Tercemar limbah kulit, puluhan hektare sawah gagal panen
A
A
A
Sindonews.com - Dicemari limbah, puluhan hektare (ha) sawah di Kelurahan Sukamentri, Kecamatan Garut Kota dan Desa Sucikaler, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut, gagal panen. Puluhan hektar sawah ini dicemari limbah pengolahan kulit Sukaregang.
Seorang petani asal Kampung Copong, Kelurahan Sukamentri, Dede (46), mengaku dari 300 tambak lahan sawah yang dipanennya, kini hanya menghasilkan 1,2 ton gabah. Padahal, jika sebelum terjadinya pencemaran, sawahnya bisa menghasilkan 3,6 ton gabah.
"Petani terpaksa menggunakan air irigasi yang sudah tercemar limbah. Akhirnya sawah malah rusak dan banyak tanaman padi yang berbulir gabah kosong. Ada sekitar 20 hektare sawah di sini yang dialiri air limbah," kata Dede Selasa (16/7/2013).
Selain menyebabkan kulit para petani gatal-gatal, air irigasi yang tercemar limbah membuat warna kulit gabah menjadi kemerahan atau kehitaman. Bulir gabah pun kebanyakan tidak berisi padi, sampai sekitar 65 persen dari keseluruhan sawahnya.
Di Kelurahan Sukamentri, lanjut dia, tanaman mentimun yang normalnya dapat dipanen sampai 10 kali, jadi hanya bisa dipanen sebanyak lima kali. Kualitas tanaman jagung, cabai, dan sayuran lainnya pun memburuk karena menggunakan air yang tercemar limbah untuk menyiramnya.
"Kualitas air mulai berubah sejak tahun 90-an. Semakin sini semakin parah. Bahkan, sekitar 50 sumur warga di sini tidak bisa dipakai lagi. Tanah dan air di sini sepertinya sudah tercemar dan jelek untuk dipakai bertani lagi. Berbau," katanya.
Hal serupa dialami Maspudin (70), petani asal Desa Sucikaler, Kecamatan Karangpawitan. Air yang digunakan untuk mengairi puluhan hektare sawah di desa itu berbau busuk dan berwarna kehitaman karena tercemar limbah industri kulit di Sukaregang.
"Sudah tiga kali saya menanami sawah ini, tapi mati terus. Semoga saja kali ini bisa panen. Petani terpaksa menggunakan air yang tercemar limbah karena tidak ada sumber air lainnya lagi," katanya.
Terakhir kali panen, kata Maspudin, dirinya hanya bisa mendapat 1 kuintal gabah dari 100 tumbak sawahnya. Padahal biasanya, dirinya bisa mendapat 8 kuintal gabah.
"Gabah 8 kuintal ini juga terbilang sedikit jika dibanding hasil sawah di daerah lain karena lahan sawahnya sudah tercemar sejak industri kulit Sukaregang berdiri," tuturnya
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan Kabupaten Garut Uu Saepudin, mengatakan, air saluran irigasi yang mengairi dua desa tersebut berasal dari Sungai Cikendi. Sungai ini telah tercemar oleh limbah cair dari sejumlah industri kulit di Sukaregang.
"Ini menjadi dilema karena warga dan pelaku industri kulit tidak memiliki saluran pembuangan limbah khusus. Mereka akhirnya membuang limbah industri dan rumah tangga ke situ, padahal tidak boleh kalau secara aturan. Tapi, kalau tidak ada water treatment, mau bagaimana lagi," tuturnya.
Seharusnya, kata Uu, limbah industri memiliki saluran pembuangan sendiri. Namun, karena hanya terdapat Sungai Cikendi, warga pun membuang limbahnya ke sungai yang kini sebagian besar airnya didominasi air limbah.
"Air bersih di Sungai Cikendi hanya berasal dari sisa saluran irigasi Cimaragas. Air sisa ini pun digelontorkan jika bendungan irigasi penuh pada musim hujan. Makanya tidak heran jika sawah di dua desa tersebut tercemar air limbah," tandasnya.
Seorang petani asal Kampung Copong, Kelurahan Sukamentri, Dede (46), mengaku dari 300 tambak lahan sawah yang dipanennya, kini hanya menghasilkan 1,2 ton gabah. Padahal, jika sebelum terjadinya pencemaran, sawahnya bisa menghasilkan 3,6 ton gabah.
"Petani terpaksa menggunakan air irigasi yang sudah tercemar limbah. Akhirnya sawah malah rusak dan banyak tanaman padi yang berbulir gabah kosong. Ada sekitar 20 hektare sawah di sini yang dialiri air limbah," kata Dede Selasa (16/7/2013).
Selain menyebabkan kulit para petani gatal-gatal, air irigasi yang tercemar limbah membuat warna kulit gabah menjadi kemerahan atau kehitaman. Bulir gabah pun kebanyakan tidak berisi padi, sampai sekitar 65 persen dari keseluruhan sawahnya.
Di Kelurahan Sukamentri, lanjut dia, tanaman mentimun yang normalnya dapat dipanen sampai 10 kali, jadi hanya bisa dipanen sebanyak lima kali. Kualitas tanaman jagung, cabai, dan sayuran lainnya pun memburuk karena menggunakan air yang tercemar limbah untuk menyiramnya.
"Kualitas air mulai berubah sejak tahun 90-an. Semakin sini semakin parah. Bahkan, sekitar 50 sumur warga di sini tidak bisa dipakai lagi. Tanah dan air di sini sepertinya sudah tercemar dan jelek untuk dipakai bertani lagi. Berbau," katanya.
Hal serupa dialami Maspudin (70), petani asal Desa Sucikaler, Kecamatan Karangpawitan. Air yang digunakan untuk mengairi puluhan hektare sawah di desa itu berbau busuk dan berwarna kehitaman karena tercemar limbah industri kulit di Sukaregang.
"Sudah tiga kali saya menanami sawah ini, tapi mati terus. Semoga saja kali ini bisa panen. Petani terpaksa menggunakan air yang tercemar limbah karena tidak ada sumber air lainnya lagi," katanya.
Terakhir kali panen, kata Maspudin, dirinya hanya bisa mendapat 1 kuintal gabah dari 100 tumbak sawahnya. Padahal biasanya, dirinya bisa mendapat 8 kuintal gabah.
"Gabah 8 kuintal ini juga terbilang sedikit jika dibanding hasil sawah di daerah lain karena lahan sawahnya sudah tercemar sejak industri kulit Sukaregang berdiri," tuturnya
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan Kabupaten Garut Uu Saepudin, mengatakan, air saluran irigasi yang mengairi dua desa tersebut berasal dari Sungai Cikendi. Sungai ini telah tercemar oleh limbah cair dari sejumlah industri kulit di Sukaregang.
"Ini menjadi dilema karena warga dan pelaku industri kulit tidak memiliki saluran pembuangan limbah khusus. Mereka akhirnya membuang limbah industri dan rumah tangga ke situ, padahal tidak boleh kalau secara aturan. Tapi, kalau tidak ada water treatment, mau bagaimana lagi," tuturnya.
Seharusnya, kata Uu, limbah industri memiliki saluran pembuangan sendiri. Namun, karena hanya terdapat Sungai Cikendi, warga pun membuang limbahnya ke sungai yang kini sebagian besar airnya didominasi air limbah.
"Air bersih di Sungai Cikendi hanya berasal dari sisa saluran irigasi Cimaragas. Air sisa ini pun digelontorkan jika bendungan irigasi penuh pada musim hujan. Makanya tidak heran jika sawah di dua desa tersebut tercemar air limbah," tandasnya.
(rsa)