Menengok Ritual Sembayang Rebutan di Klenteng TITD

Kamis, 14 Agustus 2014 - 20:39 WIB
Menengok Ritual Sembayang...
Menengok Ritual Sembayang Rebutan di Klenteng TITD
A A A
TULUNGAGUNG - Sebagaimana jeruk, di setiap ritual Sembayang Rebutan umat Tri Dharma (TITD) nanas juga tak pernah ketinggalan.

Setidaknya ada lima macam buah yang menjadi sesaji wajib ritual upacara umat Klenteng Tjoe Tik Kiong Tulungagung, termasuk juga apel yang melambangkan keamanan, ketentraman dan kedamaian.

“Selain sembako, buah buah itu harus selalu ada, “tutur Wibitono selaku Wakil Ketua Umum TITD Tulungagung Kamis (14/8).

Siang itu udara begitu panas menyengat. Di atas altar panggung berkarpet merah, buah buah itu dihamparkan.

Lebih dari lima orang berkaus merah sibuk memasuk-masukan ke dalam kantong plastik, yang juga berwarna merah. Selain buah, di dalam kresek berukuran besar tersebut juga ada beras dan gula.

Di atas altar, beberapa batang dupa yang telah terbakar tampak menancap di atas permukaan pasir yang mengisi wadah logam kuningan.

Posisinya serupa anak panah yang berebut sasaran. Ritual itu dibuka dengan doa bersama yang durasinya kurang lebih dua jam.

Secara bergantian, umat bersoja ke penjuru mata angin, ke atas langit dan terakhir menunduk menghadap bumi. Posisinya menyembah dengan khusyuk.

Ya, mereka memang tengah memuja para dewa. Dewa Langit Thi Kong atau Tian Kung sebagai dewa tertinggi.

Kemudian Kwan Im, Kwan Kung atau Jendral tiga sekawan dan dua Toa Pe Kong sebagai tuan tanah. Sebagai penutup, batang dupa yang terselip di kepalan tangan ditusukkan ke dalam wadah berpasir. Aromanya yang khas sontak merebak liar.

“Bersamaan dengan upacara ini ada juga umat yang membakar uang kertas persembahyangan, replika rumah, mobil, pesawat televisi dan beragam simbol duniawi. Semuanya itu ditujukan kepada leluhur di alam sana," terangnya

Tidak jauh dari altar, puluhan orang yang juga ditunjuk sebagai panitia tampak sibuk menyambut kedatangan penerima sedekah.

Sebagian besar adalah kalangan fakir miskin. Bahkan tidak sedikit yang berpenampilan sebagai gelandangan dan peminta minta.

Mereka tidak hanya berasal dari Tulungagung. Tapi juga wilayah eks Karsidenan Kediri, termasuk Blitar dan Trenggalek.

Sebab, upacara sembayang rebutan yang berlangsung rutin setiap tahun itu selalu ditutup dengan pembagian sedekah paket sembako dan buah. “Kendati demikian banyak pula yang secara sosial terlihat berada, tapi juga ikut mengantri menerima sedekah," papar Wibitono.

Pihak klenteng memberlakukan sistem satu pintu dan pembatasan waktu. Melalui pintu yang telah ditentukan penerima sedekah ditempatkan ke dalam sebuah aula. Kemudian secara bergantian satu persatu, mereka keluar dengan langsung menerima paket sedekah.

“Kita memberi waktu dua jam. Jadi semua penerima sedekah dimasukkan ke dalam aula. Setelah dianggap cukup, kita menutup pintu pertama. Kita mengutamakan para manula, anak anak dan ibu ibu dulu, “jelasnya.

Ada sebanyak 4500 paket sembako yang telah disediakan pihak panitia. Jumlah tersebut, kata Wibitono selalu sama setiap tahun.

Seperti diketahui, sembayang rebutan umat TITD merupakan ritual berbasis sosial. Ritual itu bertujuan membagi kesejahteraan duniawi kepada sesama, semacam zakat mal pada umat Islam.

Wibitono mengakui ada semacam “modifikasi” terhadap tradisi sembayang rebutan. Perubahan tersebut berlangsung sekitar sembilan tahun terakhir.

Dulu, kata Wibitono, usai berdoa bersama, para penerima sedekah langsung melakukan aksi berebut.

Sesuai namanya sembayang rebutan, para penerima sedekah langsung merebutkan paket sembako yang dihamparkan di atas altar. “Tapi karena hal itu (berebut) beresiko kecelakaan, kita mengubahnya dengan antrian. Meskipun demikian namanya tetap sembayang rebutan, “jelasnya.

Wibotono menambahkan bahwa sembayang rebutan kali ini tidak seramai tahun tahun sebelumnya. “Kalau ada sisa, semua paket sembako itu biasanya kita kirim ke panti asuhan. Tidak perduli apa itu agamanya," pungkasnya.

Sementara dari pantauan Sindonews di lapangan, tidak sedikit warga miskin yang tidak kebagian sembako. Mereka terpaksa antri berjubal di luar pagar klentheng.

“Saya jauh jauh datang dari Kediri. Setelah sampai di lokasi ternyata panitia mengumumkan sembakonya sudah habis, “tutur Siti Munaroh warga Kabupaten Kediri.
(ilo)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1303 seconds (0.1#10.140)