Memanusiakan napi
A
A
A
BAK menegakkan benang basah. Hal itulah yang patut digambarkan berkaca dari penuntasan maraknya kasus di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia.
Kasus-kasus di dalam lapas nampaknya belum kunjung tuntas. Beragam masalah kecil hingga besar masih saja terus terjadi di berbagai rumah binaan bagi para narapidana ini. Tak pelak jika aksi barbar para penghuninya kerap kali mencuat.
Masalah fasilitas lapas, kepemimpinan kepala lapas, hingga persoalan remisi merupakan kasus klasik yang tak pernah bisa dibenahi meski sudah berganti-ganti menteri.
Berdasarkan catatan redaksi Sindonews, setidaknya ada empat kerusuhan di lembaga pemasyarakatan di berbagai daerah selama Tahun 2013.
Empat kerusuhan tersebut terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara (11 Juli 2013); Lapas Labuhan Ruku, Sumatera Utara (18 Agustus 2013); Lapas Klas II B Sintang, Kalimantan Barat (25 September 2013); dan Lapas Palopo (14 Desember 2013).
Lapas Tanjung Gusta, Sumatera Utara
Kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, terjadi pada 11 Juli 2013 lalu. Pemicu kerusuhan di Lapas terbesar di Sumatera Utara itu disebabkan karena pasokan listrik dan air yang kurang mencukupi.
Selain itu lapas ini juga mengalami over kapasitas, di mana Lapas yang seharusnya hanya mampu menampung 1.054 orang, namun justru dihuni sekira 2.600 orang tahanan. Jika dihitung, over kapasitas di Lapas Tanjung Gusta menyentuh angka 240 persen.
Insiden yang terjadi di lapas ini setidaknya telah menyebabkan sekira 240 orang narapidana kabur. Termasuk di dalamnya lima narapidana kasus terorisme. Tidak hanya itu, kerusuhan tersebut juga merenggut nyawa dua orang sipir dan tiga orang tahanan.
Lapas Labuhan Ruku, Sumatera Utara
Kerusuhan dan kebakaran di Lapas Klas 2A Labuhan Ruku, Sumatera Utara, terjadi pada Minggu 18 Agustus 2013 sore. Peristiwa tersebut bermula saat tahanan memanggil petugas jaga yang kemudian memukulinya.
Diduga ada tahanan yang memprovokasi hingga akhirnya terjadi kerusuhan dan pembakaran. Seluruh gedung perkantoran terbakar, demikian juga dapur dan bagian Blok C.
Kerusuhan terjadi karena adanya pemindahan 49 orang napi dari Lapas Lubuk Pakam ke Lapas Labuhan Ruku pada 17 Agustus 2013. Penyebab lainnya adalah benturan antara napi dan petugas lapas. Ada gesekan antara napi dan petugas. Pemicunya, remisi yang kurang memuaskan.
Di Labuhan Ruku sendiri masalah kapasitas memiliki peranan penting dalam kasus tersebut. Penghuni lapas tercatat sebanyak 867 orang yang terdiri dari 564 narapidana dan 303 tahanan.
Lapas Sintang, Kalimantan Barat
Insiden Kerusuhan di LP Klas II B Sintang, Kalimantan Barat, terjadi pada Rabu 25 September 2013 pagi, sekira pukul 09.00 WIB. Kerusuhan bermula saat petugas lapas yang dipimpin oleh Kepala lapas kelas II B Sintang Pudjiono Riadi, melaksanakan tes urine terhadap 280 napi binaannya.
Namun di tengah pelaksanan tes urine tersebut, salah seorang napi menolak melakukan tes urine dan melawan petugas. Petugas yang kesal akhirnya memukul napi tersebut, hingga akhirnya memicu napi lain melakukan perlawanan.
Petugas lapas yang tidak mampu menghadapi perlawanan napi, akhirnya pun meminta bantuan Polres Sintang.
Setibanya di lokasi, pihak kepolisian yang berupaya mengamankan lapas, justru membuat napi semakin brutal dan tidak terkendali. Para napi terus melempari petugas dengan batu dari dalam lapas.
Melihat situasi yang semakin brutal, polisi pun mundur, yang kemudian memblokade sejumlah titik lapas yang terletak di Jalan DR Wahidin Sudiro Husodo tersebut untuk mencegah napi kabur.
Lapas Palopo, Sulawesi Selatan
Kerusuhan di Lapas Klas II Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel), terjadi di penghujung tahun, pada Sabtu 14 Desember 2013. Kejadian pembakaran Lapas dan penganiayaan terhadap Kalapas tersebut berawal pada saat Kapalas Sri Pamudji melakukan pengecekan rutin ke setiap sel tahanan.
