BLSM, untuk biaya pendaftaran sekolah cucu
A
A
A
Sindonews.com - Munzaenab, seorang nenek berusia 70 tahun duduk berada di antara deretan pengantre penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) di Kantor Pos Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, kemarin.
Dengan mengenakan baju batik dan penutup kepala warna hitam, Munzaenab menunggu giliran penyerahan berkas penerima BLSM. Tubuhnya yang renta tidak menjadi alasan dia untuk meminta kompensasi proses pengantrean.
Selama hampir setengah jam, dia baru mendapat kesempatan membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang disediakan panitia. Selanjutnya, dia menerima amplop berisi data dan uang senilai Rp300.000.
Nenek yang bermukim di Dusun Plandi RT 1 RW 1 Kelurahan Pasuruhan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang ini berucap syukur saat Koran SINDO menghampirinya.
"Saya sangat bersyukur bisa menerima uang bantuan ini," katanya dengan berbahasa Jawa.
Bantuan pemerintah dalam bentuk uang ini merupakan kali pertama dia terima. Sebab, dia tidak memiliki tempat tinggal tetap.
"Ini yang pertama, kalau sebelumnya ada uang bantuan selalu tidak dapat karena tidak masuk daftar. Saya kan tidak punya rumah," lanjutnya.
Saat ini, Munzaenab tinggal bersama Kika Rosalia, cucunya yang baru saja lulus SD. Sedangkan orangtua Kika sudah cerai dan hidup sendiri.
"Bapaknya Kika namanya Mawardi. Sejak bercerai, keduanya tidak hidup dengan saya," paparnya.
Sehari-hari, Munzaenab tidak memiliki pekerjaan tetap. Biasanya, dia mendapat pemasukan Rp1.000 hingga Rp5.000 per hari.
"Kerjanya buruh mengupas kacang dan dikasih Rp1.000 per kilogram. Selain itu, saya mencari kayu dan dijual kepada tetangga, paling banyak dibeli dengan harga Rp5.000," ungkapnya.
Pendapatan yang sangat minim, dia masih berupaya membantu cucunya dalam mengenyam pendidikan.
"Uang yang didapat hari ini, ya untuk kebutuhan hari ini. Besok nyari lagi. Kalau ada sisa untuk membantu sekolah cucu," imbuhnya.
Untuk itu, BLSM yang diterimanya rencananya akan digunakan sebagai biaya pendaftaran Kika di MTs (Madrasah Tsanawiyah). Sisanya, akan digunakan untuk biaya pengobatan sakit gondok yang diderita sejak tahun 1974.
"Kebetulan pas mau mendaftarkan cucu di MTs. Sisanya akan saya bawa ke dokter untuk mengobati gondok saya," urainya.
Diceritakannya, pengambilan BLSM dilakukannya sendiri tanpa ada yang mengantar. Dia rela naik angkutan desa dari rumahnya menuju Kantor Pos dengan biaya Rp1.500.
Sementara, cerita berbeda diutarakan Miah (45) seorang janda di Dusun Kragilan, Desa Progowati, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Dia tidak terdaftar sebagai penerima program bantuan sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM ini. Padahal, dia hidup serba kekurangan. Bahkan, sehari-hari dia menumpang di rumah milik orang lain.
"Saya tidak tahu soal BLSM," tandas Miah.
Dengan mengenakan baju batik dan penutup kepala warna hitam, Munzaenab menunggu giliran penyerahan berkas penerima BLSM. Tubuhnya yang renta tidak menjadi alasan dia untuk meminta kompensasi proses pengantrean.
Selama hampir setengah jam, dia baru mendapat kesempatan membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang disediakan panitia. Selanjutnya, dia menerima amplop berisi data dan uang senilai Rp300.000.
Nenek yang bermukim di Dusun Plandi RT 1 RW 1 Kelurahan Pasuruhan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang ini berucap syukur saat Koran SINDO menghampirinya.
"Saya sangat bersyukur bisa menerima uang bantuan ini," katanya dengan berbahasa Jawa.
Bantuan pemerintah dalam bentuk uang ini merupakan kali pertama dia terima. Sebab, dia tidak memiliki tempat tinggal tetap.
"Ini yang pertama, kalau sebelumnya ada uang bantuan selalu tidak dapat karena tidak masuk daftar. Saya kan tidak punya rumah," lanjutnya.
Saat ini, Munzaenab tinggal bersama Kika Rosalia, cucunya yang baru saja lulus SD. Sedangkan orangtua Kika sudah cerai dan hidup sendiri.
"Bapaknya Kika namanya Mawardi. Sejak bercerai, keduanya tidak hidup dengan saya," paparnya.
Sehari-hari, Munzaenab tidak memiliki pekerjaan tetap. Biasanya, dia mendapat pemasukan Rp1.000 hingga Rp5.000 per hari.
"Kerjanya buruh mengupas kacang dan dikasih Rp1.000 per kilogram. Selain itu, saya mencari kayu dan dijual kepada tetangga, paling banyak dibeli dengan harga Rp5.000," ungkapnya.
Pendapatan yang sangat minim, dia masih berupaya membantu cucunya dalam mengenyam pendidikan.
"Uang yang didapat hari ini, ya untuk kebutuhan hari ini. Besok nyari lagi. Kalau ada sisa untuk membantu sekolah cucu," imbuhnya.
Untuk itu, BLSM yang diterimanya rencananya akan digunakan sebagai biaya pendaftaran Kika di MTs (Madrasah Tsanawiyah). Sisanya, akan digunakan untuk biaya pengobatan sakit gondok yang diderita sejak tahun 1974.
"Kebetulan pas mau mendaftarkan cucu di MTs. Sisanya akan saya bawa ke dokter untuk mengobati gondok saya," urainya.
Diceritakannya, pengambilan BLSM dilakukannya sendiri tanpa ada yang mengantar. Dia rela naik angkutan desa dari rumahnya menuju Kantor Pos dengan biaya Rp1.500.
Sementara, cerita berbeda diutarakan Miah (45) seorang janda di Dusun Kragilan, Desa Progowati, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Dia tidak terdaftar sebagai penerima program bantuan sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM ini. Padahal, dia hidup serba kekurangan. Bahkan, sehari-hari dia menumpang di rumah milik orang lain.
"Saya tidak tahu soal BLSM," tandas Miah.
(lns)