Gedung radio tertua di Indonesia tak lagi gagah
A
A
A
Sindonews.com - Kejayaan salah satu radio tertua di Indonesia, Radio Nirom, sudah benar-benar pudar. Bagaimana tidak, gedung yang berada di Kampung Radio, Desa Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB) itu kini terbengkalai.
Bangunan itu kini tak lagi berfungsi, padahal dulunya merupakan salah satu gedung radio tertua di Indonesia. Ada dua bangunan di sana, satu gedung utama, satunya lagi bekas mesin perlengkapan radio, letaknya berdampingan. Luasnya bangunan utama sekira 18x12 meter dan tinggi 8 meter, sedangkan bangunan satu lagi lebih kecil.
Berdasarkan pantauan, bangunan utama gedung radio terlihat kosong. Gedung itu sama sekali tidak terlihat sebagai sebuah gedung bekas tempat penyiaran.
Setumpukan batang pohon pinus nampak di beberapa sudut. Beberapa motor milik warga terparkir di sana. Meski secara umum gedung itu masih terbilang gagah, namun banyak bagian temboknya yang sudah hancur.
Sementara pada gedung yang merupakan tempat menyimpan peralatan perlengkapan radio, bangunannya tampak mayoritas terbuat dari batu-batu alam berukuran besar. Ada sejumlah pintu yang kini ditutupi oleh seng. Sedangkan bagian dalamnya terlihat banyak semak belukar dan pepohonan.
Kepala Resort Pemangkuan Hutan (KRPH) Cililin Ade Ratmana, mengumpulkan berbagai data dan sejarah seputar gedung itu. Dia yang baru setahun bertugas di sana penasaran dengan keberadaan gedung yang dikenal dengan sebutan gedung radio itu.
"Dalam enam bulan saya mengumpulkan semua data dari sekira tujuh orang yang tahu sejarah gedung ini," ujar Ade membuka perbincangan baru-baru ini.
Dia lalu menjelaskan pada 1908-1916, pria Belanda Ir Raymond Sircke Hessilken merintis areal untuk pembangunan gedung radio yang diawali dengan peembebasan lahan seluas 17 hektare.
"Pada 1916 dibangun Gedung Telepoonken Cililin. Tapi karena berada di lembah, siaran sering terganggu," kata Ade.
Pada November 1918, Ir Raymond Sircke Hessilken menambah areal baru lebih kurang sekira 10 hektare untuk mendukung kinerja Gedung Telepoonken Cililin. Di puncak lahan di lokasi kemudian dipasang antene pemancar radio.
"Sehingga radio bisa berfungsi sampai ke Eropa Barat dan Amerika," ungkapnya. Lewat saluran radio itulah, para penjajah Belanda berkomunikasi dengan negaranya.
Pada 1923, Gedung Telepoonken Cililin dipegang dan dioperasikan Sukinta, petugas telepoonken pindahan dari Manokwari. Saat itu, dibangun tiga bangunan pendukung dan gedung bawah tanah untuk mengatur arus listrik.
"Tahun 1924, Telepoonken berubah nama jadi Radio Nirom atau Nederland Indishe Radio Ommelanden," jelasnya.
Tapi sejak dioperasikan, Radio Nirom ternyata kurang berfungsi dengan baik. Pemancar radio dan berbagai peralatan di sana kemudian dipindahkan ke Rancaekek dan Dayeuhkolot.
Setelah berbagai peralatan dipindahkan, Gedung Radio Nirom di Cililin praktis tidak berfungsi lagi. Sedangkan Radio Nirom kemudian beroperasi di kawasan Gunung Puntang yang kini ada di wilayah Banjaran, Kabupaten Bandung.
Lahan yang ada di lokasi kemudian dikuasai oleh Dinas Kehutanan setelah mendapat izin dari Departemen Agraria sejak 1937. Bangunan utama digunakan Bosch Wesen dan bangunan lain dihuni Waker. Pada 1944, tanah dan bangunan di lokasi kemudian sempat terlantar.
Sehingga usai kemerdekaan, seluruh aset asing harus dinasionaliasikan, termasuk gedung radio. Usai dinasionalisasikan, gedung itu dijadikan markas BKR atau Badan Keamanan Rakyat dan TNI Kewedanaan Cililin pada 1945-1949.
Selanjutnya gedung radio berturut-turut dijadikan homebase Batalyon Yon 22 Jaya Pangrengot hingga Yon 327 Divisi Siliwangi pada 1950 hingga 1973. Pada Maret 1973, seluruh pasukan ditarik dari sana karena Pangdam IV/Siliwangi menyerahkan kembali tanah dan bangunan radio ke Perum Telekomunikasi Daerah 8 Bandung.
Tanah dan bangunan kemudian diserahkan ke masyarakat yang diteria Bupati Bandung saat itu, Lily Sumantri. Bupati lalu menyerahkannya lagi ke Departemen P dan K Provinsi Jawa Barat masih pada Maret 1973.
Pada Desember 1981, Bupati Bandung memohon sebagian tanah untuk dijadikan sekolah, kini jadi SMA 1 Cililin ke Perum Telekomunikasi. Tiga gedung yang tak jauh dari gedung radio pun jadi sekolah. Sedangkan gedung radio tidak dipakai.