Kemudian, pada saat melakukan pengecekan di salah satu sel, ada napi yang tak terima ketika ditegur. Napi itu memilih untuk melakukan perlawanan dan memprovokasi tahanan yang lain. Sehingga terjadi kerusuhan dan aksi pembakaran terhadap lapas yang dilakukan oleh tersangka U dan A. Kalapas sendiri saat itu mengalami luka-luka.Bahkan ada beberapa petugas lapas yang disandera.
Kerusuhan di Lapas Palopo sendiri terjadi setelah para napi meminta agar jam keluar napi ditambah yang semula dari pukul 06.00 pagi sampai pukul 18.00, menjadi pukul 22.00. Kemudian tuntutan lainnya yaitu mengganti Kapalas Sri Pamudji yag dianggap tak layak dan tak disukai para napi.
Perbaikan mendesak
Rangkaian kerusuhan tersebut nampaknya menjadi indikasi bahwa perbaikan pengelolaan Lapas di Indonesia secara sistematis memang mendesak agar dilakukan secara melembaga.
Pasalnya, kerusuhan yang terjadi di lapas terjadi bukan karena tidak ada upaya pencegahan yang signifikan. Tetapi pencegahan tersebut sifatnya hanya temporer saja. Karena patut diingat, kerusuhan tidak terjadi secara spontan tapi akibat terakumulasinya persoalan-persoalan yang ada di Lapas.
Berdasarkan analisa, ada tiga faktor yang menjadi pemicu pecahnya kerusuhan di beberapa Lapas di Indonesia. Di antaranya soal kebijakan yaitu meliputi kebijakan pusat. Pada Peraturan Pemerintah No 99 tahun 2012 dianggap membuat narapidana sulit mendapatkan remisi.
Selain itu, kebijakan lokal pimpinan Lapas dengan manajemen yang tidak transparan, satu arah, dan kepemimpinan yang otoriter.
Selanjutnya, persoalan sosiologis dalam lapas kemungkinan ada yang tidak terbangun. Persoalan sosiologis tersebut diantaranya meliputi interaksi, komunikasi, dan kultur yang beragam dan bervariasi.
Dan yang terakhir adalah struktur lapas. Dengan kondisi bangunan, sarana dan prasarana, dan fasilitas lapas yang kurang memadai.
Ke depan, sudah waktunya pemerintah berbenah diri mengatasi persoalan-persoalan di dalam lapas. Jika tidak, bukan tidak mungkin, kerusuhan besar-besar lainnya akan terjadi di masa yang akan datang.
Kasus-kasus di dalam lapas nampaknya belum kunjung tuntas. Beragam masalah kecil hingga besar masih saja terus terjadi di berbagai rumah binaan bagi para narapidana ini. Tak pelak jika aksi barbar para penghuninya kerap kali mencuat.
Masalah fasilitas lapas, kepemimpinan kepala lapas, hingga persoalan remisi merupakan kasus klasik yang tak pernah bisa dibenahi meski sudah berganti-ganti menteri.
Berdasarkan catatan redaksi Sindonews, setidaknya ada empat kerusuhan di lembaga pemasyarakatan di berbagai daerah selama Tahun 2013.
Empat kerusuhan tersebut terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara (11 Juli 2013); Lapas Labuhan Ruku, Sumatera Utara (18 Agustus 2013); Lapas Klas II B Sintang, Kalimantan Barat (25 September 2013); dan Lapas Palopo (14 Desember 2013).
Lapas Tanjung Gusta, Sumatera Utara
Kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, terjadi pada 11 Juli 2013 lalu. Pemicu kerusuhan di Lapas terbesar di Sumatera Utara itu disebabkan karena pasokan listrik dan air yang kurang mencukupi.
Selain itu lapas ini juga mengalami over kapasitas, di mana Lapas yang seharusnya hanya mampu menampung 1.054 orang, namun justru dihuni sekira 2.600 orang tahanan. Jika dihitung, over kapasitas di Lapas Tanjung Gusta menyentuh angka 240 persen.
Insiden yang terjadi di lapas ini setidaknya telah menyebabkan sekira 240 orang narapidana kabur. Termasuk di dalamnya lima narapidana kasus terorisme. Tidak hanya itu, kerusuhan tersebut juga merenggut nyawa dua orang sipir dan tiga orang tahanan.
Lapas Labuhan Ruku, Sumatera Utara
Kerusuhan dan kebakaran di Lapas Klas 2A Labuhan Ruku, Sumatera Utara, terjadi pada Minggu 18 Agustus 2013 sore. Peristiwa tersebut bermula saat tahanan memanggil petugas jaga yang kemudian memukulinya.
Diduga ada tahanan yang memprovokasi hingga akhirnya terjadi kerusuhan dan pembakaran. Seluruh gedung perkantoran terbakar, demikian juga dapur dan bagian Blok C.
