VOC dan Pembantaian Etnis di Batavia
A
A
A
VEREENIGDE Oostindische Compagnie atau VOC pertama menginjakkan kakinya di bumi Indonesia, di Pelabuhan Banten, tahun1596. Saat itu, perkumpulan dagang saudagar-saudagar Belanda ini masih mewakili para saudagar kaya di Amsterdam.
Baru pada tahun 1601 lah, mereka menggunakan nama VOC atau yang lebih dikenal dengan istilah Kompeni (diambil dari kata compagnie).
Perkembangan VOC di Indonesia melesat jauh setelah mendapat kepercayaan dari Serikat Republik Belanda yang baru diakui keberadaannya, pada tahun 1648. Mereka memiliki tentara bayaran yang sangat kuat, persenjataan yang lengkap dan modal besar.
Modal terbesar VOC paling banyak berasal dari orang-orang kaya di Amsterdam, jumlahnya mencapai 6,5 juta gulden lebih. Jumlah itu, belum termasuk sumbangan dari enam kota penting lainnya di Belanda.
Sejak pertama memiliki kantor pusat di Jayakarta yang kemudian menjadi Batavia, VOC telah memiliki peran ganda. Pertama sebagai sumber keuangan negeri Belanda, kedua sebagai lembaga politik yang mewakili sikap dan kepentingan Serikat Republik Belanda.
Pada awal kedatangannya, sama dengan penjajah lain dari seberang lautan, seperti Portugal, Spanyol, Prancis dan Inggris, VOC hanya memiliki kepentingan dagang di Indonesia. Namun lambat laun mereka ingin memiliki semua kekayaan alam negeri ini untuk dirinya sendiri.
Sudah menjadi watak negeri-negeri penjajah yang rakus dan lapar terhadap harta kekayaan, VOC dan negara-negara miskin sumber daya alam lainnya saling bersaing. Berbagai tipu daya VOC mainkan untuk bisa mengusir saingan berat mereka, yaitu Portugal dan Inggris.
Langkah yang digunakan untuk itu, pertama dengan memanfaatkan kerajaan-kerajaan setempat, kedua dengan memakai meriam. Selama satu abad lebih setelah menginjak Banten, upaya VOC mengusir kedua saingan berhasil. Dengan begitu, Kompeni menjadi penjajah satu-satunya yang menguasai kekayaan alam Indonesia.
Wilayah Indonesia pertama yang dikuasi VOC adalah Ambon. Sebelumnya, wilayah ini berada digenggaman Portugal. Namun berkat bantuan raja-raja setempat, ditambah meriam dan tentara bayaran mereka yang kuat, VOC berhasil menguasai Ambon.
Pangkalan pertama VOC di Ambon, didirikan tahun 1605. Memasuki pertengahan abad ke-17, VOC mulai menguasai usaha dagang luar negeri Indonesia, dan mengusir Portugal dan Spanyol untuk selama-lamanya dari Maluku.
Tidak lama kemudian, VOC juga berhasil menyingkirkan orang Prancis dan Inggris. Lagi-lagi, mereka memperdaya kerajaan-kerajaan Islam setempat yang tidak suka dengan negara-negara tersebut, karena mambawa misi salib. Dengan baik VOC memanfaatkan sentimen ini.
Namun begitu, masa kejayaan VOC di Indonesia tidak kekal. Sedikit demi sedikit, zaman keemasan VOC mulai sirna. Dimulai sejak tahun 1730-an, tepatnya saat Gustav Wilhelm Baron von Imhoff yang menjadi Gubernur Jenderal VOC, pada tahun 1743-1750, tetapi saat itu dia baru diangkat menjadi Gubernur Sri Langka.
Kehancuran VOC diawali oleh tingginya korupsi. Banyak pejabat VOC yang melakukan korupsi dan memperkaya diri sendiri, serta kelompoknya. Namun begitu, sebagai satu badan usaha dan dagang, peran VOC masih sangat kuat dan mengakar.
Pakar sejarah Asia Tenggara Rudiger Siebert dalam bukunya yang berjudul Berjejak di Indonesia disebutkan, pada masa runtuhnya kejayaan VOC sudah banyak pendatang dari etnis China yang berdagang di Indonesia. Umumnya mereka diuntungkan dengan kemunduran itu. Rata-rata, para pendatang asal China itu bergerak di bidang jasa.