Ade berharap, ke depan gedung itu bisa diperbaiki dan dijaga keasliannya sebagai salah satu warisan sejarah. "Suatu saat nanti anak-cucu kita pasti bertanya soal gedung itu. Walaupun tinggal puing, harus dipertahankan," tuturnya.
Bangunan itu kini tak lagi berfungsi, padahal dulunya merupakan salah satu gedung radio tertua di Indonesia. Ada dua bangunan di sana, satu gedung utama, satunya lagi bekas mesin perlengkapan radio, letaknya berdampingan. Luasnya bangunan utama sekira 18x12 meter dan tinggi 8 meter, sedangkan bangunan satu lagi lebih kecil.
Berdasarkan pantauan, bangunan utama gedung radio terlihat kosong. Gedung itu sama sekali tidak terlihat sebagai sebuah gedung bekas tempat penyiaran.
Setumpukan batang pohon pinus nampak di beberapa sudut. Beberapa motor milik warga terparkir di sana. Meski secara umum gedung itu masih terbilang gagah, namun banyak bagian temboknya yang sudah hancur.
Sementara pada gedung yang merupakan tempat menyimpan peralatan perlengkapan radio, bangunannya tampak mayoritas terbuat dari batu-batu alam berukuran besar. Ada sejumlah pintu yang kini ditutupi oleh seng. Sedangkan bagian dalamnya terlihat banyak semak belukar dan pepohonan.
Kepala Resort Pemangkuan Hutan (KRPH) Cililin Ade Ratmana, mengumpulkan berbagai data dan sejarah seputar gedung itu. Dia yang baru setahun bertugas di sana penasaran dengan keberadaan gedung yang dikenal dengan sebutan gedung radio itu.
"Dalam enam bulan saya mengumpulkan semua data dari sekira tujuh orang yang tahu sejarah gedung ini," ujar Ade membuka perbincangan baru-baru ini.
Dia lalu menjelaskan pada 1908-1916, pria Belanda Ir Raymond Sircke Hessilken merintis areal untuk pembangunan gedung radio yang diawali dengan peembebasan lahan seluas 17 hektare.
"Pada 1916 dibangun Gedung Telepoonken Cililin. Tapi karena berada di lembah, siaran sering terganggu," kata Ade.
Pada November 1918, Ir Raymond Sircke Hessilken menambah areal baru lebih kurang sekira 10 hektare untuk mendukung kinerja Gedung Telepoonken Cililin. Di puncak lahan di lokasi kemudian dipasang antene pemancar radio.
"Sehingga radio bisa berfungsi sampai ke Eropa Barat dan Amerika," ungkapnya. Lewat saluran radio itulah, para penjajah Belanda berkomunikasi dengan negaranya.
Pada 1923, Gedung Telepoonken Cililin dipegang dan dioperasikan Sukinta, petugas telepoonken pindahan dari Manokwari. Saat itu, dibangun tiga bangunan pendukung dan gedung bawah tanah untuk mengatur arus listrik.
"Tahun 1924, Telepoonken berubah nama jadi Radio Nirom atau Nederland Indishe Radio Ommelanden," jelasnya.
Tapi sejak dioperasikan, Radio Nirom ternyata kurang berfungsi dengan baik. Pemancar radio dan berbagai peralatan di sana kemudian dipindahkan ke Rancaekek dan Dayeuhkolot.
Setelah berbagai peralatan dipindahkan, Gedung Radio Nirom di Cililin praktis tidak berfungsi lagi. Sedangkan Radio Nirom kemudian beroperasi di kawasan Gunung Puntang yang kini ada di wilayah Banjaran, Kabupaten Bandung.
Lahan yang ada di lokasi kemudian dikuasai oleh Dinas Kehutanan setelah mendapat izin dari Departemen Agraria sejak 1937. Bangunan utama digunakan Bosch Wesen dan bangunan lain dihuni Waker. Pada 1944, tanah dan bangunan di lokasi kemudian sempat terlantar.
Sehingga usai kemerdekaan, seluruh aset asing harus dinasionaliasikan, termasuk gedung radio. Usai dinasionalisasikan, gedung itu dijadikan markas BKR atau Badan Keamanan Rakyat dan TNI Kewedanaan Cililin pada 1945-1949.
Selanjutnya gedung radio berturut-turut dijadikan homebase Batalyon Yon 22 Jaya Pangrengot hingga Yon 327 Divisi Siliwangi pada 1950 hingga 1973. Pada Maret 1973, seluruh pasukan ditarik dari sana karena Pangdam IV/Siliwangi menyerahkan kembali tanah dan bangunan radio ke Perum Telekomunikasi Daerah 8 Bandung.
Tanah dan bangunan kemudian diserahkan ke masyarakat yang diteria Bupati Bandung saat itu, Lily Sumantri. Bupati lalu menyerahkannya lagi ke Departemen P dan K Provinsi Jawa Barat masih pada Maret 1973.
Pada Desember 1981, Bupati Bandung memohon sebagian tanah untuk dijadikan sekolah, kini jadi SMA 1 Cililin ke Perum Telekomunikasi. Tiga gedung yang tak jauh dari gedung radio pun jadi sekolah. Sedangkan gedung radio tidak dipakai.
Ade berharap, ke depan gedung itu bisa diperbaiki dan dijaga keasliannya sebagai salah satu warisan sejarah. "Suatu saat nanti anak-cucu kita pasti bertanya soal gedung itu. Walaupun tinggal puing, harus dipertahankan," tuturnya.
(rsa)