Memaknai resolusi jihad ulama, dulu dan kini

Kamis, 07 November 2013 - 07:17 WIB
Memaknai resolusi jihad ulama, dulu dan kini
Memaknai resolusi jihad ulama, dulu dan kini
A A A
Sindonews.com - Enam puluh delapan tahun yang lalu, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, Hadarotusy Syaikh Hasyim Asyari, yang juga pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), pada 22 Oktober 1945, mengeluarkan resolusi jihad dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945.

Dalam peristiwa bersejarah itu, tidak ada perbedaan golongan, tingkatan, agama, dan paham. Ketika satu Indonesia terancam, satu bangsa Indonesia akan membelanya. Inilah hakikat peristiwa yang kemudian hari dikenal sebagai Hari Pahlawan itu.

Jika saat itu resolusi jihad ditujukan kepada bangsa asing, sejak meletusnya Gerakan 30 September (G30S), resolusi itu ditujukan kepada anak bangsa. Semangat persatuan 10 November 1945 pun hilang. Pakaian putih ulama dan santri berubah jadi merah darah orang-orang komunis.

Kini, setelah berpuluh tahun kemudian, resolusi jihad jilid dua coba digalang kembali oleh purnawirawan TNI Mayjen Saiful Sulun. Namun, kali ini resolusi itu tidak jelas arah sasarannya.

"Resolusi jihad jilid II diharapkan mampu menyelamatkan krisis ketatanegaraan Indonesia," kata Mayjend TNI (Purn) Saiful Sulun, saat peringatan Resolusi Jihad ke-68 di Gedung Juang, Surabaya, beberapa waktu lalu.

Mantan Pangdam V/Brawijaya ini menjelaskan maksud tujuannya. Di antaranya dengan menunjukkan sejumlah kasus yang terjadi, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dulu sebagai lembaga tertinggi negara, kini telah dipangkas kewenangannya.

Menurutnya, pemangkasan wewenang itu berakibat pada perselisihan antara lembaga tinggi negara, dan tidak bisa ditemukannya solusi yang cepat dan tepat. Di Bidang Ekonomi, dia menjelaskan, tidak adanya sistem gotong royong dan kebersamaan, seperti yang termaksud dalam ideologi ekonomi Pancasila.

Saat ini, sistem ekonomi Indonesia sudah dikuasai oleh kaum pemodal atau mengarah ke kapitalisme. Begitu juga di bidang hukum. Rakyat sudah apatis terhadap aparat penegak hukum, sehingga cenderung main hakim sendiri.

Dia mengambil contoh lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap sebagai lembaga terakhir untuk keadilan, justru terjebak dalam korupsi. Hal itu dibuktikan dengan tertangkapnya Ketua MK Akil Mukhtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Untuk memperbaiki kembali sistem ketatanegaraan, saya mengusulkan supaya resolusi jihad NU jilid II," tegasnya.

Menurut Saiful, ada tiga hal yang perlu didesak dalam resolusi jihad tersebut, yakni kembali pada ideologi Pancasila, kembali ke demokrasi Indonesia, dan mengkaji ulang hasil amandemen UUD 45 tahun 2002.

Dia melanjutkan, krisis yang melanda Indonesia sudah sangat parah. Para pemimpin bangsa tidak lagi memiliki moral atau sikap keteladanan. Bahkan, mengarah kepada sikap hedonisme. Dengan demikian terjadi pergeseran makna resolusi jihad, antara zaman perang kemerdekaan, dengan pascademokrasi terpimpin.

Resolusi jihad saat ini, lebih dimaknai sebagai kekecewaan atas keyakinan yang telah dipegang sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. "Banyak dijumpai para pemimpin kita yang tanpa malu mengambil uang rakyat untuk penuhi keinginan pribadi," tukasnya.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0878 seconds (0.1#10.140)