"Bagi VOC, orang Tionghoa (hanya) bertindak sebagai perantara dan pembeli hasil bumi. Sebagai akibat pola itu, timbul saling ketergantungan yang penuh ketegangan antara kedua belah pihak," tulisnya, pada halaman ke-37.
Dilanjutkan, pada saat itu para saudagar asal China telah memiliki kekuatan yang cukup untuk membuat kesepakatan-kesepakatan dengan para raja-raja setempat. Antara orang Tionghoa dan Kompeni, secara diam-diam saling menarik dukungan ke sisi masing-masing.
Berbeda dengan orang-orang Tionghoa yang meraih keuntungan dagang dan usaha, para raja-raja setempat tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap saling dimanfaatkan oleh kedua pihak untuk meraih keuntungan masing-masing. Konflik dalam kerajaan yang tidak pernah berhenti, selalu menjadi penghalang bagi mereka untuk maju.
Hal ini sangat disadari oleh VOC dan orang-orang pendatang asal negeri tirai bambu itu. Sehingga ketika mereka berhasil menjadi kaya, para raja-raja itu dibiarkan tetap susah dan hancur oleh konflik yang terus dipanasi oleh keduanya. Kerugian sangat besar pun terus diterima raja-raja itu.
Hubungan antara VOC dan orang Tionghoa mulai memanas saat Imhoff kembali ke Batavia, pada tahun 1738. Ketika itu, jabatan Gubernur Jenderal VOC dipegang oleh Adriaan Valckenier. Sebagai akibat dari ditetapkannya aturan diskriminatif bagi orang Tionghoa.
Gubernur Valckenier yang mendukung aturan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa dan tindakan militer mendapat penolakan dari Imhoff yang moderat. Sikap ini membuat Valckenier memusuhinya.
Sebagai orang kepercayaan Amsterdam, Imhoff yang diberi kewenangan terhadap kekuatan militer dan keamanan Indonesia cukup disegani. Hingga akhirnya dia berkeras sikap dan mengeluarkan dekrit. Tentang sikap keras dan dekrit yang dikeluarkan Imhoff, tercatat dalam karya peneliti orang-orang Tionghoa di Indonesia, Yoe Sioe Liem.
Dia mengatakan, situasi saat itu sangat mengerikan bagi orang-orang Tionghoa. Mereka yang masuk ke Indonesia, khususnya Jakarta secara ilegal akan ditangkap dan dibuang ke Sailan sebagai budak.
Namun tersiar kabar bahwa orang-orang Tionghoa yang dideportasi dibuang ke tengah laut. Bahkan ada orang-orang kaya Tionghoa di Jakarta yang memiliki surat administrasi lengkap dan telah menjadi warga Jakarta yang ditangkap dan dideportasi.
Kabar-kabar tersebut dengan cepat tersebar di antara orang Tionghoa di Jakarta dan menimbulkan ketakutan yang amat sangat. Tidak mau mati konyol, orang-orang Tionghoa melakukan perlawanan. Hingga akhirnya tersiar kabar orang-orang Tionghoa akan melakukan pemberontakan.
Namun kabar akan adanya pemberontakan itu bukan isapan jempol. Pada 10 Oktober 1740, pemberontakan antikolonial dari kalangan etnis Tionghoa pecah di Jakarta. Akibat pemberontakan itu sangat fatal.
Sehari kemudian, 11 Oktober 1740, Kompeni melakukan serangan balasan. Mereka mendatangi rumah-rumah dan pemukiman-pemukiman orang Tionghoa di Jakarta. Mereka menggedor pintu rumah, memaksa masuk ke dalamnya, dan menembaki orang-orang yang ada di dalamnya.
Kemudian mereka membakar rumah-rumah itu berikut orang-orang yang ada di dalamnya. Pembantaian itu sangat sadis hingga terasa menjijikan untuk dituliskan dengan kata-kata. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sejarah pembantaian orang Tionghoa di Jakarta.
Sebagai bukti sejarah adanya pembunuhan massal itu, baiknya ditulis sedikit tentang pengalaman seorang Jerman bernama Goerg Bernhardt Schwarz yang terlibat kejadian di Jakarta pagi itu. Dia menulis laporannya dengan judul Perjalanan di Hindia Timur, dan diterbitkan di Heilbronn, pada tahun 1740. Berikut catatan Schwartz:
Pada 11 Oktober 1740 pagi, jam delapan pagi, dimulailah pembunuhan besar-besaran di kota. Pemicunya seorang kelasi yang menembak mati seorang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa lainnya marah mengenai hal itu dan ingin membalas. Akan tetapi mereka tidak berhasil.
