Bahasa dan budaya Samin terancam punah
A
A
A
Sindonews.com - Berbagai kalangan mendesak agar bahasa yang digunakan oleh komunitas Sedulur Sikep (wong Samin) dilestarikan.
Langkah ini penting agar kekayaan nonbendawi yang mempunyai sejarah panjang perlawanan terhadap kolonialisme Belanda tersebut tak punah di tengah terpaan budaya global yang merambah kehidupan masyarakat secara massif.
Peneliti komunitas sedulur sikep, Moh Rosyid, mengatakan tidak hanya negara saja yang dibebani tanggung jawab pelestarian ini, namun juga pemangku budaya dan masyarakat pada umumnya. Modal utama melestarikannya adalah menumbuhkan kesadaran bahwa budaya memiliki makna untuk dilestarikan bagi kehidupan agar terwariskan lintas generasi.
Menurut Rosyid, wong Samin memiliki bahasa khas, unik tidak ditemukan dalam komunitas lainnya. Selain itu, bahasa tersebut juga merupakan salah satu ekspresi perlawanan terhadap kolonial Belanda yang dipakai wong Samin. Perlawanan muncul karena Belanda dzalim terhadap wong cilik dengan merampas tanah pekarangan dan hasil bumi tanpa prosedur.
“Bentuk bahasa perlawanan disebut bahasa Sangkak, seperti: bila ditanya: dari mana? Dari Belakang. Ke mana? Ke depan. Memang sekilas identik dengan bahasa kolot, introfet, dan terbelakang. Namun ada makna tersendiri dibalik penggunaan bahasa itu. Makanya ini harus dilestarikan,” kata akademisi STAIN Kudus ini, Sabtu (12/10/2013).
Menurut Rosyid, penggunaan bahasa Sangkak saat ini sudah berkurang drastis yang disebabkan berbagai hal. Mulai dari desakan budaya non-Samin yang kian massif, hingga tak percaya dirinya wong Samin dengan bahasa khasnya yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
“Bahasa ini hanya eksis bagi wong Samin tatkala berinteraksi dengan komunitasnya dan warga non-Samin, yang termasuk generasi tua,” jelasnya.
Selain bahasa Sangkak, kata Rosyid wong Samin juga memiliki kekhasan lain yakni berupa kidungan (nyanyian Jawa) yang bermuatan doa dan hiburan. Hanya sayangnya, lagi-lagi kekayaan nonbendawi ini juga luntur seiring waktu karena sudah tak ditampilkan oleh wong Samin dalam acara resmi, seperti perkawinan, khitanan, puputan, dan lain sebagainya.
Pemicu lunturnya Kidungan ini juga dipengaruhi oleh kuatnya budaya seni musik dan seni suara masa kini. Dampaknya tak ada regenerasi penyanyi dan pemusik dari dan oleh warga Samin itu sendiri.
“Kalau kondisi ini dibiarkan bisa jadi dalam beberapa dekade mendatang bahasa Sangkak maupun Kidungan sudah benar-benar punah,” paparnya.
Oleh karena itu, menurut Rosyid perlu adanya persamaan persepsi dari berbagai pihak agar kekayaan nonbendawi yang ada di komunitas Samin ini bisa terus lestari hingga kapanpun. Untuk bahasa Sangkak misalnya, bisa dipertahankan dengan cara penggunaannya diintensifkan dalam komunikasi harian antar sesame wong Samin.
Langkah ini bisa dimulai dari wong Samin generasi tua yang berkomitmen nguri-nguri bahasanya sendiri dan mau mengajarkan kepada para penerusnya.
“Pemerintah punya peran yang besar ikut memfasilitasi agar bahasa dan budaya wong Samin ini tidak punah,“ tandasnya.
Langkah ini penting agar kekayaan nonbendawi yang mempunyai sejarah panjang perlawanan terhadap kolonialisme Belanda tersebut tak punah di tengah terpaan budaya global yang merambah kehidupan masyarakat secara massif.
Peneliti komunitas sedulur sikep, Moh Rosyid, mengatakan tidak hanya negara saja yang dibebani tanggung jawab pelestarian ini, namun juga pemangku budaya dan masyarakat pada umumnya. Modal utama melestarikannya adalah menumbuhkan kesadaran bahwa budaya memiliki makna untuk dilestarikan bagi kehidupan agar terwariskan lintas generasi.
Menurut Rosyid, wong Samin memiliki bahasa khas, unik tidak ditemukan dalam komunitas lainnya. Selain itu, bahasa tersebut juga merupakan salah satu ekspresi perlawanan terhadap kolonial Belanda yang dipakai wong Samin. Perlawanan muncul karena Belanda dzalim terhadap wong cilik dengan merampas tanah pekarangan dan hasil bumi tanpa prosedur.
“Bentuk bahasa perlawanan disebut bahasa Sangkak, seperti: bila ditanya: dari mana? Dari Belakang. Ke mana? Ke depan. Memang sekilas identik dengan bahasa kolot, introfet, dan terbelakang. Namun ada makna tersendiri dibalik penggunaan bahasa itu. Makanya ini harus dilestarikan,” kata akademisi STAIN Kudus ini, Sabtu (12/10/2013).
Menurut Rosyid, penggunaan bahasa Sangkak saat ini sudah berkurang drastis yang disebabkan berbagai hal. Mulai dari desakan budaya non-Samin yang kian massif, hingga tak percaya dirinya wong Samin dengan bahasa khasnya yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
“Bahasa ini hanya eksis bagi wong Samin tatkala berinteraksi dengan komunitasnya dan warga non-Samin, yang termasuk generasi tua,” jelasnya.
Selain bahasa Sangkak, kata Rosyid wong Samin juga memiliki kekhasan lain yakni berupa kidungan (nyanyian Jawa) yang bermuatan doa dan hiburan. Hanya sayangnya, lagi-lagi kekayaan nonbendawi ini juga luntur seiring waktu karena sudah tak ditampilkan oleh wong Samin dalam acara resmi, seperti perkawinan, khitanan, puputan, dan lain sebagainya.
Pemicu lunturnya Kidungan ini juga dipengaruhi oleh kuatnya budaya seni musik dan seni suara masa kini. Dampaknya tak ada regenerasi penyanyi dan pemusik dari dan oleh warga Samin itu sendiri.
“Kalau kondisi ini dibiarkan bisa jadi dalam beberapa dekade mendatang bahasa Sangkak maupun Kidungan sudah benar-benar punah,” paparnya.
Oleh karena itu, menurut Rosyid perlu adanya persamaan persepsi dari berbagai pihak agar kekayaan nonbendawi yang ada di komunitas Samin ini bisa terus lestari hingga kapanpun. Untuk bahasa Sangkak misalnya, bisa dipertahankan dengan cara penggunaannya diintensifkan dalam komunikasi harian antar sesame wong Samin.
Langkah ini bisa dimulai dari wong Samin generasi tua yang berkomitmen nguri-nguri bahasanya sendiri dan mau mengajarkan kepada para penerusnya.
“Pemerintah punya peran yang besar ikut memfasilitasi agar bahasa dan budaya wong Samin ini tidak punah,“ tandasnya.
(rsa)