Pilkada & pesta korupsi kepala daerah

Selasa, 31 Desember 2013 - 20:26 WIB
Pilkada & pesta korupsi kepala daerah
Pilkada & pesta korupsi kepala daerah
A A A
PESTA uang rakyat oleh raja-raja kecil di daerah masih mewarnai Tahun 2013. Tak pelak, di tahun politik ini banyak kepala daerah baik bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota serta gubernur dan wakilnya ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan sebagian telah ditahan karena kasus korupsi.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sendiri mengakui jumlah kepala daerah yang tersangkut korupsi meningkat setiap tahunnya dan menyebar hingga 33 provinsi di Indonesia.

Pilkada langsung disebut-sebut penyebab utama tingginya kasus korupsi oleh kepala daerah. Sejak dilakukan pilkada langsung pada 2005 hingga Desember 2013 ini, tercatat sebanyak 311 dari 530 kepala daerah di Tanah Air terjerat kasus hukum, 86 persen di antaranya kasus korupsi.

Jumlah itu termasuk penetapan dan penahanan Bupati Gunung Mas Hambit Bintih, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan paling baru mantan Bupati Karanganyar Rinia Iriani.

Sebelumnya, masih dalam catatan Kemendagri pada 2012, sedikitnya 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa dalam berbagai kasus korupsi.

Sedangkan dalam data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004 hingga 2012, lebih dari 175 kepala daerah yang terdiri atas 17 gubernur dan 158 bupati dan wali kota menjalani pemeriksaan. Sebanyak 40 di antaranya sudah diproses, sebagian sudah mendekam di penjara sebagai koruptor.

Dari data tersebut terlihat dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan cukup signifikan.

Berikut ini sebagian kasus korupsi oleh kepala daerah mulai Januari hingga Desember 2013.

Januari
Gubernur Riau Rusli Zainal ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi terkait perubahan Perda No.6 tahun 2010 tentang penambahan anggaran pembangunan venue untuk pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional ke-18 di Pekanbaru, Riau.

Oleh KPK, Rusli Zainal diduga menerima suap dan menyetujui pemberian suap terhadap sejumlah anggota DPRD Provinsi Riau.

Selain itu Rusli Zainal juga dijadikan tersangka dalam dua kasus korupsi lainnya yaitu memberikan sesuatu kepada anggota DPRD Riau dan korupsi penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Kabupaten Pelalawan, Riau.

Dalam hal ini Rusli diduga menyalahgunakan kewenangannya dan perbuatan melawan hukum sebagai Gubernur Riau.

Februari
Bupati Buol Amran Batalipu Sulawesi Tengah divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta hukuman penjara 7,5 tahun, 11 Februari 2013. Dia terbukti menerima Rp3 miliar dari pengusaha dan mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hartati Murdaya terkait pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan sawit.

Dia juga dipidana denda sebesar Rp500 juta subside enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti Rp3 miliar.

Maret
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi menetapkan Bupati Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, Abdul Fatah sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan satu unit mobil pemadam kebakaran (Damkar) Kabupaten Batanghari 2004 dengan kerugian negara senilai Rp651 juta.

Penetapan tersangka sesuai surat perintah penyidikan (sprindik) tertanggal 26 Maret 2013.

Mei
Bupati Aru Theddy Tengko yang menjadi terpidana dugaan korupsi APBD Ambon sebesar Rp42,5 miliar ditangkap Tim Kejaksaan. Penangkapan pada 30 Mei 2013 itu cukup dramatis, karena Theddy ditangkap di Bandara Rar Gwamar saat akan menyambut kedatangan Danrem 151 Binaya Kolonel Infantri Asep Kurnaedi.

Bupati Madailing Natal (Madina) Sumatera Utara Hidayat Batubara ditangkap KPK 14 Mei 2013 terkait dugaan gratifikasi dari perusahaan tambang Sorik Mas Mining.

Juli
Mantan Wali Kota Bandung Dada Rosada ditetapkan sebagai tersangkan oleh KPK terkait dugaan suap Hakim Setyabudi Tedjocahyono saat menangani kasus korupsi dana bantuan social Pemkot Bandung, 1 Juli 2013. Dada ditetapkan sebagai tersangka saat masih menjabat Wali Kota Bandung.

Bupati Toba Samosir (Tobasa) Kasmin Simanjuntak ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembebasan lahan untuk pembangunan akses menuju PLTA Asahan III, Kamis 18 Juli 2013.

Agustus
Bupati Raja Ampat Marcus Wanma ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Anggaran Pemerintah Daerah (APBD) Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat tahun 2003-2009 yang merugikan negara Rp 2,1 miliar, 28 Agustus 2013.

Marcus ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung berdasarkan surat perintah Kejagung no Print-96/F.2/Fd.1/08/2013.

Bupati Kabupaten Maybrat Papua Barat Bernard Sagrim ditetapkan menjadi tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi penggunaan dana hibah sebesar Rp15 milliar. Bernard ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Papua 2 Agustus 2013.

Dia juga diduga terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang merugikan negara belasan miliar rupiah.

Oktober
Bupati Gunung Mas Hambit Bintih ditangkap KPK karena diduga menyuap Hakim Konstitusi Akil Mochtar. HB ditangkap bersama seorang pengusaha DH, 30 Oktober 2013.

Mantan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso terpidana kasus korupsi uang kas daerah Sidoarjo Rp2,3 miliar ditangkap Tim Jaksa Khusus Kejaksaan Negeri Sidoarjo, 20 Oktober 2013.