Begitu kabar mengenai kejadian ini kepada Gubernur Valckenier dan Van Imhoff, langsung keluar perintah bebas memukul atau menembak mati semua orang-orang Tionghoa di dalam kota tanpa membeda-bedakan di antara mereka. Perintah itu langsung dilaksanakan para kelasi.
Pintu semua rumah yang dihuni orang Tionghoa didobrak. Setiap orang yang mereka lihat langsung dipukul mati. Mereka juga merampas semua barang-barang hingga habis. Namun kaum perempuan dan anak-anak kecil dibiarkan tetap hidup.
Pada pukul sembilan, Gubernur Valckenier mengirim utusan ke daerah pemukiman kaum tukang yang dihuni oleh Schwartz dan mengumumkan perintah agar semua laki-laki keluar bersama dan membunuh semua orang Tionghoa di kota. Semua orang di pemukiman itu langsung keluar rumah. Mereka terlihat sangat senang.
Supaya mendapat barang rampasan yang banyak, semua tukang-tukang itu berlomba-lomba agar menjadi yang pertama di barisan depan ketika berangkat. Pembantaian pun dimulai.
Para tukang kayu yang membawa kampak disuruh memukul pintu dan pintu jendela hingga rusak. Sedang orang-orang yang membawa senjata masuk ke dalam rumah dan membantai semua orang Tionghoa yang ada di dalamnya. Peristiwa ini dia gambarkan sangat cepat.
Demikian catatan singkat Schwartz yang terbit di Heilbronn. Dalam pembantaian itu tercatat 10.000 orang Tionghoa tewas. Sedang penduduk Batavia dari kalangan etnis saat itu berjumlah sekitar 80.000 orang. Namun begitu, tidak ada data pasti tentang total korban.
Semoga ulasan singkat cerita pagi tentang sejarah dan cikal bakal hancurnya VOC, serta perlawanan antikolonial dari etnis Tionghoa, di tahun 1740, yang kurang mendapatkan tempatnya dalam sejarah Indonesia modern dapat ditempatkan pada posisinya yang layak.
Baru pada tahun 1601 lah, mereka menggunakan nama VOC atau yang lebih dikenal dengan istilah Kompeni (diambil dari kata compagnie).
Perkembangan VOC di Indonesia melesat jauh setelah mendapat kepercayaan dari Serikat Republik Belanda yang baru diakui keberadaannya, pada tahun 1648. Mereka memiliki tentara bayaran yang sangat kuat, persenjataan yang lengkap dan modal besar.
Modal terbesar VOC paling banyak berasal dari orang-orang kaya di Amsterdam, jumlahnya mencapai 6,5 juta gulden lebih. Jumlah itu, belum termasuk sumbangan dari enam kota penting lainnya di Belanda.
Sejak pertama memiliki kantor pusat di Jayakarta yang kemudian menjadi Batavia, VOC telah memiliki peran ganda. Pertama sebagai sumber keuangan negeri Belanda, kedua sebagai lembaga politik yang mewakili sikap dan kepentingan Serikat Republik Belanda.
Pada awal kedatangannya, sama dengan penjajah lain dari seberang lautan, seperti Portugal, Spanyol, Prancis dan Inggris, VOC hanya memiliki kepentingan dagang di Indonesia. Namun lambat laun mereka ingin memiliki semua kekayaan alam negeri ini untuk dirinya sendiri.
Sudah menjadi watak negeri-negeri penjajah yang rakus dan lapar terhadap harta kekayaan, VOC dan negara-negara miskin sumber daya alam lainnya saling bersaing. Berbagai tipu daya VOC mainkan untuk bisa mengusir saingan berat mereka, yaitu Portugal dan Inggris.
Langkah yang digunakan untuk itu, pertama dengan memanfaatkan kerajaan-kerajaan setempat, kedua dengan memakai meriam. Selama satu abad lebih setelah menginjak Banten, upaya VOC mengusir kedua saingan berhasil. Dengan begitu, Kompeni menjadi penjajah satu-satunya yang menguasai kekayaan alam Indonesia.
