Soekarno Jual Mobil untuk Biayai Patung Pancoran
A
A
A
Soekarno jual mobil untuk membiayai pembuatan Patung Pancoran. Pasalnya, saat itu anggaran negara tidak mencukupi pembuatan patung tersebut.
Untuk menutupi tambahan dana pembuatan patung tersebut, Presiden RI pertama harus merelakan mobilnya.
Patung Pancoran dengan nama lain Monumen Patung Dirgantara merupakan salah satu patung bersejarah yang terdapat di Jakarta.
Bagi Anda yang berada di luar Jakarta, mungkin tidak begitu mengetahui letak patung perak yang tingginya 11 meter ini.
Patung yang dibuat pada 1964-1965 ini berada di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Tepat di depan kompleks perkantoran Wisma Aldiron Dirgantara yang dulunya merupakan Markas Besar TNI Angkatan Udara.
Posisinya strategis karena merupakan pintu gerbang menuju Jakarta bagi para pendatang yang baru saja mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma.
Patung ini dirancang Edhi Sunarso sekitar tahun 1964-1965 dengan bantuan dari Keluarga Arca Yogyakarta. Sedangkan proses pengecorannya dilaksanakan oleh Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono.
Berat patung yang terbuat dari perunggu ini mencapai 11 Ton. Sementara tinggi patung itu 11 Meter, dan kaki patung mencapai 27 Meter.
Proses pembangunannya dilakukan oleh PN Hutama Karya dengan IR. Sutami sebagai arsitek pelaksana.
Pengerjaannya sempat mengalami keterlambatan karena peristiwa Gerakan 30 September PKI di tahun 1965.
Pembuatan patung ini atas dasar permintaan Soekarno atau dikenal juga sebagai Bung Karno untuk menampilkan keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara.
Penekanan dari desain patung tersebut berarti bahwa untuk mencapai keperkasaan, bangsa Indonesia mengandalkan sifat-sifat Jujur, Berani dan Bersemangat. Total biaya pembuatan Patung Dirgantara atau Patung Pancoran pada tahun 1964 adalah 12 juta rupiah.
Biaya awal ditanggung oleh Edhi Sunarso, sang pemahat. Bung Karno kemudian juga harus menjual mobil pribadinya pada waktu itu. Sebab pemerintah sendiri hanya mampu mengeluarkan anggaran Rp5 juta rupiah.
Sisanya, sebesar Rp6 juta rupiah, menjadi hutang pemerintah yang sampai saat ini tidak konon tak pernah terbayar.
Manusia besar dengan gagasan besar. Itu sebuah julukan lain buat Bung Karno. Ciri-ciri manusia besar, terletak pada peninggalannya yang kekal.
Dalam beberapa hal, Bung Karno memenuhi kriteria itu. Ajarannya ideologi Pancasila, serta semangat kebangsaan, setidaknya masih bisa kita rasakan hingga detik ini. Sekalipun dia telah dimakamkan tiga dasawarsa lamanya. Namum jejak-jejak peninggalan dan karya besar Bung Karno bergeming dari gerusan zaman.
Selain ide dan gagasan berupa isme, ajaran, spirit, dan nilai-nilai sosial dan politik, Bung Karno juga mewariskan monumen-monumen. Dia menggagas pembangunan Masjid Istiqlal yang ia targetkan melebihi kekokohan candi borobudur.
Bung Karno merancang Tugu Selamat Datang di Bundaran HI yang menjadi icon ibukota. dia juga mendirikan tugu pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng. Ia juga mengobarkan semangat bangsa melalui Patung Dirgantara di Pancoran.
Nah, yang disebut terakhir, adalah focus Carita Pagi kali ini. Boleh dibilang, itulah peninggalan terakhir Bung Karno. Digagas tahun 1965, saat matahari kekuasaannya sudah condong ke barat.
Adalah pematung Edhi Sunarso yang mendapat kehormatan mengerjakan pembuatan patung itu. Edhi adalah pematung kesayangan Bung Karno. dia pula yang ditunjuk membuat patung Selamat Datang di Bundaran HI.
Edhi ingat persis, ketika menerima instruksi Bung Karno. Hatinya sempat ragu-ragu, bimbang, dan galau. Sebagai seniman patung, dia belum pernah sama sekali membuat patung dengan bahan perunggu. Sementara perintah Bung Karno jelas, menghendaki patung dengan bahan perunggu.
