Bahaya, lahan pertanian di Jateng jadi perumahan
A
A
A
Sindonews.com - Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan perumahan di Provinsi Jawa Tengah kian marak. Hal ini diakibatkan oleh lemah, dan tidak beratnya sanksi terhadap para pengembang, maupun pejabat sekitar yang nakal.
Menanggapi hal itu, Komisi IV DPR RI mengaku bakal melakukan revisi Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan No.41 tahun 2009 untuk mengakomodir adanya ancaman pidana kepada pihak-pihak yang melakukan praktik yang mengancam stok beras nasional ini
"Persoalan ini memang menjadi salah satu titik perhatian Komisi IV. Makanya perlu revisi aturan untuk menekan alih fungsi lahan pertanian produktif itu,” ujar anggota Komisi IV DPR RI Abdul Wachid, disela-sela santunan 2.000 anak yatim dan jompo, di Rumah Joglo Aspirasi, Margoyoso, Jepara, Selasa (6/8/2013).
Ditambahkan dia, berdasarkan data yang dimiliki, tiap tahunnya lahan produktif di Jawa Tengah berkurang antara 350-400 hektare. Kondisi ini jelas mengancam target surplus produksi beras nasional. Sebab, 60 persen stok beras nasional disokong dari lahan pertanian yang ada di Pulau Jawa, termasuk Jawa Tengah.
Menurutnya, salah satu terobosan yang harus dilakukan adalah dengan memuat ancaman pidana atau denda kepada para pengembang perumahan yang secara serampangan melakukan alih fungsi lahan pertanian produktif tersebut. Sebab, mayoritas lahan pertanian tersebut memang dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan.
"Ancaman pidana atau denda ini penting untuk memunculkan efek jera kepada para pengembang, terlebih yang nakal. Sanksi juga bisa berupa pencabutan izin usaha. Intinya harus ada shock theraphy,” jelas politikus Senayan Dapil II Jateng tersebut.
Lebih jauh, dia mendesak Pemprov Jateng, pemkab, maupun pemkot, untuk bersikap tegas terhadap para pengembang perumahan di provinsi ini. Sebab, jika tidak ada ketegasan, maka lahan pertanian akan menjadi semakin sempit, dan membahayakan surplus beras nasional.
"Jangan sampai mencaplok lahan pertanian, para pengembang juga menggunakan infrastruktur berupa Jalan Usaha Tani (JUT) yang dibiayai pemerintah untuk kepentingan pengembangan bisnis perumahan," tegasnya.
Dia menambahkan, DPR RI akan mendesak Kementrian Pertanian untuk mengalokasikan dana lebih besar demo kepentingan pertanian. Minimal anggaran yang harus disiapkan 10 persen dari total APBN yang jumlahnya mencapai Rp1.600 triliun.
Dengan dana tersebut, politikus Gerindra ini optimis akan mampu mengatasi persoalan terkait dunia pertanian mulai dari hulu hingga hilir.
“Di Thailand atau Vietnam anggaran untuk pertanian memang besar. Dan hasilnya, mereka mampu surplus dan tidak bergantung pada produk impor. Bahkan karena sudah surplus, beras Vietnam diekspor ke sejumlah negara,” tandasnya.
Menanggapi hal itu, Komisi IV DPR RI mengaku bakal melakukan revisi Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan No.41 tahun 2009 untuk mengakomodir adanya ancaman pidana kepada pihak-pihak yang melakukan praktik yang mengancam stok beras nasional ini
"Persoalan ini memang menjadi salah satu titik perhatian Komisi IV. Makanya perlu revisi aturan untuk menekan alih fungsi lahan pertanian produktif itu,” ujar anggota Komisi IV DPR RI Abdul Wachid, disela-sela santunan 2.000 anak yatim dan jompo, di Rumah Joglo Aspirasi, Margoyoso, Jepara, Selasa (6/8/2013).
Ditambahkan dia, berdasarkan data yang dimiliki, tiap tahunnya lahan produktif di Jawa Tengah berkurang antara 350-400 hektare. Kondisi ini jelas mengancam target surplus produksi beras nasional. Sebab, 60 persen stok beras nasional disokong dari lahan pertanian yang ada di Pulau Jawa, termasuk Jawa Tengah.
Menurutnya, salah satu terobosan yang harus dilakukan adalah dengan memuat ancaman pidana atau denda kepada para pengembang perumahan yang secara serampangan melakukan alih fungsi lahan pertanian produktif tersebut. Sebab, mayoritas lahan pertanian tersebut memang dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan.
"Ancaman pidana atau denda ini penting untuk memunculkan efek jera kepada para pengembang, terlebih yang nakal. Sanksi juga bisa berupa pencabutan izin usaha. Intinya harus ada shock theraphy,” jelas politikus Senayan Dapil II Jateng tersebut.
Lebih jauh, dia mendesak Pemprov Jateng, pemkab, maupun pemkot, untuk bersikap tegas terhadap para pengembang perumahan di provinsi ini. Sebab, jika tidak ada ketegasan, maka lahan pertanian akan menjadi semakin sempit, dan membahayakan surplus beras nasional.
"Jangan sampai mencaplok lahan pertanian, para pengembang juga menggunakan infrastruktur berupa Jalan Usaha Tani (JUT) yang dibiayai pemerintah untuk kepentingan pengembangan bisnis perumahan," tegasnya.
Dia menambahkan, DPR RI akan mendesak Kementrian Pertanian untuk mengalokasikan dana lebih besar demo kepentingan pertanian. Minimal anggaran yang harus disiapkan 10 persen dari total APBN yang jumlahnya mencapai Rp1.600 triliun.
Dengan dana tersebut, politikus Gerindra ini optimis akan mampu mengatasi persoalan terkait dunia pertanian mulai dari hulu hingga hilir.
“Di Thailand atau Vietnam anggaran untuk pertanian memang besar. Dan hasilnya, mereka mampu surplus dan tidak bergantung pada produk impor. Bahkan karena sudah surplus, beras Vietnam diekspor ke sejumlah negara,” tandasnya.
(san)