Kebijakan pendidikan hanya pura-pura populis

Kamis, 25 Juli 2013 - 15:56 WIB
Kebijakan pendidikan hanya pura-pura populis
Kebijakan pendidikan hanya pura-pura populis
A A A
Sindonews.com - Pendidikan di Indonesia sejak reformasi 1998 dinilai condong kearah liberal-kapitalistik.

Sedangkan kebijakan pendidikan yang ada saat ini hanya sebagai kepura-puraan mewujudkan pendidikan yang populis atau merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

"Kebijakan pendidikan di Indonesia selalu berubah-ubah sesuai dengan rezim yang berkuasa. Saat ini, pendidikan di negara kita ini justru menciptakan kastanisasi seperti yang berlaku di masa penjajahan Belanda dahulu," ujar Pengamat Pendidikan Darmaningtyas Kamis (25/7/2013).

Dalam seminar Pendidikan Populis Berwawasan Budaya di UNY, Darmaningtyas menuturkan, berbagai kebijakan yang sifatnya pura-pura populis tersebut seperti bantuan operasional sekolah (BOS) dan bidik misi.

Kebijakan bantuan pembiayaan pendidikan tersebut menurutnya hanya menjadi alat untuk mendinginkan tensi tinggi dari masyarakat yang menolak kebijakan privatisasi dan liberalisasi pendidikan.

"Bidik misi misalnya yang memiliki kelemahan pada sosialisasi yang dilakukan. Seharusnya beasiswa bidik misi sudah mulai disosialisasikan sejak siswa duduk di bangku SMP, sehingga siswa miskin dapat fokus dan memiliki rencana panjang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA hingga kuliah," jelasnya.

Namun faktanya, sosialisasi bidik misi baru dilakukan pada siswa SMA sehingga penerimanya kebanyakan merupakan lulusan SMA.

Sedangkan siswa miskin yang memilih melanjutkan sekolah ke jenjang SMK dapat dikatakan tidak bisa menikmati fasilitas bidik misi karena lebih memilih untuk bekerja dari pada kuliah.

Diskriminasi lainnya, kata Darmaningtyas, terjadi dalam penganggaran dana bantuan operasional di sekolah-sekolah atau BOS.

Ada pembedaan pemberian bantuan bagi sekolah yang memiliki arah bertaraf internasional.

"Sebelum RSBI dibubarkan, sekolah-sekolah tersebut selain mendapatkan BOS juga menerima dana pembinaan khusus yang besarannya Rp300juta-Rp600juta di tahap awal. Ini jelas kastanisasi dan diskriminasi di sekolah," tegasnya.

Darmaningtyas mengungkapkan, pada awalnya konsep BOS ditujukan untuk biaya operasional sekolah. Namun makin kemari, BOS berubah menjadi bantuan operasional.

"Perubahan istilah tersebut karena ternyata dana BOS hanya sanggup meng-cover 30 persen dari total biaya operasional tiap sekolah. Padahal dalam pendidikan, manajemen hanya menjadi sarana untuk mencapai tujuan utama," tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar FBS UNY Prof Suminto A Suyuti menjelaskan, pendidikan di Indonesia termasuk pengambilan kebijakannya masih mengarah pada pendidikan yang berlaku di dunia barat. Padahal dari segi budaya pun sudah berbeda.

"Dalam konsep pendidikan, unsur budaya tentu harus dimasukkan bahkan menjadi salah satu landasannya. Contohnya pola belajar ala Ki Hajar Dewantara yang sangat Indonesia," ujarnya.

Tak hanya menjadi landasan pendidikan, Suminto menegaskan, pendidikan pun menjadi sumber produksi dari budaya itu sendiri.

Karenanya wawasan berbudaya mutlak dalam pendidikan, utamanya pendidikan yang saat ini diarahkan pada pendidikan berkarakter.

"Bagaimana kita ingin melanjutkan atau memproduksi budaya asli Indonesia jika pendidikannya masih dengan metode ala barat," imbuhnya.
(lns)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4325 seconds (0.1#10.140)