Ratusan petani Blitar gugat SK Menhut
A
A
A
Sindonews.com - Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No 367 Tahun 2013 yang mengubah kawasan eks perkebunan Gondang Tapen Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar menjadi kawasan hutan, digugat para aktivis petani.
Selain melenyapkan hak 860 orang petani pemohon redistribusi tanah, terbitnya SK menteri diduga hasil konspirasi jahat antara pihak pemodal dan elit kekuasaan.
Menurut keterangan juru bicara Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) Farhan Mahfudzi, tanah eks perkebunan seluas 800 hektar tersebut disiapkan untuk kebutuhan tukar guling (ruislag) antara perusahaan semen ternama dengan perhutani di luar wilayah Blitar.
Ruislag tersebut diamini Pemkab Blitar yang dalam hal ini sebagai pihak ketiga sekaligus penyedia lahan pengganti.
"Dengan berstatus kawasan hutan, proses ruislag akan berjalan licin. Dalam kesepakatan tersebut, sejumlah oknum Kabupaten Blitar memperoleh imbalan puluhan hektar tanah," ujar Farhan kepada Sindo Selasa (24/9/2013).
Dari data yang dihimpun, adanya ruislag yang diikuti SK Menhut yang mengubah eks perkebunan Gondang Tapen menjadi hutan berawal dari kerja sama PT Holcim dengan Perhutani di Kabupaten Tuban.
Belum diketahui pasti bagaimana alur konspirasinya, PT Holcim yang berkewajiban mengganti lahan produksi semen di Tuban menjatuhkan pilihan pada eks tanah perkebunan Gondang Tapen di Kabupaten Blitar.
Sementara status tanah Gondang Tapen sebelumnya merupakan tanah negara yang tengah diperjuangkan menjadi tanah rakyat.
Dengan menjadi kawasan hutan, hilang sudah impian rakyat mendapatkan hak atas tanah.
"Kami menilai SK Menhut ini sebagai produk hukum yang ngawur. Karenanya kami menuntut untuk dicabut," tegas Farhan.
Informasi lain menyebutkan, dengan berhasilnya menjadi kawasan hutan, oknum elit penguasa di Kabupaten Blitar mendapat "fee" berupa tanah seluas 70 hektar.
Sekitar 500 orang petani dengan didampingi sejumlah aktivis hari ini turun ke jalan. Mereka mendatangi Kantor DPRD dan Pemkab Blitar.
Selain merayakan Hari Tani, massa petani juga menuntut konspirasi jahat tersebut untuk diusut tuntas.
"Secara hukum tentu ada unsur gratifikasi (suap) yang membayangi proses itu. Karenanya ini harus diusut tuntas," tandas Farhan.
Selain perkara eks perkebunan Gondang Tapen, para petani juga menuntut percepatan redistribusi 900 hektar tanah di eks perkebunan Gunung Nyamil di wilayah Kecamatan Wonotirto.
Saat ini petani meresahkan praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan sejumlah oknum TNI kepada masyarakat penggarap lahan.
Sebab seperti diketahui, sengketa yang terjadi di Gunung Nyamil adalah konflik agraria yang menghadapkan masyarakat setempat dengan institusi Puskopad DAM V Brawijaya Jawa Timur.
Versi petani menyebutkan pihak TNI melakukan pengelolaan tanah tanpa mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Dan sudah sepantasnya TNI segera mengeluarkan akta pelepasan tanah dan mengembalikan tanah kepada rakyat.
"Apa yang menjadi hak rakyat harus kembali ke rakyat. Hukum oknum TNI yang telah melakukan pungli ke masyarakat," serunya.
Seperti diketahui, dari 10 titik wilayah sengketa agraria yang diperjuangkan PPAB, hingga kini masih ada enam titik yang proses hukumnya masih terkatung-katung.
Dan mengambangnya penyelesaian kasus agraria faktanya lebih banyak dipengaruhi adanya kepentingan politik sejumlah oknum penguasa.
Selain melenyapkan hak 860 orang petani pemohon redistribusi tanah, terbitnya SK menteri diduga hasil konspirasi jahat antara pihak pemodal dan elit kekuasaan.
Menurut keterangan juru bicara Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) Farhan Mahfudzi, tanah eks perkebunan seluas 800 hektar tersebut disiapkan untuk kebutuhan tukar guling (ruislag) antara perusahaan semen ternama dengan perhutani di luar wilayah Blitar.
Ruislag tersebut diamini Pemkab Blitar yang dalam hal ini sebagai pihak ketiga sekaligus penyedia lahan pengganti.
"Dengan berstatus kawasan hutan, proses ruislag akan berjalan licin. Dalam kesepakatan tersebut, sejumlah oknum Kabupaten Blitar memperoleh imbalan puluhan hektar tanah," ujar Farhan kepada Sindo Selasa (24/9/2013).
Dari data yang dihimpun, adanya ruislag yang diikuti SK Menhut yang mengubah eks perkebunan Gondang Tapen menjadi hutan berawal dari kerja sama PT Holcim dengan Perhutani di Kabupaten Tuban.
Belum diketahui pasti bagaimana alur konspirasinya, PT Holcim yang berkewajiban mengganti lahan produksi semen di Tuban menjatuhkan pilihan pada eks tanah perkebunan Gondang Tapen di Kabupaten Blitar.
Sementara status tanah Gondang Tapen sebelumnya merupakan tanah negara yang tengah diperjuangkan menjadi tanah rakyat.
Dengan menjadi kawasan hutan, hilang sudah impian rakyat mendapatkan hak atas tanah.
"Kami menilai SK Menhut ini sebagai produk hukum yang ngawur. Karenanya kami menuntut untuk dicabut," tegas Farhan.
Informasi lain menyebutkan, dengan berhasilnya menjadi kawasan hutan, oknum elit penguasa di Kabupaten Blitar mendapat "fee" berupa tanah seluas 70 hektar.
Sekitar 500 orang petani dengan didampingi sejumlah aktivis hari ini turun ke jalan. Mereka mendatangi Kantor DPRD dan Pemkab Blitar.
Selain merayakan Hari Tani, massa petani juga menuntut konspirasi jahat tersebut untuk diusut tuntas.
"Secara hukum tentu ada unsur gratifikasi (suap) yang membayangi proses itu. Karenanya ini harus diusut tuntas," tandas Farhan.
Selain perkara eks perkebunan Gondang Tapen, para petani juga menuntut percepatan redistribusi 900 hektar tanah di eks perkebunan Gunung Nyamil di wilayah Kecamatan Wonotirto.
Saat ini petani meresahkan praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan sejumlah oknum TNI kepada masyarakat penggarap lahan.
Sebab seperti diketahui, sengketa yang terjadi di Gunung Nyamil adalah konflik agraria yang menghadapkan masyarakat setempat dengan institusi Puskopad DAM V Brawijaya Jawa Timur.
Versi petani menyebutkan pihak TNI melakukan pengelolaan tanah tanpa mengantongi Hak Guna Usaha (HGU). Dan sudah sepantasnya TNI segera mengeluarkan akta pelepasan tanah dan mengembalikan tanah kepada rakyat.
"Apa yang menjadi hak rakyat harus kembali ke rakyat. Hukum oknum TNI yang telah melakukan pungli ke masyarakat," serunya.
Seperti diketahui, dari 10 titik wilayah sengketa agraria yang diperjuangkan PPAB, hingga kini masih ada enam titik yang proses hukumnya masih terkatung-katung.
Dan mengambangnya penyelesaian kasus agraria faktanya lebih banyak dipengaruhi adanya kepentingan politik sejumlah oknum penguasa.
(lns)