Kekurangan gizi, Sulsel peringkat 10
A
A
A
Sindonews.com - Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) masuk peringkat 10 provinsi di Indonesia dengan kecenderungan prevelensi balita kekurangan gizi tertinggi di Indonesia.
Tingkat kekurangan gizi balita Sulsel mencapai 25 persen berdasarkan Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2013. Peringkat pertama kekurangan gizi diduduki, Nusa Tenggara Timur (NTT) 33 persen, diikuti Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Kalimantan Selatan, Aceh, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat.
Ini lebih tinggi dibanding tingkat kekurangan gizi balita nasional 2013 dengan presentasi 19,6 persen. Padahal pada 2007, angka kekurangan gizi di Sulsel masih diangka 17 persen. Provinsi di Indonesia paling rendah angka balita kekuarangan gizi yakni, Bali 14 persen diikuti DKI Jakarta dan Bangka Belitung.
Sulsel juga berada pada peringkat 13 dengan kecenderungan prevelensi balita stunting tertinggi dari 33 provinsi di Indonesia dengan presentasi 40 persen. Stunting adalah pertumbuhan anak gagal akibat kekurangan gizi secara berulang dalam waktu lama.
Kecenderungan prevelensi balita stunting di Indonesia tertinggi diduduki NTT 51 persen dan paling rendah Kepulauan Riau 27. Tingginya balita stunting Sulsel lebih tinggi dari angka nasional pada tahun yang sama yakni 37,2 persen.
"Posisi Sulsel agak rendah dibawa 20 besar nasional. Ini agak memprihatinkan karena pertumbuhan ekonominya bagus. Ini anomaly disaat kekayaan alam dan SDM cukup baik, kenapa stunting naik," kata Menteri/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana di Ruang Pola Balai Kota Makassar, Jumat (23/11/2013).
Menurut dia, pemerintah provinsi dan pemerintah seluruh kabupaten/kota se Sulsel mestinya melakukan pendekatan langsung ke masyarakat dalam memberantas gizi buruk. Hanya saja, Bappenas belum merilis data terbaru untuk kabupaten/kota. Namun dia, tetap memberikan peringatan ke pemkot Makassar.
"Saya minta stunting Makassar wajib dibawah 20 persen atau 10 persen karena ini kota yang dekat dengan pelayanan kesehatan. Penurunan gizi buruk tidak lagi hanya menjadi urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetapi juga lembaga lain. Harus ada upaya lebih sistematis, jangan hanya per program," ujarnya.
Balita kekurangan gizi dan stunting, kata dia, menghasilkan generasi bangsa yang memiliki, produktivitas rendah, kemampuan bersaing rendah, kemampuan motorik rendah, perkembangan fisik tidak optimal dan anak menjadi muda sakit. Masalah gizi buruk tambahnya, bukan hanya karena factor ekonomi, tetapi juga tekait budaya, dan ketidak tahun.
Pada kesempatan tersebut, Armida memuji program penangan gizi yang sejak 2011 lalu sudah digulirkan Universitas Hasanuddin.
"Ini sangat bagus dan akan menjadi percontohan nasional. Ini akan diberlakukan diseluruh perguruan tinggi kesehatan di Indonesia. Ini simple dan biayanya sangat murah," ujarnya.
Tingkat kekurangan gizi balita Sulsel mencapai 25 persen berdasarkan Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2013. Peringkat pertama kekurangan gizi diduduki, Nusa Tenggara Timur (NTT) 33 persen, diikuti Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Kalimantan Selatan, Aceh, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat.
Ini lebih tinggi dibanding tingkat kekurangan gizi balita nasional 2013 dengan presentasi 19,6 persen. Padahal pada 2007, angka kekurangan gizi di Sulsel masih diangka 17 persen. Provinsi di Indonesia paling rendah angka balita kekuarangan gizi yakni, Bali 14 persen diikuti DKI Jakarta dan Bangka Belitung.
Sulsel juga berada pada peringkat 13 dengan kecenderungan prevelensi balita stunting tertinggi dari 33 provinsi di Indonesia dengan presentasi 40 persen. Stunting adalah pertumbuhan anak gagal akibat kekurangan gizi secara berulang dalam waktu lama.
Kecenderungan prevelensi balita stunting di Indonesia tertinggi diduduki NTT 51 persen dan paling rendah Kepulauan Riau 27. Tingginya balita stunting Sulsel lebih tinggi dari angka nasional pada tahun yang sama yakni 37,2 persen.
"Posisi Sulsel agak rendah dibawa 20 besar nasional. Ini agak memprihatinkan karena pertumbuhan ekonominya bagus. Ini anomaly disaat kekayaan alam dan SDM cukup baik, kenapa stunting naik," kata Menteri/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana di Ruang Pola Balai Kota Makassar, Jumat (23/11/2013).
Menurut dia, pemerintah provinsi dan pemerintah seluruh kabupaten/kota se Sulsel mestinya melakukan pendekatan langsung ke masyarakat dalam memberantas gizi buruk. Hanya saja, Bappenas belum merilis data terbaru untuk kabupaten/kota. Namun dia, tetap memberikan peringatan ke pemkot Makassar.
"Saya minta stunting Makassar wajib dibawah 20 persen atau 10 persen karena ini kota yang dekat dengan pelayanan kesehatan. Penurunan gizi buruk tidak lagi hanya menjadi urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetapi juga lembaga lain. Harus ada upaya lebih sistematis, jangan hanya per program," ujarnya.
Balita kekurangan gizi dan stunting, kata dia, menghasilkan generasi bangsa yang memiliki, produktivitas rendah, kemampuan bersaing rendah, kemampuan motorik rendah, perkembangan fisik tidak optimal dan anak menjadi muda sakit. Masalah gizi buruk tambahnya, bukan hanya karena factor ekonomi, tetapi juga tekait budaya, dan ketidak tahun.
Pada kesempatan tersebut, Armida memuji program penangan gizi yang sejak 2011 lalu sudah digulirkan Universitas Hasanuddin.
"Ini sangat bagus dan akan menjadi percontohan nasional. Ini akan diberlakukan diseluruh perguruan tinggi kesehatan di Indonesia. Ini simple dan biayanya sangat murah," ujarnya.
(mhd)