Saat raut wajahnya sulit menyembunyikan perasaan hatinya, Bung Karno segera paham. Maka, berkatalah Bung Karno kepada Edhi. “Hey Ed, kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara tidak? Apa perlu saya menyuruh seniman luar untuk mengerjakan monumen dalam negeri sendiri? Saya tidak mau kau coba-coba, kau harus sanggup,” tegas Bung Karno saat itu.
Waktu satu minggu yang diberikan Bung Karno, dijawab tuntas oleh Edhi dengan mengumpulkan teman-teman pematung di Yogya, dan mewujudkan harapan Bung Karno dalam replika yang terbuat dari gypsum.
Gaya melambaikan tangan laiknya orang menyambut kedatangan sahabat, diperagakan langsung oleh Bung Karno. Gaya itu pula yang kemudian menjadi model pada patung Tugu Selamat Datang di bundaran HI.
Proyek pembuatan patung ini sempat mangkrak, alias terhenti. Peristiwa 30 September 1965, merupakan pemicu terancam gagalnya pembuatan patung itu.
Bung Karno menghadapi hantaman dari dalam negeri. Dia didemo nyaris tiap hari. Klimaksnya adalah penolakan MPRS atas pertanggungjawaban Bung Karno, terhadap peristiwa pemberontakan PKI tadi. Buntutnya sama-sama kita ketahui, Bung Karno dilengserkan.
Nasib patung dirgantara yang digagas Bung Karno sebagai simbol semangat bangsa, terombang-ambing. Meski begitu, Bung Karno bukan manusia yang meninggalkan sejarah. Bung Karno tidak pernah mengajarkan sikap yang kurang bertanggung jawab.
Karena itu, sekalipun nasibnya sendiri di ujung tanduk. Posisinya sebagai presiden terancam. Tekanan dalam dan luar negeri menghimpit dirinya, Bung Karno tetap komit.
Dia menyempatkan diri untuk memantau perkembangan proyek patung dirgantara tadi.
Kepada Bung Karno, dengan nada prihatin, Edhi melaporkan kemandegan proyek tadi. Sekalipun pedestial atau tiang penyangga patung sudah selesai, tapi pekerjaan terancam mandeg, karena pemerintahan transisi tidak menggubrisnya.
Di sisi lain, dalam status tahanan politik, dalam kondisi badan yang makin ringkih digerogoti sakit ginjalnya, Bung Karno keukeuh menuntaskan proyek terakhirnya.
Edhi sendiri tak sanggup meneruskan pekerjaan itu, mengingat dirinya pun sudah dililit utang untuk pekerjaan itu. Maklumlah, semua proyek pembuatan monumen yang ia kerjakan atas perintah Bung Karno, tidak menggunakan semacam dokumen perintah resmi negara. Murni soal kepercayaan.
Atas kondisi tersebut, Bung Karno lantas memanggil Edhi dan memberinya uang Rp1,7 juta. Belakangan Edhi baru tahu, uang itu hasil penjualan mobil pribadi Bung Karno. Dengan uang itu, sekalipun belum cukup menutup semua biaya, Edhi langsung menuntaskan pengerjaan patung Dirgantara.
Suatu ketika di pagi yang cerah, di hari Minggu tanggal 21 Juni 1970, Edhie yang sedang berada di Puncak Tugu Pancoran melihat kebawa yang tiba-tiba melintas iring-iringan mobil jenazah.
Salah seorang pekerja di bawah sontak memberi tahu Edhi, bahwa yang barusan lewat adalah iring-iringan mobil jenazah Bung Karno, sang penggagas Tugu Dirgantara dan Proklamator tercinta.
Edhi pun langsung turun dari puncak Tugu Dirgantara, dan menyusul ke Blitar, memberi penghormatan terakhir kepada Putra Sang Fajar.
Belum usai duka berlalu, Edhi bersemangat menuntaskan amanat terakhir Bung Karno. Sekalipun pekerjaan itu meninggalkan utang negara. Atau sekalipun patung itu tidak pernah diresmikan oleh pemerintahan Orba.
Namun Tugu Dirgantara tegar berdiri, menggelorakan semangat, mengekspresikan wajah Gatotkaca. Wajah perkasa yang menyimpan duka di balik pembuatannya.