November
Mantan Wali Kota & Wakil Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono ditetapkan sebagai tersangka korupsi Jasa Pungut (Japung) Pajak Daerah Pemkot Surabaya oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim 27 November 2013.

Mantan Bupati Bantul M Idham Samawi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah Persiba Bantul oleh Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Wakil Bupati Pelalawan Marwan Ibrahim ditetapkan sebagai tersangka tindak korupsi pengadaan lahan perkantoran Bhakti Praja oleh Polda Riau. Marwan diduga menerima upeti sebesar Rp1,5 miliar dari proyek itu.

Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri ditetapkan sebagai terangka suap terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, 6 November 2013.

Bupati Karangasem Denpasar I Wayan Geredeg ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali. Dia diduga terlibat korupsi pipanisasi sebesar Rp29 miliar di empat kecamatan di Kabupaten Karangasem, Bali.

Desember
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait penanganan sengketa Pilkada Lebak oleh KPK. Setelah diperiksa sebagai tersangka untuk pertama kalinya pada 20 Desember, Atut langsung dijebloskan ke penjara. Atut akan ditahan selama 20 hari kedepan di Rumah Tahanan Pondok Bambu Jakarta.

Masih di tahun yang sama mantan Bupati Karanganyar Rina Iriani ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi subsidi proyek perumahan Griya Lawu Asri oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

Dia diduga menikmati uang tindak pidana korupsi sebesar Rp11,1 miliar dari total uang negara yang dikorupsi sejumlah Rp18,4 miliar.

Daftar tersebut hanyalah sebagian dari ratusan kasus korupsi dilakukan kepala daerah. Ada pula kepala daerah yang terjerat kasus korupsi namun dibebaskan dalam putusan sidang, dengan alasan tidak terbukti.

Selain itu, tidak sedikit kepala daerah yang saat ini terindikasi korupsi namun sulit untuk dibuktikan lantaran dilakukan secara rapi melibatkan banyak pihak dan berlindung di balik undang-undang yang ada.

Pertanyaannya mengapa kepala daerah korupsi? Ada beberapa faktor yang menyebabkan kepala daerah cenderung korupsi.

Pertama, kepentingan ongkos politik. Hal ini terjadi sebagai imbas dari besarnya biaya politik yang sudah mereka keluarkan selama pemilihan kepala daerah.

Bukan rahasia lagi, untuk menjadi kepala daerah, seorang kandidat mengeluarkan anggaran rata-rata Rp10-20 miliar. Dana itu dipakai untuk mendapatkan dukungan partai politik, kepentingan kampanye, biaya tim sukses honor saksi di tempat pemungutan suara, serta biaya tak terduga lainnya.

Besaran dana politik yang harus dikeluarkan calon itu tidak sebanding dengan pendapatan resmi yang diterima ketika menjadi kepala daerah. Dengan gaji minimal untuk bupati maupun gubernur berkisar Rp5-8 juta per bulan, uang yang diterima selama lima tahun menjabat maksimal hanya Rp6 miliar.
Jumlah tersebut tetap masih belum cukup untuk mengganti ongkos politik yang sudah dikeluarkan selama pilkada.

Tidak jarang saat pilkada mereka mendapatkan pendanaan dari investor atau pengusaha untuk kampanye. Untuk mengembalikan dana itu membuat kepala daerah cenderung korupsi. Jika tidak korupsi kepala daerah harus memberikan konsensi bagi investor.

Akibatnya banyak sumber kekayaan alam terjual melalui berbagai kebijakan yang harus membayar investasi dari para investor yang telah membantunya memenangkan pilkada. Sumber alam banyak dikuasi oleh orang-orang yang memiliki uang.

Padahal kepala daerah berkuasa paling lama dua periode, tapi izin pengelolaan dengan sumber daya alamnya diberikan sampai 20 tahun. Akhirnya banyak sumber daya alam yang dikuasai oleh pengusaha asing.

Kedua, banyak celah dan peluang kepala daerah untuk korupsi. Regulasi yang ada di daerah kerap kali digunakan untuk melakukan penyimpangan anggaran. Akibatnya, korupsi yang dilakukan seolah bersembunyi di balik regulasi yang ada. Tak pelak dalam modus korupsi yang dilakukan kepala daerah biasanya melalui APBD, penggelembungan anggaran, dana hibah maupun dana bantuan sosial serta jasa pungut pajak.

Ketiga, lemahnya pengawasan di tingkat daerah. Baik Badan Pengawas Daerah maupun DPRD yang seharusnya mengawasi kinerja pemerintah daerah.

Langkah untuk mengevaluasi pilkada secara langsung menjadi sangat penting. Pemerintah melalui Kemendagri sudah mengusulkan agar pilkada dilakukan oleh DPRD atau pemilihan tidak langsung.

Bahkan usulan ini sudah dimasukkan dalam materi RUU Pemilukada yang kini pembahasannya sudah masuk tahap akhir di DPR.

Pilkada secara langsung selama ini dinilai berdampak buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tidak hanya ongkos politiknya yang terlalu besar,tapi juga menimbulkan konflik horisontal antar pendukung pasangan calon.

Jika memang pemilihan melalui DPRD itu lebih sesuai dengan realita masyarakat Indonesia, maka patut kita dukung. Diharapkan, dengan pilkada tidak langsung tidak memberikan keleluasaan bagi raja kecil di daerah menggunakan dana untuk kepentingan pribadi atau golongannya.
(lns)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8896 seconds (0.1#10.140)