Bebas sampah dengan Zero Waste

Kamis, 04 April 2013 - 17:54 WIB
Bebas sampah dengan Zero Waste
Bebas sampah dengan Zero Waste
A A A
TIMBUNAN sampah di Kota Bandung masih menjadi permasalahan utama. Pengelolaan sampah masih dilakukan secara tradisional, yakni membuah sampah pada tempatnya, kemudian ditarik petugas kebersihan ke tempat pembuangan sementara (TPS) hingga ke tempat pembuatan akhir (TPA).

Teknik pengelolaan dengan cara seperti itu dinilai tidak hanya menghabiskan tempat, namun juga menimbulkan ancaman polusi serta ongkos angkut sampah kota yang sangat tinggi.

Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPPB) menyarankan pengelolaan sampah yang lebih murah dan ramah lingkungan. Menggunakan prinsip Zero Waste, teknik pengelolaan lebih sederhana dan radikal.

"Proses sampah di Kota Bandung hanya memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain," kata Juru bicara YPBB, Anilawati Nurwakhidin, di Bandung, Kamis (5/4/2013).

Zero Waste merupakan gaya hidup dengan meminimalkan produk atau barang yang menimbulkan sampah plastik (non organik). Langkahnya, mengurangi sampah mulai dari memilih produk pakaian, makanan, transportasi, dan lain-lain.

Cara ini bisa diterapkan mulai lingkup terkecil masyarakat, yakni keluarga, lewat pemisahan sampah organik dan non organik.

Anilawati menyebutkan, 50 persen sampah adalah sisa makanan (organik). Nah, sisa makanan ini jangan dibuang, tetapi bisa diurus sendiri misalnya dengan metode takakura atau kompos. Semua sampah organik bisa dijadikan kompos yang akan hancur oleh bakteri pengurai. Cara membuat takakura ini mudah, bisa memasukan tanah ke dalam wadah kemudian diisi bakteri pengurai yang bisa didapat di toko kompos.

Sebanyak 50 persen lagi sampah non organik. Sampah ini bisa dipilah mana yang bisa didaur ulang dan mana yang tidak. Biasanya, 20 persen dari sampah non organik ini bisa didaur ulang, dan sisanya 30 persen baru dibuang ke tong sampah yang akan berakhir di TPA.

"Tetapi langkah tersebut jangka pendeknya, karena kita prinsipnya Zero Waste, 100 persen tidak nyampah," katanya.

Sambil menjalankan langkah jangka pendek tadi, mulailah dengan menerapkan prinsip Zero Waste. Misalnya, tidak pakai popok sekali pakai, beli biskuit kiloan (tanpa plastik), menerapkan prinsip beli baju bekas, HP bekas, dan lain-lain. Sehingga tidak ada lagi produk yang menimbulkan sampah baru.

YPBB melakukan pendekatan terhadap masyarakat kelas menengah ke atas untuk menerapkan prinsip zero waste. Kelas kelompok menengah ini dinilai paling banyak memproduksi sampah. Lewat berbagai macam pelatihan, diharapkan mereka bisa menerapkan zero waste.

"Kalau di keluarga saja mungkin belum ada pengaruhnya, tapi jika di lingkup RW atau sekolah, tentu dampaknya akan besar," katanya.

Dengan memengaruhi kelompok masyarakat kelas menengah, diharapkan mereka bisa menjadi relawan dan menularkan pola hidup zero waste kepada orang lain.

YPBB sendiri memiliki 13 staf, 4 orang di antaranya kerja full time. Aktivitasnya melakukan suporting sistem, yakni membuat skema program yang bisa dilakukan sebanyak mungkin orang untuk perubahan. Para staf tersebut dibantu para relawan sebagai penyebar program.

Menurutnya, Bandung pada siang hari menampung 4 juta orang yang beraktivitas. Jumlah tersebut potensial untuk menjadi relawan.

Para staf YPBB juga menerapkan pola zero waste dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya dengan selalu membawa wadah untuk belanja kue-kue, bagi staf perokok tidak memakai rokok filter karena filternya sulit diurai jika dibuang. "Tetapi lebih baik tidak merokok sama sekali," katanya.

Sarana transportasi yang dipakai juga mempertimbangkan aspek lingkungan. Aktivis YPBB lebih memilih kendaraan umum daripada kendaraan pribadi. Kalaupun kendaraan pribadi, sepeda menjadi pilihan utama karena ramah lingkungan.

"Kita mengutamakan pola hidup organik (alami)," tandasnya.

Persoalan sampah selama ini identik dengan kotor, jijik, bau, sehingga Bandung tidak bisa mendapat Adipura. Tetapi kata Anilawati sebenarnya persoalan sampah bukan sekedar Adipura.

Jenis sampah jaman ini berbeda dengan dulu. Sekarang banyak sampah kimia yang mengandung banyak racun, seperti plastik yang merupakan hasil tambang dari perut bumi, pipa pvc, baterai, dan lain-lain.

Sampah-sampah modern ini jika terbakar menimbulkan racun pemicu kanker, cacat pada bayi, autisme. Banyak sampah non organik yang mengandung logam berat seperti merkuri, timbal, dan racun lainnya.

"Sampah saat ini menimbulkan penyakit yang belum dikenal sebelumnya sama halnya seperti kita enggak pernah kenal plastik sebelumnya," ujarnya.

Akibatnya, racun dari sampah mengelilingi kehidupan manusia. "Sampah ternyata dampaknya dahsyat, jadi bukan hanya sekedar kotor dan bau," bebernya.

Dia berharap, warga Bandung bisa menuju prinsip hidup Zero Waste. Dengan begitu, tidak perlu lagi biaya angkutan sampah yang tinggi, tidak perlu PLTSA, dan lingkungan menjadi lebih sehat.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7960 seconds (0.1#10.140)