40 ahli vulkanologi berkumpul di Puncak Bogor

40 ahli vulkanologi berkumpul di Puncak Bogor
A
A
A
Sindonews.com - Guna mengantisipasi dampak letusan gunung berapi, sebanyak 40 ahli vulkanologi dari 17 negara, berkumpul di Citeko, Puncak, Kabupaten Bogor. Mereka akan membahas gangguan debu vulkanik terhadap dunia penerbangan, baik jalur, aktifitas mesin pesawat, hingga peningkatan suhu yang cukup tinggi dan bekurangnya jarak pandang.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Surono yang hadir dalam kesempatan tersebut berharap, kegiatan workshop international expert on volcanic ash modeling, dapat menghasilkan rekomendasi terkait pencegahan maupun antisipasi bahaya debu vulkanik terhadap penerbangan di Indonesia.
"Kita berharap Indonesia dapat menjadi leader di dalam region Volcanic Ash Advisory Centre (VAAC) atau lembaga pengawas gunung merapi, khususnya di wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Pasifik," katanya di Bogor, Senin (11/3/2013).
Ditambahkan dia, Indonesia merupakan negara yang memiliki gunung berapi aktif terbanyak di dunia. "Di Indonesia ada 127 gunung berapi. Dalam rentang waktu 1979 hingga 2011, tercatat beberapa gunung api mengalami peningkatan aktivitas," katanya.
Dengan kondisi tersebut, dunia penerbangan Indonesia bisa terganggu hanya karena dampak debu letusan gunung berapa tidak diantisipasi. Dari 127 gunung berapi, hanya 69 yang terpantau. Selain mengancam dunia penerbangan, 3,5 juta penduduk yang tinggal di sekitar lereng gunung berapi nyawanya terancam.
"Indonesia memiliki 127 gunung api aktif yang mengancam 3,5 juta penduduk di kawasan sekitarnya. Jumlah gunung api kita terbanyak di dunia,” terangnya.
Surono menyayangkan, minimnya sumber daya manusia dan anggaran yang dimiliki Indonesia untuk memantau gunung berapi. Tak heran, dari 127 gunung api aktif, PVMB hanya bisa memantau 69 gunung api. Yakni gunung api di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi Utara.
"Di Jepang satu gunung dipantau oleh seorang. Sedangkan di sini, satu orang memantau lima gunung," tegasnya.
Selain pemantauan yang tidak merata, Surono mengakui bahwa alat untuk memantau gunung api juga kurang lengkap. "Paling tidak, harus ada seismik, GPS, filtmeter (alat ukur kemiringan). Nah, paling kebanyakan hanya ada satu saja. Itu pun alatnya sudah tua, tahun 1982," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sri Woro B. Harijono menyatakan, debu vulkanik sangat mengganggu penerbangan.
Dia mencontohkan, letusan Gunung Merapi, Jawa Tengah, pada 2010 sejauh 6 hingga 11 kilometer secara vertikal dapat menciptakan aliran debu vulkanik yang mengandung serpihan batu cadas, silika, dan kandungan sulfur tersembunyi di balik awan.
"Bahkan bisa menjangkau hingga 32 ribu kaki atau ketinggian jelajah pesawat terbang," katanya.
Selain itu, pada 1992, letusan Gunung Spurr di Alaska, Amerika Serikat (AS), membawa debu vulkanik sejauh 3.100 mil sampai ke Kanada dan Great Lakes di AS. Pada 15 Juni 1991, Gunung Pinatubo Filipina meletus dan debunya terbawa angin sejauh 5.000 mil ke arah pantai timur Afrika dalam jangka waktu 3 hari.
"Dari tahun 1973 hingga 2000, terdapat 100 peristiwa pesawat terbang terkena debu vulkanik. Beberapa kejadian menunjukkan bahwa pesawat terbang yang terekspose oleh debu vulkanik mengalami berbagai jenis kerusakan," ungkapnya.
Bahaya debu gunung api dapat terjadi tanpa diketahui, karena radar pesawat terbang tidak dapat menjejaki partikel gunung api dan membedakannya dari awan yang biasa bergerak.
"Serpihan debu gunung api yang tersembunyi dalam awan dapat membawa partikel cadas berukuran 2 milimeter berbentuk tajam, seperti pisau kecil yang mengalir dan tersembunyi dalam aliran angin. Jika rombongan jutaan partikel ini bertemu dengan pesawat terbang berkecepatan 750 km per jam, maka akan menyebabkan kerusakan pada kaca depan yang menyebabkan pilot kehilangan jarak pandang," katanya.