Wilayah Indonesia pertama yang dikuasi VOC adalah Ambon. Sebelumnya, wilayah ini berada digenggaman Portugal. Namun berkat bantuan raja-raja setempat, ditambah meriam dan tentara bayaran mereka yang kuat, VOC berhasil menguasai Ambon.
Pangkalan pertama VOC di Ambon, didirikan tahun 1605. Memasuki pertengahan abad ke-17, VOC mulai menguasai usaha dagang luar negeri Indonesia, dan mengusir Portugal dan Spanyol untuk selama-lamanya dari Maluku.
Tidak lama kemudian, VOC juga berhasil menyingkirkan orang Prancis dan Inggris. Lagi-lagi, mereka memperdaya kerajaan-kerajaan Islam setempat yang tidak suka dengan negara-negara tersebut, karena mambawa misi salib. Dengan baik VOC memanfaatkan sentimen ini.
Namun begitu, masa kejayaan VOC di Indonesia tidak kekal. Sedikit demi sedikit, zaman keemasan VOC mulai sirna. Dimulai sejak tahun 1730-an, tepatnya saat Gustav Wilhelm Baron von Imhoff yang menjadi Gubernur Jenderal VOC, pada tahun 1743-1750, tetapi saat itu dia baru diangkat menjadi Gubernur Sri Langka.
Kehancuran VOC diawali oleh tingginya korupsi. Banyak pejabat VOC yang melakukan korupsi dan memperkaya diri sendiri, serta kelompoknya. Namun begitu, sebagai satu badan usaha dan dagang, peran VOC masih sangat kuat dan mengakar.
Pakar sejarah Asia Tenggara Rudiger Siebert dalam bukunya yang berjudul Berjejak di Indonesia disebutkan, pada masa runtuhnya kejayaan VOC sudah banyak pendatang dari etnis China yang berdagang di Indonesia. Umumnya mereka diuntungkan dengan kemunduran itu. Rata-rata, para pendatang asal China itu bergerak di bidang jasa.
"Bagi VOC, orang Tionghoa (hanya) bertindak sebagai perantara dan pembeli hasil bumi. Sebagai akibat pola itu, timbul saling ketergantungan yang penuh ketegangan antara kedua belah pihak," tulisnya, pada halaman ke-37.
Dilanjutkan, pada saat itu para saudagar asal China telah memiliki kekuatan yang cukup untuk membuat kesepakatan-kesepakatan dengan para raja-raja setempat. Antara orang Tionghoa dan Kompeni, secara diam-diam saling menarik dukungan ke sisi masing-masing.
Berbeda dengan orang-orang Tionghoa yang meraih keuntungan dagang dan usaha, para raja-raja setempat tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tetap saling dimanfaatkan oleh kedua pihak untuk meraih keuntungan masing-masing. Konflik dalam kerajaan yang tidak pernah berhenti, selalu menjadi penghalang bagi mereka untuk maju.
Hal ini sangat disadari oleh VOC dan orang-orang pendatang asal negeri tirai bambu itu. Sehingga ketika mereka berhasil menjadi kaya, para raja-raja itu dibiarkan tetap susah dan hancur oleh konflik yang terus dipanasi oleh keduanya. Kerugian sangat besar pun terus diterima raja-raja itu.
Hubungan antara VOC dan orang Tionghoa mulai memanas saat Imhoff kembali ke Batavia, pada tahun 1738. Ketika itu, jabatan Gubernur Jenderal VOC dipegang oleh Adriaan Valckenier. Sebagai akibat dari ditetapkannya aturan diskriminatif bagi orang Tionghoa.
Gubernur Valckenier yang mendukung aturan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa dan tindakan militer mendapat penolakan dari Imhoff yang moderat. Sikap ini membuat Valckenier memusuhinya.
Sebagai orang kepercayaan Amsterdam, Imhoff yang diberi kewenangan terhadap kekuatan militer dan keamanan Indonesia cukup disegani. Hingga akhirnya dia berkeras sikap dan mengeluarkan dekrit. Tentang sikap keras dan dekrit yang dikeluarkan Imhoff, tercatat dalam karya peneliti orang-orang Tionghoa di Indonesia, Yoe Sioe Liem.
Dia mengatakan, situasi saat itu sangat mengerikan bagi orang-orang Tionghoa. Mereka yang masuk ke Indonesia, khususnya Jakarta secara ilegal akan ditangkap dan dibuang ke Sailan sebagai budak.
