Kondisi tanggul lumpur Lapindo kritis
A
A
A
Sindonews.com - Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dibuat tak berdaya oleh korban lumpur. Pasalnya, lebih dari sebulan mereka tidak bisa memperkuat tanggul dan mengalirkan lumpur ke Sungai Porong.
Pekerja tanggul tak berani beraktifitas karena dilarang oleh korban lumpur yang menuntut agar segala aktifitas penanganan tanggul dihentikan sebelum ada pelunasan ganti rugi. Dampaknya, di beberapa titik tanggul kondisinya memprihatinkan karena ketinggian lumpur terus merambat mendekati bibir tanggul.
Jika kondisi seperti ini berlangsung lama, tanggul lumpur dikhawatirkan jebol. Apalagi, dalam beberapa hari terakhir hujan terus mengguyur kawasan Porong dan sekitarnya. Hal ini menyebabkan lumpur di kolam penampungan penuh.
Humas BPLS Dwinanto H Prasetyo mengakui jika sejak tanggal 13 Maret lalu aktifitas pembuangan lumpur ke Sungai Porong terhenti karena dilarang warga. Warga melarang penanganan tanggul lumpur sebelum pelunasan ganti rugi mereka dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya (Minarak).
Beberapa titik yang elevasi (ketinggian) lumpurnya membahayakan, adalah sepanjang tanggul Siring yang elevasi genangan endapan lumpurnya sudah mencapai bibir tanggul. Termasuk titik 43 (Mindi,red) kurang dari 30 cm endapan lumpur dengan bibir tanggul, titik 41 (besuki,red) kondisinya kurang dari 10 cm endapan lumpur dengan bibir tanggul.
Sedangkan saat ini BPLS tidak bisa berbuat banyak. Badan bentukan pemerintah untuk menangani lumpur itu hanya meningkatkan kewaspadaan jika sewaktu-waktu ada kondisi darurat tanggul jebol.
"Tidak ada aktifitas pengaliran lumpur ke Sungai porong sejak 13 maret lalu,” ungkap Dwinanto, Minggu (28/4/2013).
Terpisah, Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Nur Achmad Syaifuddin tidak menyalahkan korban lumpur jika melarang penanganan tanggul. Sebab, lahan yang digunakan untuk kolam lumpur merupakan aset mereka yang sampai saat ini belum dibayar lunas oleh PT Minarak Lapindo Jaya.
Padahal, jika warga melarang penanganan lumpur dikhawatirkan tanggul akan jebol dan lumpur meluber ke Jalan Raya Porong dan areal lainnya.
"Kondisi seperti ini yang menjadi dilema. Disatu sisi BPLS harus menangani tanggul, tapi warga mempunyai hak untuk melarang. Logikanya, tanah milik orang lain sudah digunakan kolam lumpur," tandas Nur Achmad Syaifuddin.
Ditanya apa yang akan dilakukan Pansus Lumpur, politikus PKB itu mengaku akan mengagendakan lagi memanggil Minarak terkait pelunasan ganti rugi. Selain itu, pihaknya juga akan melayangkan surat ke presiden SBY terkait permasalahan lumpur.
Pekerja tanggul tak berani beraktifitas karena dilarang oleh korban lumpur yang menuntut agar segala aktifitas penanganan tanggul dihentikan sebelum ada pelunasan ganti rugi. Dampaknya, di beberapa titik tanggul kondisinya memprihatinkan karena ketinggian lumpur terus merambat mendekati bibir tanggul.
Jika kondisi seperti ini berlangsung lama, tanggul lumpur dikhawatirkan jebol. Apalagi, dalam beberapa hari terakhir hujan terus mengguyur kawasan Porong dan sekitarnya. Hal ini menyebabkan lumpur di kolam penampungan penuh.
Humas BPLS Dwinanto H Prasetyo mengakui jika sejak tanggal 13 Maret lalu aktifitas pembuangan lumpur ke Sungai Porong terhenti karena dilarang warga. Warga melarang penanganan tanggul lumpur sebelum pelunasan ganti rugi mereka dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya (Minarak).
Beberapa titik yang elevasi (ketinggian) lumpurnya membahayakan, adalah sepanjang tanggul Siring yang elevasi genangan endapan lumpurnya sudah mencapai bibir tanggul. Termasuk titik 43 (Mindi,red) kurang dari 30 cm endapan lumpur dengan bibir tanggul, titik 41 (besuki,red) kondisinya kurang dari 10 cm endapan lumpur dengan bibir tanggul.
Sedangkan saat ini BPLS tidak bisa berbuat banyak. Badan bentukan pemerintah untuk menangani lumpur itu hanya meningkatkan kewaspadaan jika sewaktu-waktu ada kondisi darurat tanggul jebol.
"Tidak ada aktifitas pengaliran lumpur ke Sungai porong sejak 13 maret lalu,” ungkap Dwinanto, Minggu (28/4/2013).
Terpisah, Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Nur Achmad Syaifuddin tidak menyalahkan korban lumpur jika melarang penanganan tanggul. Sebab, lahan yang digunakan untuk kolam lumpur merupakan aset mereka yang sampai saat ini belum dibayar lunas oleh PT Minarak Lapindo Jaya.
Padahal, jika warga melarang penanganan lumpur dikhawatirkan tanggul akan jebol dan lumpur meluber ke Jalan Raya Porong dan areal lainnya.
"Kondisi seperti ini yang menjadi dilema. Disatu sisi BPLS harus menangani tanggul, tapi warga mempunyai hak untuk melarang. Logikanya, tanah milik orang lain sudah digunakan kolam lumpur," tandas Nur Achmad Syaifuddin.
Ditanya apa yang akan dilakukan Pansus Lumpur, politikus PKB itu mengaku akan mengagendakan lagi memanggil Minarak terkait pelunasan ganti rugi. Selain itu, pihaknya juga akan melayangkan surat ke presiden SBY terkait permasalahan lumpur.
(rsa)