Kisah pilu bocah penderita gizi buruk & kanker hati
A
A
A
Sindonews.com - Kondisi tak beruntung menimpa Nengsih, bocah berusia 12 tahun asal Kampung Sirnajaya RT02 RW06, Desa Sirnajaya, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut. Selain menderita gizi buruk, Nengsih pun didiagnosa menderita penyakit kanker hati sejak usia tujuh tahun.
Kemalangan yang dialami putri pasangan Herman (55) dan Entin (45) ini setidaknya telah terjadi sejak dia dilahirkan. Menurut ibunya, Entin, Nengsih dilahirkan sebagai bayi yang menderita gizi buruk.
“Saat baru lahir, tubuhnya kecil sekali. Berat badannya kurang. Saya tidak tahu kalau anak saya menderita gizi buruk,” kata Entin saat ditemui di rumahnya, Rabu 19 Februari 2014.
Meski memiliki kondisi yang sedemikian rupa memprihatinkan, Entin tetap berusaha membesarkan Nengsih. Keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan tidak menyurutkan upaya Entin mengurus Nengsih.
“Bagaimana pun juga, Nengsih anak kami. Meski dari kalangan tidak berada, kami tetap berusaha mengurusnya dengan layak,” tuturnya.
Nengsih tinggal di sebuah rumah panggung bilik kecil yang berukuran tidak lebih dari 30x3 meter. Di dalam rumah itu Nengsih tinggal bersama kedua orangtuanya, juga dengan neneknya, Mak Ukar (70) dan sepupunya, Ai Rosita (16).
“Yang bekerja di rumah kami hanya ayahnya Entin, Pak Herman. Dia adalah seorang tunadaksa yang bekerja dengan cara mengamen dan menjadi pengemis. Penghasilannya hanya Rp10 ribu per hari. Saya tidak bisa ikut bekerja karena harus mengurus Nengsih,” ujarnya.
Nengsih merupakan anak ketiga di keluarga ini. Tidak seperti Nengsih, kedua kakaknya yang lain kini sudah tidak tinggal serumah karena telah berkeluarga.
Sejak usia enam tahun, Entin sempat memasukan Nengsih ke SD terdekat di kampung mereka. Namun sayang, keadaan Nengsih yang masih menderita gizi buruk membuat dia harus menghentikan aktivitasnya belajar di bangku Kelas I.
“Nengsih hanya sekolah satu minggu saja. Anak saya harus berhenti sekolah karena kondisi fisiknya lemah dan tidak kuat. Dia jatuh sakit setelah itu,” ungkapnya.
Sejak saat itu, perut Nengsih membuncit. Setiap hari ukurannya semakin membesar. “Namun Nengsih masih bisa berjalan meski harus dengan cara dipapah,” ucapnya.
Sepupu Nengsih, Ai Rosita, menambahkan, Nengsih pernah dibawa ke RSUD dr Slamet Garut untuk diperiksa ketika menginjak usia tujuh tahun. Saat itu, kata Ai, dokter di rumah sakit menyatakan bila Nengsih mengidap penyakit kanker hati.
“Dokter bilang Nengsih punya kanker. Penyakitnya sudah komplikasi kata dokter. Keluarga dan masyarakat di sini tidak bisa membawa Nengsih berobat kembali karena keterbatasan biaya. Nengsih pun dirawat seadanya di rumah,” katanya.
Kondisi perut Nengsih terus membesar dan terasa sangat berat. Hingga pada akhirnya, yaitu sekira dua bulan yang lalu, membesarnya perut Nengsih membuat dia tidak bisa bangun dan berdiri lagi.
“Nengsih hanya bisa duduk sekarang. Bahkan sejak dua bulan yang lalu itu juga, Nengsih tidak bisa tidur terlentang. Sesak dan sakit katanya,” ucapnya.
Jika pun tidur di setiap malam, Nengsih melakukannya dengan cara terduduk. Sebagai tempat bersandar, dia menjadikan boneka kesayangannya yang berwarna ungu sebagai sandaran.
“Nengsih tidurnya duduk. Dia memeluk dan menyandarkan kepalanya ke boneka. Tidak bisa tidur terlentang lagi,” tuturnya.
Sejak mengalami hal ini, setiap aktivitas dilakukan Nengsih dilakukan di tempat yang sama. Semua hal seperti makan, minum, buang air, hingga dibersihkan dilakukan di pintu rumah mereka.
“Kami tidak memiliki kamar mandi. Jadi kalau cucu saya dimandikan termasuk aktivitas lainnya, ya dilakukan di sini, di dekat pintu,” ucap Mak Ukar.
Besarnya rasa sayang yang diberikan keluarga menjadi semangat untuk Nengsih agar tetap berjuang menjalani hari-harinya. Sejak lahir hingga kini, dia sama sekali tidak pernah bermain dengan teman seusianya.
Sementara itu, LPM Desa Sirnajaya Ade Dadang, meminta agar pemerintah dapat memerhatikan dan menolong Nengsih. Semua masyarakat di desanya, telah berupaya keras untuk membantu keluarga Nengsih.