Kerusuhan terjadi karena adanya pemindahan 49 orang napi dari Lapas Lubuk Pakam ke Lapas Labuhan Ruku pada 17 Agustus 2013. Penyebab lainnya adalah benturan antara napi dan petugas lapas. Ada gesekan antara napi dan petugas. Pemicunya, remisi yang kurang memuaskan.
Di Labuhan Ruku sendiri masalah kapasitas memiliki peranan penting dalam kasus tersebut. Penghuni lapas tercatat sebanyak 867 orang yang terdiri dari 564 narapidana dan 303 tahanan.
Lapas Sintang, Kalimantan Barat
Insiden Kerusuhan di LP Klas II B Sintang, Kalimantan Barat, terjadi pada Rabu 25 September 2013 pagi, sekira pukul 09.00 WIB. Kerusuhan bermula saat petugas lapas yang dipimpin oleh Kepala lapas kelas II B Sintang Pudjiono Riadi, melaksanakan tes urine terhadap 280 napi binaannya.
Namun di tengah pelaksanan tes urine tersebut, salah seorang napi menolak melakukan tes urine dan melawan petugas. Petugas yang kesal akhirnya memukul napi tersebut, hingga akhirnya memicu napi lain melakukan perlawanan.
Petugas lapas yang tidak mampu menghadapi perlawanan napi, akhirnya pun meminta bantuan Polres Sintang.
Setibanya di lokasi, pihak kepolisian yang berupaya mengamankan lapas, justru membuat napi semakin brutal dan tidak terkendali. Para napi terus melempari petugas dengan batu dari dalam lapas.
Melihat situasi yang semakin brutal, polisi pun mundur, yang kemudian memblokade sejumlah titik lapas yang terletak di Jalan DR Wahidin Sudiro Husodo tersebut untuk mencegah napi kabur.
Lapas Palopo, Sulawesi Selatan
Kerusuhan di Lapas Klas II Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel), terjadi di penghujung tahun, pada Sabtu 14 Desember 2013. Kejadian pembakaran Lapas dan penganiayaan terhadap Kalapas tersebut berawal pada saat Kapalas Sri Pamudji melakukan pengecekan rutin ke setiap sel tahanan.
Kemudian, pada saat melakukan pengecekan di salah satu sel, ada napi yang tak terima ketika ditegur. Napi itu memilih untuk melakukan perlawanan dan memprovokasi tahanan yang lain. Sehingga terjadi kerusuhan dan aksi pembakaran terhadap lapas yang dilakukan oleh tersangka U dan A. Kalapas sendiri saat itu mengalami luka-luka.Bahkan ada beberapa petugas lapas yang disandera.
Kerusuhan di Lapas Palopo sendiri terjadi setelah para napi meminta agar jam keluar napi ditambah yang semula dari pukul 06.00 pagi sampai pukul 18.00, menjadi pukul 22.00. Kemudian tuntutan lainnya yaitu mengganti Kapalas Sri Pamudji yag dianggap tak layak dan tak disukai para napi.
Perbaikan mendesak
Rangkaian kerusuhan tersebut nampaknya menjadi indikasi bahwa perbaikan pengelolaan Lapas di Indonesia secara sistematis memang mendesak agar dilakukan secara melembaga.
Pasalnya, kerusuhan yang terjadi di lapas terjadi bukan karena tidak ada upaya pencegahan yang signifikan. Tetapi pencegahan tersebut sifatnya hanya temporer saja. Karena patut diingat, kerusuhan tidak terjadi secara spontan tapi akibat terakumulasinya persoalan-persoalan yang ada di Lapas.
Berdasarkan analisa, ada tiga faktor yang menjadi pemicu pecahnya kerusuhan di beberapa Lapas di Indonesia. Di antaranya soal kebijakan yaitu meliputi kebijakan pusat. Pada Peraturan Pemerintah No 99 tahun 2012 dianggap membuat narapidana sulit mendapatkan remisi.
Selain itu, kebijakan lokal pimpinan Lapas dengan manajemen yang tidak transparan, satu arah, dan kepemimpinan yang otoriter.
Selanjutnya, persoalan sosiologis dalam lapas kemungkinan ada yang tidak terbangun. Persoalan sosiologis tersebut diantaranya meliputi interaksi, komunikasi, dan kultur yang beragam dan bervariasi.
Dan yang terakhir adalah struktur lapas. Dengan kondisi bangunan, sarana dan prasarana, dan fasilitas lapas yang kurang memadai.
Ke depan, sudah waktunya pemerintah berbenah diri mengatasi persoalan-persoalan di dalam lapas. Jika tidak, bukan tidak mungkin, kerusuhan besar-besar lainnya akan terjadi di masa yang akan datang.
(rsa)