Para ahli vulkanologi dari Swiss, Jerman, Australia, Norwegia, Kanada, Eslandia, Selandia Baru, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Italia, Singapura, Argentina, Korea, Senegal, dan Indonesia, ini membahas dampak letusan gunung berapi selama lima hari mulai hari ini hingga 15 Maret 2013.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Surono yang hadir dalam kesempatan tersebut berharap, kegiatan workshop international expert on volcanic ash modeling, dapat menghasilkan rekomendasi terkait pencegahan maupun antisipasi bahaya debu vulkanik terhadap penerbangan di Indonesia.
"Kita berharap Indonesia dapat menjadi leader di dalam region Volcanic Ash Advisory Centre (VAAC) atau lembaga pengawas gunung merapi, khususnya di wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Pasifik," katanya di Bogor, Senin (11/3/2013).
Ditambahkan dia, Indonesia merupakan negara yang memiliki gunung berapi aktif terbanyak di dunia. "Di Indonesia ada 127 gunung berapi. Dalam rentang waktu 1979 hingga 2011, tercatat beberapa gunung api mengalami peningkatan aktivitas," katanya.
Dengan kondisi tersebut, dunia penerbangan Indonesia bisa terganggu hanya karena dampak debu letusan gunung berapa tidak diantisipasi. Dari 127 gunung berapi, hanya 69 yang terpantau. Selain mengancam dunia penerbangan, 3,5 juta penduduk yang tinggal di sekitar lereng gunung berapi nyawanya terancam.
"Indonesia memiliki 127 gunung api aktif yang mengancam 3,5 juta penduduk di kawasan sekitarnya. Jumlah gunung api kita terbanyak di dunia,” terangnya.
Surono menyayangkan, minimnya sumber daya manusia dan anggaran yang dimiliki Indonesia untuk memantau gunung berapi. Tak heran, dari 127 gunung api aktif, PVMB hanya bisa memantau 69 gunung api. Yakni gunung api di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi Utara.
"Di Jepang satu gunung dipantau oleh seorang. Sedangkan di sini, satu orang memantau lima gunung," tegasnya.
Selain pemantauan yang tidak merata, Surono mengakui bahwa alat untuk memantau gunung api juga kurang lengkap. "Paling tidak, harus ada seismik, GPS, filtmeter (alat ukur kemiringan). Nah, paling kebanyakan hanya ada satu saja. Itu pun alatnya sudah tua, tahun 1982," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sri Woro B. Harijono menyatakan, debu vulkanik sangat mengganggu penerbangan.
Dia mencontohkan, letusan Gunung Merapi, Jawa Tengah, pada 2010 sejauh 6 hingga 11 kilometer secara vertikal dapat menciptakan aliran debu vulkanik yang mengandung serpihan batu cadas, silika, dan kandungan sulfur tersembunyi di balik awan.
"Bahkan bisa menjangkau hingga 32 ribu kaki atau ketinggian jelajah pesawat terbang," katanya.
Selain itu, pada 1992, letusan Gunung Spurr di Alaska, Amerika Serikat (AS), membawa debu vulkanik sejauh 3.100 mil sampai ke Kanada dan Great Lakes di AS. Pada 15 Juni 1991, Gunung Pinatubo Filipina meletus dan debunya terbawa angin sejauh 5.000 mil ke arah pantai timur Afrika dalam jangka waktu 3 hari.
"Dari tahun 1973 hingga 2000, terdapat 100 peristiwa pesawat terbang terkena debu vulkanik. Beberapa kejadian menunjukkan bahwa pesawat terbang yang terekspose oleh debu vulkanik mengalami berbagai jenis kerusakan," ungkapnya.
Bahaya debu gunung api dapat terjadi tanpa diketahui, karena radar pesawat terbang tidak dapat menjejaki partikel gunung api dan membedakannya dari awan yang biasa bergerak.
"Serpihan debu gunung api yang tersembunyi dalam awan dapat membawa partikel cadas berukuran 2 milimeter berbentuk tajam, seperti pisau kecil yang mengalir dan tersembunyi dalam aliran angin. Jika rombongan jutaan partikel ini bertemu dengan pesawat terbang berkecepatan 750 km per jam, maka akan menyebabkan kerusakan pada kaca depan yang menyebabkan pilot kehilangan jarak pandang," katanya.
Para ahli vulkanologi dari Swiss, Jerman, Australia, Norwegia, Kanada, Eslandia, Selandia Baru, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Italia, Singapura, Argentina, Korea, Senegal, dan Indonesia, ini membahas dampak letusan gunung berapi selama lima hari mulai hari ini hingga 15 Maret 2013.
(san)