“Kami berharap pemerintah benar-benar melihat kondisi rakyatnya. Kami ingin beban Nengsih dan keluarganya dapat berkurang,” imbuhnya.
Baca:
Azzahra, balita yang memiliki dua alat kelamin
Kemalangan yang dialami putri pasangan Herman (55) dan Entin (45) ini setidaknya telah terjadi sejak dia dilahirkan. Menurut ibunya, Entin, Nengsih dilahirkan sebagai bayi yang menderita gizi buruk.
“Saat baru lahir, tubuhnya kecil sekali. Berat badannya kurang. Saya tidak tahu kalau anak saya menderita gizi buruk,” kata Entin saat ditemui di rumahnya, Rabu 19 Februari 2014.
Meski memiliki kondisi yang sedemikian rupa memprihatinkan, Entin tetap berusaha membesarkan Nengsih. Keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan tidak menyurutkan upaya Entin mengurus Nengsih.
“Bagaimana pun juga, Nengsih anak kami. Meski dari kalangan tidak berada, kami tetap berusaha mengurusnya dengan layak,” tuturnya.
Nengsih tinggal di sebuah rumah panggung bilik kecil yang berukuran tidak lebih dari 30x3 meter. Di dalam rumah itu Nengsih tinggal bersama kedua orangtuanya, juga dengan neneknya, Mak Ukar (70) dan sepupunya, Ai Rosita (16).
“Yang bekerja di rumah kami hanya ayahnya Entin, Pak Herman. Dia adalah seorang tunadaksa yang bekerja dengan cara mengamen dan menjadi pengemis. Penghasilannya hanya Rp10 ribu per hari. Saya tidak bisa ikut bekerja karena harus mengurus Nengsih,” ujarnya.
Nengsih merupakan anak ketiga di keluarga ini. Tidak seperti Nengsih, kedua kakaknya yang lain kini sudah tidak tinggal serumah karena telah berkeluarga.
Sejak usia enam tahun, Entin sempat memasukan Nengsih ke SD terdekat di kampung mereka. Namun sayang, keadaan Nengsih yang masih menderita gizi buruk membuat dia harus menghentikan aktivitasnya belajar di bangku Kelas I.
“Nengsih hanya sekolah satu minggu saja. Anak saya harus berhenti sekolah karena kondisi fisiknya lemah dan tidak kuat. Dia jatuh sakit setelah itu,” ungkapnya.
Sejak saat itu, perut Nengsih membuncit. Setiap hari ukurannya semakin membesar. “Namun Nengsih masih bisa berjalan meski harus dengan cara dipapah,” ucapnya.
Sepupu Nengsih, Ai Rosita, menambahkan, Nengsih pernah dibawa ke RSUD dr Slamet Garut untuk diperiksa ketika menginjak usia tujuh tahun. Saat itu, kata Ai, dokter di rumah sakit menyatakan bila Nengsih mengidap penyakit kanker hati.
“Dokter bilang Nengsih punya kanker. Penyakitnya sudah komplikasi kata dokter. Keluarga dan masyarakat di sini tidak bisa membawa Nengsih berobat kembali karena keterbatasan biaya. Nengsih pun dirawat seadanya di rumah,” katanya.
Kondisi perut Nengsih terus membesar dan terasa sangat berat. Hingga pada akhirnya, yaitu sekira dua bulan yang lalu, membesarnya perut Nengsih membuat dia tidak bisa bangun dan berdiri lagi.
“Nengsih hanya bisa duduk sekarang. Bahkan sejak dua bulan yang lalu itu juga, Nengsih tidak bisa tidur terlentang. Sesak dan sakit katanya,” ucapnya.
Jika pun tidur di setiap malam, Nengsih melakukannya dengan cara terduduk. Sebagai tempat bersandar, dia menjadikan boneka kesayangannya yang berwarna ungu sebagai sandaran.
“Nengsih tidurnya duduk. Dia memeluk dan menyandarkan kepalanya ke boneka. Tidak bisa tidur terlentang lagi,” tuturnya.
Sejak mengalami hal ini, setiap aktivitas dilakukan Nengsih dilakukan di tempat yang sama. Semua hal seperti makan, minum, buang air, hingga dibersihkan dilakukan di pintu rumah mereka.
“Kami tidak memiliki kamar mandi. Jadi kalau cucu saya dimandikan termasuk aktivitas lainnya, ya dilakukan di sini, di dekat pintu,” ucap Mak Ukar.
Besarnya rasa sayang yang diberikan keluarga menjadi semangat untuk Nengsih agar tetap berjuang menjalani hari-harinya. Sejak lahir hingga kini, dia sama sekali tidak pernah bermain dengan teman seusianya.
Sementara itu, LPM Desa Sirnajaya Ade Dadang, meminta agar pemerintah dapat memerhatikan dan menolong Nengsih. Semua masyarakat di desanya, telah berupaya keras untuk membantu keluarga Nengsih.
“Kami berharap pemerintah benar-benar melihat kondisi rakyatnya. Kami ingin beban Nengsih dan keluarganya dapat berkurang,” imbuhnya.
Baca:
Azzahra, balita yang memiliki dua alat kelamin
(rsa)