Budaya tebas bakar masih berlaku di NTT
A
A
A
Sindonews.com - Budaya tebas bakar masih menjadi trend bagi petani di Pulau Timor dalam mempersiapkan lahan olahan menyambut musim hujan setiap tahun.
Warga Desa Sainoni, Kecamatan Bikomi Utara, Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, Nikolas Sasi misalnya, ia mengaku tidak bisa meninggalkan budaya tebas bakar, pasalnya hasil panen sangat melimpah daripada mengolah lahan tetap.
"Ini merupakan tradisi yang sudah dilakukan oleh nenek moyang, jadi kami, anak cucu, hanya menuruti saja dan memang hasil melimpah," ungkap Nikolas Sasi, saat ditemui sedang melakukan tebas bakar di kebunnya, Rabu, (09/10/2013).
Nikolas menuturkan, sistem tebas bakar itu dilakukan secara berkala dalam setiap tiga tahun, sebab dipercaya jika kebun tersebut ditinggal selama tiga tahun bakal tumbuh pohon-pohon. Sehingga dikala pohon itu ditebas dan dibakar lagi bisa membuat tanah kembali subur.
Meskipun demikian, Nikolaus mengaku mempunyai kebun menetap namun hanya ditanami TUP atau tanaman umur panjang seperti kelapa pisang dan nangka. Sedangkan kebun berpindah-pindah ini hanya diprioritaskan untuk tanaman jagung.
"Kami terpaksa harus buat begini sebab jika tidak bisa mendapat hasil panen banyak, dipastikan hasil jagung yang dipanen nanti hanya bisa kami makan tiga atau empat bulan dan setelah itu kami kelaparan," tutur Nikolaus.
Terkait budaya tebas bakar yang belum bisa dihilangkan oleh warga, Bupati Timor Tengah Utara Raimundus Fernandes menyatakan budaya itu membawa dampak buruk yang cukup luas sehingga perlu dilarang.
“Dampak yang ditimbulkan cukup besar, salah satu diantaranya adalah mengeringnya sumber mata air. Oleh karena itu, warga harus menghilangkan kebiasaan itu dan beralih berkebun menetap," harap Raimundus Fernandes
Warga Desa Sainoni, Kecamatan Bikomi Utara, Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, Nikolas Sasi misalnya, ia mengaku tidak bisa meninggalkan budaya tebas bakar, pasalnya hasil panen sangat melimpah daripada mengolah lahan tetap.
"Ini merupakan tradisi yang sudah dilakukan oleh nenek moyang, jadi kami, anak cucu, hanya menuruti saja dan memang hasil melimpah," ungkap Nikolas Sasi, saat ditemui sedang melakukan tebas bakar di kebunnya, Rabu, (09/10/2013).
Nikolas menuturkan, sistem tebas bakar itu dilakukan secara berkala dalam setiap tiga tahun, sebab dipercaya jika kebun tersebut ditinggal selama tiga tahun bakal tumbuh pohon-pohon. Sehingga dikala pohon itu ditebas dan dibakar lagi bisa membuat tanah kembali subur.
Meskipun demikian, Nikolaus mengaku mempunyai kebun menetap namun hanya ditanami TUP atau tanaman umur panjang seperti kelapa pisang dan nangka. Sedangkan kebun berpindah-pindah ini hanya diprioritaskan untuk tanaman jagung.
"Kami terpaksa harus buat begini sebab jika tidak bisa mendapat hasil panen banyak, dipastikan hasil jagung yang dipanen nanti hanya bisa kami makan tiga atau empat bulan dan setelah itu kami kelaparan," tutur Nikolaus.
Terkait budaya tebas bakar yang belum bisa dihilangkan oleh warga, Bupati Timor Tengah Utara Raimundus Fernandes menyatakan budaya itu membawa dampak buruk yang cukup luas sehingga perlu dilarang.
“Dampak yang ditimbulkan cukup besar, salah satu diantaranya adalah mengeringnya sumber mata air. Oleh karena itu, warga harus menghilangkan kebiasaan itu dan beralih berkebun menetap," harap Raimundus Fernandes
(rsa)