriksa radius 200 meter rumah dari tempat yang ditemukan oleh penderita. Teknis pencegahan lain adalah sasaran anak-anak. Jangan sampai, mereka yang masih usia produktif ini cacat, karena penyakit kusta akibat dari terlambatnya penanganan medis.
"Kusta bisa diobati dan bisa sembuh. Bukan penyakit kutukan seperti mitos yang berkembang di masyarakat," tandas Harsono.
Kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri mikobakterium leprae. Penderita penyakit ini sangat berbahaya, jika tidak mendapat penanganan cepat, maka sendi-sendi organ tubuhnya akan copot atau dalam bahasa Jawa "mreteli".
Di tengah masyarakat, penderita penyakit ini kerap dijauhi dan dikucilkan dari pergaulan. Sehingga, penderita mengalami beban psikologi, dan fisik, karena mitos yang berkembang di masyarakat.
Muhammad Eka Mustofa, warga Dusun Singkal Anyar, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk, merupakan salah satu penderita penyakit ini. Eka, begitu sapaannya, menjalani penyembuhan di Rumah Sakit (RS) Kusta di Kediri, Jawa Timur.
Saat ditemui wartawan, Eka sedang menghangatkan kakinya menggunakan bohlam lampu 20 watt. Eka sendiri diketahui menderita kusta sejak tahun 2011 silam.
Sesekali, pria berusia 21 tahun ini memijati kakinya sendiri. Dengan mengenakan seragam khas pasien kusta di Rumah Sakit Kusta, Eka tanpa malu-malu meladeni pertanyaaan sejumlah wartawan.
"Tahun 2011 lalu saya dirawat di sini (Rumah Sakit Kusta)," tutur Eka, saat ditemui di ruang perawatan Penderita Kusta, beberapa waktu lalu.
Sebelum berada di Rumah Sakit Kusta, Eka memeriksakan kondisi bercak merah di sekujur tubuhnya. Oleh pihak Puskesmas setempat, kemudian dia dirujuk untuk berobat di RS Kusta, Kediri.
Eka mengaku, sempat syok divonis sebagai penderita kusta. Ditambah lagi, dirinya kerap menerima ejekkan dari teman-teman sekolah dan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Namun, ketika berada di rumah sakit itu, harapan untuk sembuh kembali menyinari hidup Eka.
Di tempat ini, selain dapat melakukan penyembuhan, Eka mengaku senang dapat bergaul dengan beberapa rekannya. Tercatat, ada 335 pasien penderita kusta yang dirawat di rumah sakit ini. Selain dirawat, mereka juga memiliki kesibukan membuat hasta karya untuk dijual.
Namun, pihak rumah sakit mengaku masih kesulitan untuk menjual produk-produk dari penderita kusta seiring dengan mitos yang berkembang di masyarakat bahwa penyakit kusta ini berbahaya, dan menular.
Namun, mitos tersebut ditepis oleh pihak rumah sakit. Salah satunya oleh Dr Slamet Riyanto. Menurutnya, bersentuhan langsung dengan penderita kusta tidak menular. Buktinya, sudah lima tahun bekerja di RS Kusta, dia selalu dengan cekatan memeriksa setiap sendi-sendi penderita tanpa menggunakan sarung tangan dan masker.
"Penyakit ini memang menular, tapi kecil kemungkinannya. Memang penyebabnya adalah bakteri," kata Dokter Slamet, sembari memeriksa sendi-sendi salah satu pasien yang sedang menjalani perawatan.
Mitos bahwa kusta adalah penyakit kutukan pun dibantah oleh Direktur RS Kusta Kediri Dr Nur Siti Maimunah. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini sudah puluhan tahun berada di RS Kusta Kediri.
Bahkan, perempuan berjilbab ini mengaku prihatin dengan stigma masyarakat terhadap mitos penyakit kutukan. Akibatnya, penderita kusta dianggap sebagai biang masalah dan harus dikucilkan dari pergaulan. Kata Nur, penyakit ini dapat disembuhkan dengan deteksi dini Kusta.
"Bakteri penyebab Kusta ini satu Family dengan penyebab TBC, sehingga dapat disembuhkan. Inilah yang harus diberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak menganggap bahwa kusta adalah penyakit kutukan," kata Dokter Nur.
Dia menjelaskan, bakteri mikobakterium leprae menyerang saraf tepi. Titik-titik yang diserang bakteri ini akan mati rasa. Jika sudah parah akan menimbulkan kecacatan bagi penderitanya. Solusi pencegahannya adalah memotong mata rantai penularan penyakit ini.
"Kami juga berusaha memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait penyakit kusta. Rumah sakit bersifat pasif, namun demikian ada tim untuk memberikan edukasi kepada masyarakat," jelasnya.
Untuk pasien penderita kusta yang tidak terlalu parah, pihak rumah sakit mengkaryakan mereka untuk pembuatan kaki palsu. Kaki palsu ini diperuntukkan bagi mereka yang terpaksa harus diamputasi gara-gara penyakit ini.
Selain itu, dengan beraktivitas, maka penderita kusta akan memunculkan rasa percaya diri. Dan ketika sembuh, tidak ada rasa minder atau tidak percaya diri.
Sementara di Jawa Timur, sampai hari ini tercatat ada 4.293 penderita kusta dari berbagai tingkat keparahan. Dari jumlah itu, penderita yang sampai cacat seumur hidup tercatat sebanyak 184 penderita.
Sementara penderita usia anak, tercatat sebanyak 177 penderita. Dari 4.293 penderita Kusta di Jatim, sebanyak 3.054 atau 71 persen penderitanya berada di wilayah Madura, Tapal Kuda, dan Pantura.
"Belum ada penelitian medis yang tegas menyebutkan mengapa kusta tumbuh subur di daerah daerah itu," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jatim Harsono.
Prevelensi yang terjadi adalah 1:10.000, artinya, ketika ada satu orang penderita ditemukan, maka ada 10 ribu orang yang menjadi target pemeriksaan.
Prevelensi ini diterapkan oleh Tim dari Dinkes Jatim, yakni dengan cara memeriksa radius 200 meter rumah dari tempat yang ditemukan oleh penderita. Teknis pencegahan lain adalah sasaran anak-anak. Jangan sampai, mereka yang masih usia produktif ini cacat, karena penyakit kusta akibat dari terlambatnya penanganan medis.
"Kusta bisa diobati dan bisa sembuh. Bukan penyakit kutukan seperti mitos yang berkembang di masyarakat," tandas Harsono.
(san)