Tradisi Lebaran Ketupat Trenggalek Mulai Luntur

Senin, 04 Agustus 2014 - 20:23 WIB
Tradisi Lebaran Ketupat Trenggalek Mulai Luntur
Tradisi Lebaran Ketupat Trenggalek Mulai Luntur
A A A
TRENGGALEK - Kemeriahan ritual sosial keagamaan Lebaran Ketupat di wilayah Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek mulai memudar.

Sebab jika dibanding tahun sebelumnya. Animo masyarakat yang bertandang dari berbagai daerah pada lebaran kali ini telah bekurang.

Misalnya di sepanjang jalan desa menuju Pondok Pesantren salafiyah Babul Ulum Desa Durenan. Kini nyaris tidak terlihat pemandangan arak arakan massa.

Suasana di lokasi pertama kalinya perayaan Lebaran Ketupat digelar tersebut jauh dari nuansa hingar bingar membahana. Sementara waktu telah menunjukkan pukul 10.00 Wib.

Tidak terlihat bagaimana meriahnya deru bising suara knalpot pengendara motor dan derap langkah para pejalan kaki yang berduyun-duyun bersilaturahmi ke rumah-rumah.

Di setiap ruang tamu tidak tampak orang-orang tengah menikmati suguhan ketupat sayur opor ayam dan ditutup dengan permohonan doa kebaikan kepada tuan rumah.

"Iya kalau dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kali ini memang lebih sepi," tutur Moh Yunus atau dipanggil Gus Yunus selaku juru bicara Ponpes Babul Ulum kepada wartawan Senin (4/8).

Tradisi Lebaran Ketupat dipopulerkan pertama kali oleh almarhum Kiai Mesir atau dikenal dengan nama Mbah Mesir. Kiai Mesir adalah seorang tokoh muslim asal daerah Parakan, Kota Trenggalek yang melakukan syiar agama hingga ke wilayah Kecamatan Durenan.

Di Desa Durenan, tepatnya tahun 1726, kiai sepuh yang kelak melahirkan keturunan pendiri Ponpes Ploso, Jampes dan Lirboyo Kediri tersebut mendirikan Ponpes Babul Ulum.

Mbah Mesir juga mendirikan sebuah tempat tinggal untuk keluarganya mulai tahun 1827.
Bangunan berarsitektur limas di sebelah ponpes dengan empat pilar kayu jati sebagai penopang itu kini masih berdiri gagah.

Menurut Gus Yunus, Lebaran Ketupat adalah ritual perayaan hari raya seorang muslim usai melaksanakan puasa sunah selama tujuh hari di bulan Syawal.

"Awalnya adalah tradisi keluarga ponpes. Kami baru membuka pintu untuk halal bihalal setelah puasa syawal. Tradisi ini kemudian diikuti oleh masyarakat Trenggalek," terangnya.

Seperti yang terjadi sebelumnya. Orang orang yang merayakan Lebaran Ketupat tidak hanya datang dari Trenggalek. Tidak sedikit yang berasal dari wilayah eks Karsidenan Kediri, Madiun hingga Tapal Kuda.

Kendati mengakui lebih sepi, putra alm KH Moh Fudel bin Moh Mungin yang merupakan keturunan kelima dari Mbah Mesir tersebut menampik sebagai gejala lunturnya tradisi.

Selain faktor meluasnya budaya Lebaran kKetupat di 12 desa di Kabupaten Trenggalek, situasi sepi, kata Gus Yunus dikarenakan lebaran berlangsung tepat di hari efektif kerja.

"Kalau pas liburan tentu suasananya lebih meriah lagi. Buktinya Minggu (3/8) malam setelah buka puasa syawal, yang datang juga ramai sampai pukul 24.00 wib, "pungkasnya.

Mesti relatif lebih sepi, Umi Hanik, keluarga ponpes lainya mengaku permintaan akan lontong ketupat sayur tetap melimpah. Untuk acara lebaran yang berlangsung hanya sehari itu, ia telah memotong sedikitnya 20 ekor ayam.

"Itu belum termasuk daging. Kalau ketupat lontongnya saya tidak pernah menghitung berapa jumlahnya, "ujarnya.

Sementara ditemui di Ponpes Babul Ulum, Bupati Trenggalek Mulyadi Wiryono mengatakan menurunya jumlah pengunjung Lebaran Ketupat lebih disebabkan hari efektif.

"Karena memang waktunya pas hari pertama masuk kerja, "ujarnya. Mulyadi tidak sependapat dengan penilaian tradisi mulai luntur. Dengan meluasnya tradisi Lebaran Ketupat, yakni tidak hanya berlangsung di Durenan, menurutnya sebagai bukti suksesnya syiar agama Islam.

"Kedepan kita akan melakukan inovasi terkait Lebaran Ketupat ini. Misalnya dengan diselipi lomba membuat ketupat akbar dan sejenisnya. Yang terpenting bisa menarik animo warga," pungkasnya.
(ilo)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5901 seconds (0.1#10.140)