Sumber: www.anehdidunia.com dan beberapa sumber lainnya.
Untuk menutupi tambahan dana pembuatan patung tersebut, Presiden RI pertama harus merelakan mobilnya.
Patung Pancoran dengan nama lain Monumen Patung Dirgantara merupakan salah satu patung bersejarah yang terdapat di Jakarta.
Bagi Anda yang berada di luar Jakarta, mungkin tidak begitu mengetahui letak patung perak yang tingginya 11 meter ini.
Patung yang dibuat pada 1964-1965 ini berada di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Tepat di depan kompleks perkantoran Wisma Aldiron Dirgantara yang dulunya merupakan Markas Besar TNI Angkatan Udara.
Posisinya strategis karena merupakan pintu gerbang menuju Jakarta bagi para pendatang yang baru saja mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma.
Patung ini dirancang Edhi Sunarso sekitar tahun 1964-1965 dengan bantuan dari Keluarga Arca Yogyakarta. Sedangkan proses pengecorannya dilaksanakan oleh Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono.
Berat patung yang terbuat dari perunggu ini mencapai 11 Ton. Sementara tinggi patung itu 11 Meter, dan kaki patung mencapai 27 Meter.
Proses pembangunannya dilakukan oleh PN Hutama Karya dengan IR. Sutami sebagai arsitek pelaksana.
Pengerjaannya sempat mengalami keterlambatan karena peristiwa Gerakan 30 September PKI di tahun 1965.
Pembuatan patung ini atas dasar permintaan Soekarno atau dikenal juga sebagai Bung Karno untuk menampilkan keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara.
Penekanan dari desain patung tersebut berarti bahwa untuk mencapai keperkasaan, bangsa Indonesia mengandalkan sifat-sifat Jujur, Berani dan Bersemangat. Total biaya pembuatan Patung Dirgantara atau Patung Pancoran pada tahun 1964 adalah 12 juta rupiah.
Biaya awal ditanggung oleh Edhi Sunarso, sang pemahat. Bung Karno kemudian juga harus menjual mobil pribadinya pada waktu itu. Sebab pemerintah sendiri hanya mampu mengeluarkan anggaran Rp5 juta rupiah.
Sisanya, sebesar Rp6 juta rupiah, menjadi hutang pemerintah yang sampai saat ini tidak konon tak pernah terbayar.
Manusia besar dengan gagasan besar. Itu sebuah julukan lain buat Bung Karno. Ciri-ciri manusia besar, terletak pada peninggalannya yang kekal.
Dalam beberapa hal, Bung Karno memenuhi kriteria itu. Ajarannya ideologi Pancasila, serta semangat kebangsaan, setidaknya masih bisa kita rasakan hingga detik ini. Sekalipun dia telah dimakamkan tiga dasawarsa lamanya. Namum jejak-jejak peninggalan dan karya besar Bung Karno bergeming dari gerusan zaman.
Selain ide dan gagasan berupa isme, ajaran, spirit, dan nilai-nilai sosial dan politik, Bung Karno juga mewariskan monumen-monumen. Dia menggagas pembangunan Masjid Istiqlal yang ia targetkan melebihi kekokohan candi borobudur.
Bung Karno merancang Tugu Selamat Datang di Bundaran HI yang menjadi icon ibukota. dia juga mendirikan tugu pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng. Ia juga mengobarkan semangat bangsa melalui Patung Dirgantara di Pancoran.
Nah, yang disebut terakhir, adalah focus Carita Pagi kali ini. Boleh dibilang, itulah peninggalan terakhir Bung Karno. Digagas tahun 1965, saat matahari kekuasaannya sudah condong ke barat.
Adalah pematung Edhi Sunarso yang mendapat kehormatan mengerjakan pembuatan patung itu. Edhi adalah pematung kesayangan Bung Karno. dia pula yang ditunjuk membuat patung Selamat Datang di Bundaran HI.
Edhi ingat persis, ketika menerima instruksi Bung Karno. Hatinya sempat ragu-ragu, bimbang, dan galau. Sebagai seniman patung, dia belum pernah sama sekali membuat patung dengan bahan perunggu. Sementara perintah Bung Karno jelas, menghendaki patung dengan bahan perunggu.