Namun tersiar kabar bahwa orang-orang Tionghoa yang dideportasi dibuang ke tengah laut. Bahkan ada orang-orang kaya Tionghoa di Jakarta yang memiliki surat administrasi lengkap dan telah menjadi warga Jakarta yang ditangkap dan dideportasi.
Kabar-kabar tersebut dengan cepat tersebar di antara orang Tionghoa di Jakarta dan menimbulkan ketakutan yang amat sangat. Tidak mau mati konyol, orang-orang Tionghoa melakukan perlawanan. Hingga akhirnya tersiar kabar orang-orang Tionghoa akan melakukan pemberontakan.
Namun kabar akan adanya pemberontakan itu bukan isapan jempol. Pada 10 Oktober 1740, pemberontakan antikolonial dari kalangan etnis Tionghoa pecah di Jakarta. Akibat pemberontakan itu sangat fatal.
Sehari kemudian, 11 Oktober 1740, Kompeni melakukan serangan balasan. Mereka mendatangi rumah-rumah dan pemukiman-pemukiman orang Tionghoa di Jakarta. Mereka menggedor pintu rumah, memaksa masuk ke dalamnya, dan menembaki orang-orang yang ada di dalamnya.
Kemudian mereka membakar rumah-rumah itu berikut orang-orang yang ada di dalamnya. Pembantaian itu sangat sadis hingga terasa menjijikan untuk dituliskan dengan kata-kata. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sejarah pembantaian orang Tionghoa di Jakarta.
Sebagai bukti sejarah adanya pembunuhan massal itu, baiknya ditulis sedikit tentang pengalaman seorang Jerman bernama Goerg Bernhardt Schwarz yang terlibat kejadian di Jakarta pagi itu. Dia menulis laporannya dengan judul Perjalanan di Hindia Timur, dan diterbitkan di Heilbronn, pada tahun 1740. Berikut catatan Schwartz:
Pada 11 Oktober 1740 pagi, jam delapan pagi, dimulailah pembunuhan besar-besaran di kota. Pemicunya seorang kelasi yang menembak mati seorang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa lainnya marah mengenai hal itu dan ingin membalas. Akan tetapi mereka tidak berhasil.
Begitu kabar mengenai kejadian ini kepada Gubernur Valckenier dan Van Imhoff, langsung keluar perintah bebas memukul atau menembak mati semua orang-orang Tionghoa di dalam kota tanpa membeda-bedakan di antara mereka. Perintah itu langsung dilaksanakan para kelasi.
Pintu semua rumah yang dihuni orang Tionghoa didobrak. Setiap orang yang mereka lihat langsung dipukul mati. Mereka juga merampas semua barang-barang hingga habis. Namun kaum perempuan dan anak-anak kecil dibiarkan tetap hidup.
Pada pukul sembilan, Gubernur Valckenier mengirim utusan ke daerah pemukiman kaum tukang yang dihuni oleh Schwartz dan mengumumkan perintah agar semua laki-laki keluar bersama dan membunuh semua orang Tionghoa di kota. Semua orang di pemukiman itu langsung keluar rumah. Mereka terlihat sangat senang.
Supaya mendapat barang rampasan yang banyak, semua tukang-tukang itu berlomba-lomba agar menjadi yang pertama di barisan depan ketika berangkat. Pembantaian pun dimulai.
Para tukang kayu yang membawa kampak disuruh memukul pintu dan pintu jendela hingga rusak. Sedang orang-orang yang membawa senjata masuk ke dalam rumah dan membantai semua orang Tionghoa yang ada di dalamnya. Peristiwa ini dia gambarkan sangat cepat.
Demikian catatan singkat Schwartz yang terbit di Heilbronn. Dalam pembantaian itu tercatat 10.000 orang Tionghoa tewas. Sedang penduduk Batavia dari kalangan etnis saat itu berjumlah sekitar 80.000 orang. Namun begitu, tidak ada data pasti tentang total korban.
Semoga ulasan singkat cerita pagi tentang sejarah dan cikal bakal hancurnya VOC, serta perlawanan antikolonial dari etnis Tionghoa, di tahun 1740, yang kurang mendapatkan tempatnya dalam sejarah Indonesia modern dapat ditempatkan pada posisinya yang layak.
(san)