Larangan jilbab di sekolah pukul psikologis siswi
A
A
A
Sindonews.com - Peristiwa yang menimpa Anita, siswi Kelas XI SMA 2 Denpasar, Bali, yang dilarang mengenakan jilbab saat sekolah, bukan kali pertama terjadi. Bahkan hal itu banyak dialami siswa lainnya.
Perlakuan yang dialami Anita oleh pihak sekolah yang melarangnya mengenakan pakaian muslimah jilbab, disesalkan banyak pihak sebagai sikap berlebihan dari sekolah.
Menurut Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak LPA Provinsi Bali Titik Suhariyati, kejadian serupa banyak dilaporkan oleh siswa kepada lembaganya, dan terus berulang di mana sekolah tidak mau belajar dari kasus sebelumnya.
"Ya, tentu sangat disesalkan. Perlakuan tidak simpatik dari sekolah itu jelas akan mempengaruhi kondisi psikologis anak," jelas Titik, Rabu (8/1/2014).
Tindakan sekolah dengan membuat aturan tersendiri sangat berlebihan, karena mestinya mengacu pada surat edaran Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) yang berlaku secara nasional.
Dalam aturan itu, sekolah memberikan kebebasan kepada siswanya untuk menjalankan keyakinan, sesuai agama yang dianutnya. Dalam hal ini, adalah cara berseragam dengan pakaian sesuai disyariatkan dalam agamanya.
Belum lagi, siswa tersebut akan mengalami dampak secara sosial, karena merasa tidak nyaman dan akan dipinggirkan di lingkungan sekolahnya.
Menyoal cara berpakaian siswa yang sebenarnya hendak mengacu sesuai ajaran agama yang diyakininya dengan dalih tidak mencerminkan kearifan lokal, dinilai berlebihan.
Dengan suasana ketidaknyamanan di lingkungan sekolah, seperti meminta anak pindah ke sekolah lain jika tetap mengenakan jilbab, maka hal itu sangat mengganggu psikologis anak.
Bagi siswa tentu konsekuensinya ada dua jika tetap di sekolah itu maka dia harus menanggalkan jilbab, sebaliknya jika keukeuh pada pendiriannya maka harus pindah ke sekolah Islam.
Untuk itu, Dinas Pendidikan Provinsi atau Kabupaten Kota diminta lebih memperhatikan semangat dari aturan di atasnya yang memberi penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Kata Titik, undang-undang menjamin kebebasan setiap warga negara menjalankan ajaran sesuai agama yang diyakininya, termasuk dalam hal berpakaian siswa di sekolah.
Perlakuan yang dialami Anita oleh pihak sekolah yang melarangnya mengenakan pakaian muslimah jilbab, disesalkan banyak pihak sebagai sikap berlebihan dari sekolah.
Menurut Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak LPA Provinsi Bali Titik Suhariyati, kejadian serupa banyak dilaporkan oleh siswa kepada lembaganya, dan terus berulang di mana sekolah tidak mau belajar dari kasus sebelumnya.
"Ya, tentu sangat disesalkan. Perlakuan tidak simpatik dari sekolah itu jelas akan mempengaruhi kondisi psikologis anak," jelas Titik, Rabu (8/1/2014).
Tindakan sekolah dengan membuat aturan tersendiri sangat berlebihan, karena mestinya mengacu pada surat edaran Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas) yang berlaku secara nasional.
Dalam aturan itu, sekolah memberikan kebebasan kepada siswanya untuk menjalankan keyakinan, sesuai agama yang dianutnya. Dalam hal ini, adalah cara berseragam dengan pakaian sesuai disyariatkan dalam agamanya.
Belum lagi, siswa tersebut akan mengalami dampak secara sosial, karena merasa tidak nyaman dan akan dipinggirkan di lingkungan sekolahnya.
Menyoal cara berpakaian siswa yang sebenarnya hendak mengacu sesuai ajaran agama yang diyakininya dengan dalih tidak mencerminkan kearifan lokal, dinilai berlebihan.
Dengan suasana ketidaknyamanan di lingkungan sekolah, seperti meminta anak pindah ke sekolah lain jika tetap mengenakan jilbab, maka hal itu sangat mengganggu psikologis anak.
Bagi siswa tentu konsekuensinya ada dua jika tetap di sekolah itu maka dia harus menanggalkan jilbab, sebaliknya jika keukeuh pada pendiriannya maka harus pindah ke sekolah Islam.
Untuk itu, Dinas Pendidikan Provinsi atau Kabupaten Kota diminta lebih memperhatikan semangat dari aturan di atasnya yang memberi penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Kata Titik, undang-undang menjamin kebebasan setiap warga negara menjalankan ajaran sesuai agama yang diyakininya, termasuk dalam hal berpakaian siswa di sekolah.
(san)