Saat raut wajahnya sulit menyembunyikan perasaan hatinya, Bung Karno segera paham. Maka, berkatalah Bung Karno kepada Edhi. “Hey Ed, kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara tidak? Apa perlu saya menyuruh seniman luar untuk mengerjakan monumen dalam negeri sendiri? Saya tidak mau kau coba-coba, kau harus sanggup,” tegas Bung Karno saat itu.
Waktu satu minggu yang diberikan Bung Karno, dijawab tuntas oleh Edhi dengan mengumpulkan teman-teman pematung di Yogya, dan mewujudkan harapan Bung Karno dalam replika yang terbuat dari gypsum.
Gaya melambaikan tangan laiknya orang menyambut kedatangan sahabat, diperagakan langsung oleh Bung Karno. Gaya itu pula yang kemudian menjadi model pada patung Tugu Selamat Datang di bundaran HI.
Proyek pembuatan patung ini sempat mangkrak, alias terhenti. Peristiwa 30 September 1965, merupakan pemicu terancam gagalnya pembuatan patung itu.
Bung Karno menghadapi hantaman dari dalam negeri. Dia didemo nyaris tiap hari. Klimaksnya adalah penolakan MPRS atas pertanggungjawaban Bung Karno, terhadap peristiwa pemberontakan PKI tadi. Buntutnya sama-sama kita ketahui, Bung Karno dilengserkan.
Nasib patung dirgantara yang digagas Bung Karno sebagai simbol semangat bangsa, terombang-ambing. Meski begitu, Bung Karno bukan manusia yang meninggalkan sejarah. Bung Karno tidak pernah mengajarkan sikap yang kurang bertanggung jawab.
Karena itu, sekalipun nasibnya sendiri di ujung tanduk. Posisinya sebagai presiden terancam. Tekanan dalam dan luar negeri menghimpit dirinya, Bung Karno tetap komit.
Dia menyempatkan diri untuk memantau perkembangan proyek patung dirgantara tadi.
Kepada Bung Karno, dengan nada prihatin, Edhi melaporkan kemandegan proyek tadi. Sekalipun pedestial atau tiang penyangga patung sudah selesai, tapi pekerjaan terancam mandeg, karena pemerintahan transisi tidak menggubrisnya.
Di sisi lain, dalam status tahanan politik, dalam kondisi badan yang makin ringkih digerogoti sakit ginjalnya, Bung Karno keukeuh menuntaskan proyek terakhirnya.
Edhi sendiri tak sanggup meneruskan pekerjaan itu, mengingat dirinya pun sudah dililit utang untuk pekerjaan itu. Maklumlah, semua proyek pembuatan monumen yang ia kerjakan atas perintah Bung Karno, tidak menggunakan semacam dokumen perintah resmi negara. Murni soal kepercayaan.
Atas kondisi tersebut, Bung Karno lantas memanggil Edhi dan memberinya uang Rp1,7 juta. Belakangan Edhi baru tahu, uang itu hasil penjualan mobil pribadi Bung Karno. Dengan uang itu, sekalipun belum cukup menutup semua biaya, Edhi langsung menuntaskan pengerjaan patung Dirgantara.
Suatu ketika di pagi yang cerah, di hari Minggu tanggal 21 Juni 1970, Edhie yang sedang berada di Puncak Tugu Pancoran melihat kebawa yang tiba-tiba melintas iring-iringan mobil jenazah.
Salah seorang pekerja di bawah sontak memberi tahu Edhi, bahwa yang barusan lewat adalah iring-iringan mobil jenazah Bung Karno, sang penggagas Tugu Dirgantara dan Proklamator tercinta.
Edhi pun langsung turun dari puncak Tugu Dirgantara, dan menyusul ke Blitar, memberi penghormatan terakhir kepada Putra Sang Fajar.
Belum usai duka berlalu, Edhi bersemangat menuntaskan amanat terakhir Bung Karno. Sekalipun pekerjaan itu meninggalkan utang negara. Atau sekalipun patung itu tidak pernah diresmikan oleh pemerintahan Orba.
Namun Tugu Dirgantara tegar berdiri, menggelorakan semangat, mengekspresikan wajah Gatotkaca. Wajah perkasa yang menyimpan duka di balik pembuatannya.
Sumber: www.anehdidunia.com dan beberapa sumber lainnya.
(ilo)